Wujudkan Hunian Nyaman bagi Warga Indonesia
Refleksi 75 tahun kemerdekaan Indonesia seharusnya menggugah kesadaran pemerintah untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat berupa perumahan. Pandemi kembali mengingatkan betapa penting memiliki rumah yang memadai.
Rumah layak huni dan terjangkau diperlukan agar masyarakat betah di rumah, terlebih dalam masa pandemi Covid-19. Tanpa hunian yang memadai, masyarakat akan memilih beraktivitas di luar rumah.
Pandemi Covid-19 membuat pemerintah membatasi kegiatan masyarakat sehingga warga melakukan sebagian besar aktivitasnya, yaitu bekerja, belajar, dan beribadah, di seputar tempat tinggal. Namun, tak semua orang beruntung memiliki hunian layak.
Statistik Kesejahteraan 2019 mencatat, baru 80,07 persen keluarga yang memiliki rumah. Artinya, terdapat satu dari lima keluarga di Indonesia yang belum memiliki hunian sendiri. Ketiadaan rumah sendiri membuat keluarga-keluarga itu tinggal menumpang di rumah orangtua atau kerabat. Sebagian lagi menyewa rumah kontrak, rumah susun, atau menempati rumah dinas.
Sejumlah kendala membuat belum semua keluarga memiliki rumah idaman. Impian masyarakat mendapatkan hunian tersebut terkendala faktor internal dan eksternal. Aspek internal terkait kemampuan daya beli masyarakat (affordability). Adapun faktor eksternal berhubungan dengan akses mendapatkan kredit perumahan (accessibility) dan pasokan perumahan (availability).
Data Bank Indonesia menyebutkan, harga properti residensial pada triwulan IV-2019 naik 1,77 persen secara tahunan. Harga rumah yang terus merangkak naik ini memberatkan masyarakat.
Minimnya daya beli masyarakat terlihat dari cara membeli rumah. Mayoritas pembelian properti residensial dilakukan dengan cara kredit, yaitu 71,88 persen. Hanya 7,89 persen konsumen yang membeli secara tunai, sementara sebagian lainnya dengan cara pembayaran tunai bertahap.
Di luar itu masih ada kelompok masyarakat yang memiliki keterbatasan daya beli rumah. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman menyebutkan terdapat masyarakat berpenghasilan rendah yang perlu didukung pemerintah untuk memperoleh rumah.
Penduduk miskin merupakan salah satu bagian dari masyarakat berpenghasilan rendah. Keterbatasan kemampuan penduduk miskin membuat mereka masuk dalam sasaran utama Program Sejuta Rumah agar mendapatkan hunian. Dari pencatatan BPS, jumlah penduduk miskin pada Maret 2020 sebesar 26,42 juta orang. Meski demikian, keberadaan penduduk miskin tak sepenuhnya menggambarkan jumlah warga berpenghasilan rendah yang belum mempunyai rumah.
Akses terbatas
Selain daya beli, faktor akses masyarakat untuk mendapat kredit perumahan masih terbatas. Dokumen pengajuan kredit perumahan yang harus diajukan diseleksi secara ketat.
Untuk karyawan yang hendak mengajukan kredit, setidaknya harus melampirkan 10 persyaratan dokumen pribadi. Syarat ini makin banyak jika orang yang hendak mengajukan kredit berlatar belakang wirausaha.
Pemohon kredit pun harus menghitung suku bunga KPR, jangka waktu pinjaman, serta menyiapkan uang muka pembelian. Jadi, untuk mendapatkan akses kredit perumahan, orang harus melewati rangkaian seleksi finansial dan identitas yang ketat.
Masih terbatasnya akses kredit perumahan membuat rasio KPR di Indonesia rendah. Kajian Stabilitas Keuangan 2018 yang dilakukan Bank Indonesia mencatat, rasio kredit pemilikan rumah terhadap produk domestik bruto Indonesia sebesar 2,90 persen.
Rasio KPR tersebut tergolong minim jika dibandingkan dengan Singapura (44,8 persen) dan Malaysia (38,40 persen). Selain minim, fasilitas kredit tersebut belum leluasa diakses oleh pekerja informal.
Kendala lain yang muncul dari faktor eksternal adalah sisi pasokan. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat menyebutkan, kekurangan pasokan (backlog) perumahan dari sisi konsep penghunian sebesar 7,6 juta unit. Angka ini dapat bertambah mengingat kebutuhan rumah baru per tahunnya mencapai 500.000-700.000 unit.
Masih terbatasnya akses kredit perumahan membuat rasio KPR di Indonesia rendah.
