Memperkokoh Benteng Keluarga Saat Pandemi Covid-19
Pandemi Covid-19 memaksa masyarakat dunia mengubah kebiasaan hidupnya. Rumah dan keluarga menjadi pusat dari segala kegiatan, mulai dari bersekolah, bekerja, hingga beribadah.
Kondisi keterpaksaan menghadapi pandemi Covid-19, menguji daya tahan keluarga. Ada keluarga yang semakin kuat menghadapi situasi krisis dan ada yang tidak.
Sebuah pernyataan menarik muncul dalam diskusi daring yang diselenggarakan Center for Public Mental Health (CPMH) Univeritas Gadjah Mada akhir Juli lalu. Pernyataan tersebut adalah setiap masalah di dunia berawal atau berakhir di keluarga. Ini merupakan pernyataan yang penting mengenai pentingnya institusi bernama keluarga.
Virus korona baru tidak berawal dari keluarga, tetapi pada akhirnya, keluarga di seluruh dunia terkena dan harus menghadapi dampak virus yang menyebar dengan sangat cepat ini.
Pemerintahan di semua negara berupaya sebisa mungkin dengan berbagai instrumen kebijakannya mengatasi dampak yang ditimbulkan pandemi ini. Para peneliti dan pakar mencari solusi dan semua pihak bersatu menanggulanginya. Tetapi, pada akhirnya, semuanya bergantung pada keluarga. Bagaimana keluarga bisa melewati masa pandemi ini dengan baik.
Menurut Profesor John DeFrain, seorang profesor emeritus di bidang psikologi keluarga dari University of Nebraska-Lincoln, Amerika Serikat, pandemi Covid-19 dan lockdown yang menyertainya merupakan badai yang paling sempurna (perfect storm) untuk keluarga.
”Tiba-tiba dunia hampir terbalik, begitu cepat. Dalam usia saya 73 tahun, saya telah mengalami banyak hal di dunia ini, tetapi belum pernah melihat hal seperti ini terjadi. Sesuatu yang berdampak pada kita semua, yang membuat perubahan yang sangat besar,” kata DeFrain.
Dari segi kesehatan, dampak Covid-19 terlihat begitu nyata. Dalam waktu tujuh bulan, lebih dari 20 juta orang di seluruh dunia terkena Covid-19 dan sekitar 750.000 orang di antaranya meninggal dunia.
Selain nyawa yang terenggut, gejolak di masyarakat terjadi dalam menyikapi penularan virus korona baru ini. Timbul pro dan kontra, bahkan masif penyebaran informasi bohong dan tidak akurat. Terlalu banyak energi yang dicurahkan akibat virus ini.
Dari segi ekonomi, Covid-19 menyeret dunia ke dalam resesi. Ekonomi melambat, akibatnya banyak orang yang kehilangan pekerjaan. Efek dominonya cukup panjang. Di AS, hampir separuh penduduknya (47,2 persen) kini tidak memiliki pekerjaan (CNBC, 29/6/2020).
Sementara di Indonesia sendiri, informasi dari laman Kementerian Tenaga Kerja (per 18 Juni 2020, menyebutkan jumlah pekerja yang terdampak situasi pandemi Covid-19 hingga akhir Mei mencapai 1,7 juta orang, baik pekerja formal maupun informal.
Tak terhitung jumlah orang atau keluarga yang penghasilannya menurun karena pandemi. Tambahan pengangguran diestimasi mencapai 2,92 juta hingga 5,23 juta orang.
Sementara Kamar Dagang dan Industri (Kadin) mencatat, jumlah pekerja yang dirumahkan dan di-PHK sudah mencapai 6 juta orang selama pandemi ini. Sebagian besar pekerja dirumahkan karena pengusaha tidak punya dana untuk melakukan PHK. Orang-orang terpaksa berada di rumah, mengurangi aktivitas, dan ruang gerak terbatas karena mesti berjarak 2 meter.
Selain berdampak pada fisik, kompleksitas permasalahan di masa pandemi juga memengaruhi kesehatan mental masyarakat. Banyak studi di luar dan dalam negeri menyebutkan, gangguan stres, kecemasan, bahkan depresi meningkat, baik di kalangan masyarakat umum maupun para tenaga medis.
