Presiden Jokowi menyerahkan penghargaan kepada 22 tenaga kesehatan yang gugur saat merawat pasien Covid-19. Tenaga medis merupakan kelompok paling rawan tertular Covid-19 dan rentan akan stigmatisasi.
Oleh
FX LAKSANA AS
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Presiden Joko Widodo akan menganugerahkan 9 Bintang Jasa Pratama dan 13 Bintang Jasa Nararya kepada tenaga medis yang gugur karena merawat pasien Covid-19. Ini sebagai bentuk dukacita mendalam dan penghormatan tertinggi negara kepada seluruh tenaga medis yang menjadi garis depan penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia.
Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman melalui siaran pers, menyatakan, upacara penganugerahan akan digelar di Istana Negara, Jakarta, Kamis (13/8/2020) pagi ini. Penyerahan 22 bintang jasa akan dilakukan Presiden kepada perwakilan tenaga medis yang telah gugur.
Penyerahan 22 bintang jasa ini, Fadjroel melanjutkan, merupakan tahap pertama yang akan dilanjutkan dengan tahap berikutnya, yakni pemberian santunan yang sama kepada tenaga medis yang gugur.
”Dukacita mendalam disampaikan juga kepada keluarga para tenaga medis yang wafat tersebut, serta kepada rekan sejawat seprofesi yang hingga saat ini masih berjibaku merawat pasien Covid-19. Tanpa kenal lelah, dengan panggilan kemanusiaan tanpa sekat apa pun, seluruh tenaga medis telah berjasa dalam menangani pandemi Covid-19 dengan penuh dedikasi dan profesional,” kata Fadjroel.
Presiden, menurut Fadjroel, mengapresiasi kerja keras seluruh jajaran penanggulangan Covid-19 di daerah dan pusat. Presiden juga tetap memerintahkan penanganan Covid-19 secara lebih masif dengan mengedepankan strategi intervensi berbasis lokal dan kampanye disiplin penggunaan masker, menjaga jarak, mencuci tangan.
Masih mengutip siaran pers yang sama, pemerintah bekerja keras menangani pandemi Covid-19 dan kehidupan sosial ekonomi rakyat Indonesia melalui Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional. Salah satu agenda kerjanya adalah mempercepat keberadaan vaksin Covid-19 melalui kerja sama Biofarma dengan Sinovac, serta Vaksin Merah Putih melalui Lembaga Eijckman.
Tenaga medis adalah kelompok paling rawan tertular Covid-19. Selain risiko tertular yang bisa berujung pada kematian, tenaga medis juga memgalami tekanan mental selama masa Covid-19
Tenaga medis adalah kelompok paling rawan tertular Covid-19. Selain risiko tertular yang bisa berujung pada kematian, tenaga medis juga mengalami tekanan mental selama masa Covid-19.
Sebagaimana pernah diberitakan harian Kompas, Covid-19 berdampak buruk bagi kesehatan mental tenaga kesehatan. Survei terhadap perawat dari Aceh hingga Papua menemukan lebih dari separuhnya mengalami kecemasan dan depresi. Situasi diperparah dengan adanya stigmatisasi.
”Survei kami menemukan sebagian besar perawat mengalami kecemasan dan depresi dengan berbagai gejalanya. Bahkan, ada yang sampai berpikir mengakhiri hidup,” kata Herni Susanti, dosen Keperawatan Jiwa, Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia (UI), di Jakarta, Senin (3/8/2020).
Survei ini dilakukan peneliti Departemen Keperawatan Jiwa, Fakultas Ilmu Keperawatan UI, bekerja sama dengan Divisi Penelitian Ikatan Perawat Kesehatan Jiwa Indonesia (IPKJI) pada April hingga Mei 2020. Survei diikuti 2.132 perawat dari seluruh Indonesia yang bertugas di berbagai pelayanan kesehatan, baik rumah sakit maupun puskesmas, yang menangani pasien Covid-19.
Menurut Herni, tekanan terhadap para perawat ini diperparah dengan stigmatisasi. Survei menemukan semua responden mengalami stigmatisasi, dengan 26 persen merasakan stigma tinggi dan 74 persen merasakan stigma rendah.
Tekanan terhadap para perawat ini diperparah dengan stigmatisasi. Survei menemukan semua responden mengalami stigmatisasi, dengan 26 persen merasakan stigma tinggi dan 74 persen merasakan stigma rendah.
Dari survei ini ditemukan adanya stigmatisasi dan diskriminasi yang dialami secara nyata oleh 389 perawat atau 18 persen dari responden. Bentuk stigma yang dialami itu, antara lain, berupa orang-orang sekitar menghindar dan menutup pintu saat melihat perawat, diusir dari tempat tinggal, dilarang naik kendaraan umum, keluarga mereka dikucilkan, dilarang menikahi mereka, dan ancaman diceraikan oleh suami atau istri.
”Stigmatisasi yang mereka alami ini sangat berat, di tengah tekanan pekerjaan yang meningkat. Banyak perawat yang menjadi sukarelawan di rumah sakit khusus harus bertugas sampai tiga bulan,” kata Herni.