Untuk memenuhi kebutuhan rumah masyarakat, Kementerian PUPR melalui Direktorat Jenderal Penyediaan Perumahan terus membangun hunian. Capaian pembangunan rumah untuk masyarakat hingga 2019 ialah 1.267.105 unit. Dari jumlah itu, sebanyak 74 persen hunian dialokasikan bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Pembangunan tersebut merupakan bagian dari Program Sejuta Rumah. Total capaian pembangunan rumah selama lima tahun sejak 2015 hingga 2019 adalah 4.809.423 unit.
Program tersebut diakselerasi lewat penyediaan program subsidi KPR dengan menggunakan skema fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP). Kementerian PUPR juga menjalankan beberapa program, seperti Bantuan Pembiayaan Perumahan Berbasis Tabungan (BP2BT), Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS), Subsidi Selisih Bunga (SSB), serta Subsidi Bantuan Uang Muka (SBUM).
Layak huni
Rumah merupakan kebutuhan utama masyarakat. Pemenuhan kebutuhan tersebut dijamin UUD 1945. Pasal 28H Ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
Artinya, negara harus memperhatikan akses perumahan sebagai hak dasar bagi seluruh warga Indonesia. Meskipun terdapat berbagai program, rumah layak huni dan terjangkau bagi masyarakat miskin dan berpenghasilan rendah masih jadi tantangan yang dihadapi pemerintah.
Baca juga: Tapera Menyasar 13 Juta Pekerja
Pokok permasalahan tempat tinggal bukan hanya jumlah rumah yang terbangun, melainkan juga kelayakan rumah. Adapun definisi rumah merupakan bangunan gedung yang berfungsi sebagai tempat tinggal layak huni.
Pedoman Perumahan dan Kesehatan WHO menyoroti beban kesehatan akibat keberadaan rumah di bawah standar kelayakan. Pedoman tersebut memberikan rekomendasi tentang ruang hidup yang cukup lapang (tidak sesak), suhu yang sesuai, bebas dari bahaya cedera di rumah, serta ramah dan aksesibilitas bagi orang-orang dengan gangguan fungsional.
Selain itu, pedoman WHO memberikan rekomendasi standar perumahan yang harus memenuhi kelayakan kualitas air, kualitas udara, kebisingan lingkungan, asbes, timbal, hingga asap tembakau.
Memastikan persyaratan perumahan yang layak huni dapat membantu pencegahan penularan penyakit antarpenghuni rumah. Pada masa pandemi Covid-19, penyediaan air bersih untuk mencuci tangan dan kepadatan hunian yang berlebihan menjadi aspek yang menunjang pencegahan penularan.
Pedoman WHO memberikan rekomendasi standar perumahan yang harus memenuhi kelayakan kualitas air, kualitas udara, kebisingan lingkungan, asbes, timbal, hingga asap tembakau.
Hingga 2019, masih terdapat 56,51 persen rumah tangga di Indonesia yang menempati hunian tidak layak. Kriteria tersebut berdasarkan aspek-aspek kelayakan rumah, seperti luas lantai per kapita, air minum, ketersediaan sanitasi, dan sumber penerangan listrik.
Dalam konteks saat ini, banyaknya rumah dengan kondisi belum layak menjadi tantangan pencegahan penularan wabah Covid-19. Keputusan pemerintah mengimbau warga untuk lebih banyak melakukan kegiatan dari rumah terkendala kualitas hunian masyarakat.
Tidak heran, di tengah kebijakan pembatasan sosial akibat pandemi, masih banyak warga yang tetap beraktivitas di luar rumah. Salah satu faktornya adalah kondisi rumah yang kurang layak. Hal ini masih dihadapi lebih dari separuh keluarga di Indonesia.
Bagaimana dapat maksimal mengimbau masyarakat untuk berdiam di rumah jika warganya masih menghadapi problem dasar hunian, seperti rumah yang sempit dan minimnya air bersih?
Karena itu, refleksi 75 tahun kemerdekaan Indonesia seharusnya menggugah kesadaran pemerintah untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Selain terus mengupayakan pembangunan rumah layak dengan harga terjangkau, pemerintah dapat memberikan sedikit kenyamanan lewat subsidi listrik dan kuota internet.
Tidak dimungkiri, kebijakan beraktivitas dari rumah membuat standar kelayakan rumah bertambah karena faktor beban konsumsi listrik dan internet. Agar dapat maksimal meminta masyarakat dapat betah di rumah, pemberian subsidi tarif listrik dan kuota internet dapat dilakukan guna menjaga kualitas keluarga Indonesia dari tekanan ekonomi dan psikologi akibat pandemi Covid-19. (LITBANG KOMPAS)