Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual mendesak untuk disahkan. Berbagai kekerasan seksual yang terus terjadi hingga masa pandemi Covid-19 seharusnya membuka mata wakil rakyat di parlemen.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·4 menit baca
Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi topik paling hangat dibicarakan dalam diskusi-diskusi daring yang digelar hampir tiap hari dalam sebulan terakhir. Selain organisasi/komunitas masyarakat sipil dan perguruan tinggi, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak pun mengangkat isu rancangan undang-undang itu dalam seri diskusi.
Semua sepakat menyuarakan bahwa Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual tidak bisa lagi ditunda-tunda. Kehadiran aturan perundang-undangan yang melindungi masyarakat dari kekerasan seksual sangat mendesak karena kekerasan seksual tak kunjung berhenti. Bahkan pada masa pandemi Covid-19 atau penyakit yang disebabkan virus korona tipe baru pun, kekerasan seksual terus mengintai perempuan dan anak.
Masyarakat bahkan terkaget-kaget dengan berbagai kasus kekerasan seksual yang terungkap di masa pandemi Covid-19, baik di ranah privat (keluarga) maupun di ranah daring (eksploitasi seksual yang semakin canggih dan tersamar dalam berbagai bentuk).
”Di saat kondisi Covid-19 yang belum jelas kapan berakhir, justru sangat dibutuhkan lahirnya produk hukum yang membantu mengendalikan kondisi kekerasan seksual agar tidak makin buruk,” kata Arianti Ina Restuani Hunga, Ketua Pusat Studi Gender dan Anak, Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, Jawa Tengah, yang hingga Selasa (11/8/2020) terus menggalang dukungan akademi untuk RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Alissa Wahid, putri Abdurrahman Wahid Presiden ke-4 RI, yang juga Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian, dalam orasinya bersama organisasi masyarakat sipil, medio Juli lalu mengajak semua pihak mendoakan para pemimpin dan penyusun RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, agar hatinya terbuka melihat kekerasan yang terus menimpa kelompok rentan.
Buka mata hati
Berbagai kekerasan seksual yang menghancurkan hidup perempuan dan anak-anak seharusnya membuka mata hati para wakil rakyat di parlemen karena para korban kekerasan seksual harus berjuang sendiri tanpa ada solusi. ”Mau sampai kapan Indonesia akan terus begini? Sampai kapan semua perempuan yang tidak berdosa menjadi korban kekerasan seksual?” ujar Alissa.
Bahkan, Prof Sulistyowati Irianto, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, berulang kali mengingatkan bahwa kekerasan seksual terhadap perempuan, anak perempuan dan laki-laki bukan sekadar kekerasan terhadap kesusilaan, melainkan juga kejahatan kemanusiaan. Sebab, tindak kejahatan itu mengancam nyawa.
Mau sampai kapan Indonesia akan terus begini? Sampai kapan semua perempuan yang tidak berdosa menjadi korban kekerasan seksual?
Disahkannya UU Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi keniscayaan. Sebab, data menunjukkan betapa tingginya angka korban, dalam 30 menit ada dua korban. Data Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan menunjukkan sepanjang 12 tahun terakhir kekerasan seksual terhadap perempuan meningkat 792 persen atau naik 8 kali lipat.
Maka, semua harapan kini ditumpukan kepada para wakil rakyat di DPR. Apakah bisa dipastikan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual akan ditarik lagi oleh DPR dari daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020, Juli lalu? Tidak ada yang tahu pasti. Sebab, nasib RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tidak jelas posisinya, apakah Komisi VIII DPR sudah mengembalikan lagi ke Badan Legislasi DPR atau belum.
Lalu, pertanyaan selanjutnya apakah pasti masuk RUU Prioritas 2021? R Valentina Sagala, Senior Independent Advisor on Legal, Policy, Human Rights, menegaskan, jawabannya: tidak. Karena laporan singkat rapat koordinasi DPR beberapa waktu lalu menegaskan, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual masuk Prolegnas RUU Prioritas 2021 akan dibahas dan ditetapkan Oktober 2020 sebelum penetapan RUU APBN (Kompas, 30 Juli 2020).
Tidak ada keraguan
Pertanyaan sekarang, bagaimana dengan wakil rakyat sendiri? Wakil Ketua Komisi VIII DPR Ace Hasan Syadzily, dalam diskusi daring ”Penghapusan Kekerasan Seksual demi Keadilan, Pemulihan Korban, dan Pencegahan Keberulangan yang Efektif” yang digelar Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Selasa (11/8/2020), menyatakan, pihaknya mendukung upaya menghadirkan payung hukum terkait pencegahan, penindakan, penghapusan, dan rehabilitas korban kekerasan seksual.
”Kalau soal itu, kita tidak ada keraguan lagi. Sebagaimana juga sikap kami, sikap saya pribadi, secara tegas bahwa memang upaya untuk mencegah dan menindak siapa pun pihak yang melakukan kekerasan seksual harus setegas mungkin,” ujarnya.
Namun, upaya melindungi perempuan tidak bisa semudah membalikkan telapak tangan, tapi harus dilakukan terus-menerus. Tidak hanya cukup melalui regulasi tetapi merupakan upaya mendekonstruksi cara pandang masyarakat terkait relasi laki-laki dan perempuan, yang dipengaruhi oleh doktrin budaya dan nilai-nilai yang memengaruhi masyarakat.
Oleh karena itu, menurut Ace, penghapusan kekerasan seksual bukan hanya soal pemidanaan, melainkan ini juga soal konstruksi cara berpikir masyarakat dalam upaya merehabilitasi korban. ”Ini merupakan upaya kita untuk memanusiakan manusia,” kata Ace.
Pertanyaannya, jika para wakil rakyat seperti Ace berpandangan upaya melindungi perempuan dan anak dari kekerasan seksual untuk memanusiakan manusia, mengapa begitu sulit RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dilanjutkan prosesnya? Mengapa RUU itu terlempar dari daftar Prolegnas Prioritas 2020?
Kini nasib RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ada di tangan para wakil rakyat. Sepanjang tidak ada komitmen kuat dari DPR, suara-suara tentang urgensi UU Penghapusan Kekerasan Seksual, hanya akan berhenti di diskusi-diskusi.
Dewan Perwakilan Rakyat sejatinya harus mewakili suara rakyat, terutama kelompok tertindas. Karena itu para korban kekerasan seksual menaruh asa pada DPR. Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual tidak bisa ditunda lagi. Sebab, terkatung-katungnya nasib dari RUU tersebut akan menambah panjang daftar nama korban kekerasan seksual tanpa keadilan.