Tur motor gede memperingati 15 tahun perdamaian Aceh dengan alokasi anggaran Rp 300 juta dikritik publik. Korban konflik masih banyak yang melarat, kesulitan ekonomi juga tengah terjadi karena pandemi Covid-19.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Tur motor gede atau moge memperingati 15 tahun perdamaian Aceh dengan alokasi anggaran Rp 300 juta dikritik publik. Tur moge dinilai tidak cocok untuk peringatan perdamaian, apalagi saat ini warga sedang dalam keadaan kesulitan ekonomi karena pandemi Covid-19.
Ketua Divisi Advokasi dan Kampanye Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Aceh Azharul Husna, Rabu (12/8/2020), mengatakan, tur moge yang dibungkus dalam kemasan ”Touring Perdamaian” pada 12-14 Agustus 2020 melukai hati para korban konflik. Hari perdamaian Aceh diperingati setiap tanggal 15 Agustus.
Tur tersebut melibatkan organisasi Ikatan Motor Besar Indonesia (IMBI) Aceh. Pelaksana Tugas Gubernur Aceh Nova Iriansyah merupakan dewan penasihat pada organisasi IMBI Aceh.
Azharul mengatakan, tur tersebut dibiayai oleh Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Aceh. Anggaran tersebut lebih baik digunakan untuk memperkuat ekonomi warga yang terpukul karena Covid-19. ”Harusnya digunakan untuk menangani pandemi Covid-19, bukan malah untuk jalan-jalan dan bersenang-senang,” kata Azharul.
Tur tersebut dimulai dari Kabupaten Aceh Tamiang dan berakhir di Kota Banda Aceh. Dalam perjalanan, peserta tur akan singgah ke beberapa kota, seperti Langsa, Lhokseumawe, dan Bireuen. Tur diikuti sekitar 50 orang.
Azharul menambahkan, saat ini kasus positif Covid-19 di Aceh terus bertambah. Hingga Rabu jumlah kasus 747 orang. Potensi kasus akan terus bertambah sebab saat ini transmisi lokal semakin meluas.
Azharul menilai Pemprov Aceh tidak memiliki kepekaan terhadap kondisi warganya. Tur perdamaian dalam masa pandemi Covid-19 menabrak dua hal, yaitu perasaan korban konflik yang masih hidup dalam kemelaratan dan larangan berkumpul mencegah penyebaran virus.
Setelah 15 tahun perdamaian masih banyak korban konflik yang hidup prasejahtra. Rehabilitasi korban dan perbaikan ekonomi minim dilakukan oleh pemerintah. ”Tidak ada relevansi tur moge dengan peringatan hari perdamaian Aceh. Tur ini hanya untuk swafoto saja,” ujar Azharul.
Azharul mengajak Pemprov Aceh, komunitas, dan warga berefleksi apa capaian pembangunan selama 15 tahun. Dia menilai masih banyak korban yang jauh lebih butuh pemberdayaan daripada menghabiskan uang untuk tur moge.
Masih banyak korban yang jauh lebih butuh pemberdayaan daripada menghabiskan uang untuk tur moge.
”Komunitas moge ini lazimnya orang berduit. Harusnya hari damai melakukan kegiatan sosial untuk korban konflik, bukan merogoh dana daerah,” kata Azharul.
Ketua Badan Reintegrasi Aceh (BRA) Fakhrurrazi mengatakan, tur moge 15 tahun perdamaian Aceh untuk mengampanyekan perdamaian Aceh kepada pihak luar. Dia menyebutkan tur itu bagian dari promosi wisata.
”Kenapa ada tur moge? Karena hari damai milik semua orang. Dengan mereka wisata mungkin ada uang masuk ke Aceh,” kata Fakhrurrazi.
Namun di sisi lain, Fakhrurrazi mengakui masih banyak korban konflik yang belum tersentuh program pemberdayaan ekonomi dan pemulihan trauma akibat konflik. Tahun 2020, BRA mendapatkan alokasi anggaran Rp 17 miliar, tetapi anggaran itu sebagian besar habis untuk belanja rutin pegawai.
BRA dibentuk 2007 atau dua tahun setelah perdamaian Aceh. BRA memiliki tugas merawat perdamaian, pemberdayaan ekonomi korban konflik, dan memulihkan psikologis korban dari trauma berkepanjangan akibat kekerasan yang diderita masa konflik.
Koordinator Gerakan Anti Korupsi (Gerak) Aceh Askalani mengatakan, hasil penelusuran mereka anggaran Rp 300 juta untuk tur itu digunakan untuk belanja baju peserta, subsidi bahan bakar, dokumentasi, dan biaya penginapan.
”Saya yakin korban konflik dan anak yatim korban konflik pasti sangat kecewa dengan kegiatan ini, tidak ada manfaat sedikit pun untuk mereka yang selama ini berperang ketika konflik Aceh dulu,” kata Askalani.