Selain memberikan asupan pangan terbaik, menyusui secara langsung juga dapat membangun kedekatan antara ibu dan anak secara optimal. Selain itu, bayi akan mendapatkan stimulasi yang baik selama proses menyusui.
Oleh
Deonisia Arlinta
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemberian air susu ibu tidak hanya bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan nutrisi bayi. Menyusui secara langsung juga dapat membangun kedekatan antara ibu dan anak secara optimal. Selain itu, bayi akan mendapatkan stimulasi yang baik selama proses menyusui.
Ketua Umum Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (IAMI) Nia Umar mengatakan, air susu ibu (ASI) memiliki berbagai kandungan yang tidak dapat digantikan oleh produk susu apa pun. Pemberian ASI secara eksklusif selama enam bulan dan dilanjutkan sampai usia dua tahun dapat menjadi bekal bagi kesehatan anak di masa depan.
Proses menyusui secara langsung juga diperlukan untuk membangun kelekatan antara ibu dan bayi.
”Berbagai penelitian sudah membuktikan bahwa ASI mengandung gizi lengkap dan hormon yang dibutuhkan untuk tumbuh kembang anak. Itu tidak bisa digantikan oleh susu formula. Selain itu, proses menyusui secara langsung juga diperlukan untuk membangun kelekatan antara ibu dan bayi,” katanya di Jakarta, Selasa (11/8/2020).
Meski begitu, Nia menuturkan, pemahanan ibu akan pentingnya ASI masih rendah. Di lain sisi, promosi dari produsen susu formula juga semakin gencar dilakukan.
Hal ini semakin mengancam pemenuhan ASI eksklusif di Indonesia. Selain itu, sebagian ibu dengan literasi yang kurang masih memahami bahwa ASI bisa digantikan dengan jenis minuman lain, seperti air putih, madu, dan kopi.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan pada 2018, persentase bayi yang mendapat ASI eksklusif baru sebesar 65,16 persen. Adapun provinsi yang memiliki persentase paling kecil berada di Sulawesi Utara (38,69 persen), Maluku (41,51 persen), dan Gorontalo (46,91 persen).
Konselor laktasi
Menurut Kepala Bagian Nutrisi Badan PBB untuk Anak-anak (Unicef) Indonesia Jee Hyun Rah, pemahaman masyarakat terkait pemberian ASI yang tepat bergantung pada peran konselor laktasi. Apabila konseling laktasi atau menyusui dilakukan dengan baik, pemberian ASI juga akan meningkat.
Oleh karena itu, ketersediaan tenaga konselor laktasi yang terlatih sangat dibutuhkan di tengah masyarakat. Konseling laktasi pun harus tetap berjalan meskipun tengah terjadi pandemi Covid-19. Kebutuhan konseling justru semakin tinggi terutama terkait pencegahan penularan dari ibu ke bayi.
”Sekalipun seorang ibu terinfeksi ataupun dicurigai tertular Covid-19, menyusui harus tetap dilanjutkan. Menyusui memiliki berbagai keuntungan yang lebih besar dari risiko penularan. Konseling menjadi penting untuk mengarahkan protokol kesehatan dalam upaya pencegahan penularan selama menyusui,” ucap Jee.
Meski begitu, pandemi Covid-19 berdampak pada keterbatasan akses masyarakat terhadap layanan konseling antenatal atau konseling persiapan kelahiran. Untuk sementara, penggunaan konseling secara daring bisa dimanfaatkan. Namun, ia lebih menganjurkan melakukan konseling tatap muka dengan temu janji.
Ada beberapa praktik menyusui yang sulit dijelaskan jika tidak secara langsung.
”Ada beberapa praktik menyusui yang sulit dijelaskan jika tidak secara langsung. IDAI kini sedang mengembangkan layanan e-konseling. Diharapkan layanan ini bisa segera terwujud sehingga dapat mengatasi persoalan keterbatasan akses di masa pandemi ini,” katanya.
Direktur Gizi Masyarakat Kementerian Kesehatan Dhian Probhoyekti Dipo menyampaikan, pemerintah telah mengupayakan akses untuk melakukan telekonseling. Fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) juga tetap melayani konseling laktasi bagi masyarakat. Jika tidak memungkinkan untuk datang ke fasyankes, para ibu bisa membentuk kelompok kecil di sekitar tempat tinggal sehingga konselor laktasi bisa mendatangi kelompok tersebut.
Bekerja dari rumah
Elizabeth menuturkan, pandemi Covid-19 dapat menjadi momentum untuk meningkatkan capaian pemberian ASI eksklusif. Sebagian ibu bekerja kini lebih banyak menghabiskan waktunya tetap berada di rumah. Kendala untuk menyusui pun menjadi berkurang.
”Bekerja dari rumah selama masa pandemi ini bisa sekaligus menjadi contoh baik untuk meningkatkan capaian ASI eksklusif di Indonesia. Kebijakan pemerintah perlu didorong agar pemberian cuti melahirkan selama tiga bulan bisa dilanjutkan dengan bekerja dari rumah selama tiga bulan berikutnya,” ujarnya.