Tiba-tiba dunia hampir terbalik, begitu cepat. Dalam usia saya 73 tahun, saya telah mengalami banyak hal di dunia ini, tetapi belum pernah melihat hal seperti ini terjadi. (Profesor John DeFrain, University of Nebraska-Lincoln, Amerika Serikat)
Baca juga : Memahami Resiliensi Masyarakat di Masa Pandemi
Kekuatan utama
Keluarga menjadi benteng pertahanan terkuat untuk mengarungi badai pandemi ini. Sebuah keluarga yang kuat saat mengalami krisis bisa diibaratkan besi yang dapat bengkok akibat terpaan angin kencang. Tetapi, ia tidak mudah patah dan akan semakin kuat seiring berjalannya waktu.
Komunikasi antaranggota keluarga menjadi jantung bagaimana keluarga berfungsi. Setiap keluarga memiliki latar belakang budaya masing-masing yang memengaruhi cara dan kualitas penyelesaian masalah di dalam keluarga.
Namun, dari banyak penelitian terkait masalah keluarga yang dilakukan di negara-negara, DeFrain menyampaikan bahwa terdapat suatu model global yang bisa dipakai sebagai acuan yang disebut sebagai enam kekuatan utama yang membangun keluarga.
Keenam kekuatan utama tersebut adalah apresiasi dan afeksi, komitmen pada kepentingan keluarga, komunikasi yang positif, menghabiskan waktu bersama yang lebih menyenangkan, memiliki kesejahteraan spiritual, serta kemampuan mengatasi stres dan krisis secara efektif.
Keluarga yang memiliki beberapa kekuatan utama tersebut lebih mungkin untuk bangkit atau berhasil melalui krisis yang berat dalam kehidupan. Sementara keluarga dengan kekuatan yang sedikit akan kesulitan untuk menghadapi krisis dalam kehidupan.
Situasi krisis dan stres dapat merusak keluarga. Untuk itu, agar dapat mengatasi kondisi stres dan krisis secara efektif, diperlukan beberapa komponen, seperti kemampuan dalam berbagi perasaan, saling memahami dan membantu sesama anggota keluarga, bersabar dan saling memaafkan, serta kemampuan beradaptasi untuk setiap perubahan yang dilakukan.
Anggota keluarga harus berkomitmen untuk mencari kebahagiaan dan bersama-sama bertumbuh di masa krisis, bukan dengan saling menjauhi, apalagi berpisah. Keluarga juga harus fokus pada kekuatan yang dimiliki dan itu gunakan untuk mengatasi setiap kesulitan.
Tidak sulit untuk mengetahui apa yang menjadi kekuatan di sebuah keluarga asal semua anggota keluarga, termasuk anak, bisa duduk bersama, mencari, dan menyepakati apa yang menjadi kekuatan tersebut.
Jika kesulitan yang dihadapi sulit diatasi, keluarga tidak perlu ragu untuk meminta pertolongan kepada orang yang bisa dipercaya. Bisa kepada orang yang dianggap dekat atau kepada tenaga profesional. Bahkan, di masa sekarang, teknologi memberi kesempatan dan kemudahan kepada individu maupun keluarga untuk mengakses layanan psikologi yang berkualitas.
Baca juga : Mewaspadai Bunuh Diri di Kala Pandemi
Konsultasi daring
Selama pandemi ini, lembaga profesional di bidang psikologi banyak yang secara aktif memberikan layanan konsultasi atau konseling di bidang kesehatan mental. Seperti yang dilakukan Unit Konsultasi Psikologi (UKP) Universitas Gadjah Mada sejak Maret 2020. Juga akses ke layanan mental oleh Himpunan Psikologi Indonesia (Himpsi) di provinsi-provinsi.
Posisi strategis dimiliki oleh perguruan tinggi untuk mengambil peran dalam membuka akses untuk prevensi dan penanganan masalah di masa pandemi. Hal itu oleh karena mereka memiliki modal infrastruktur dan sumber daya yang memadai untuk menjangkau lapisan masyarakat.
Karena kondisi kedaruratan selama masa pandemi, sistem layanan kesehatan mental perlu disesuaikan untuk mendukung kesehatan mental masyarakat.
Terdapat tiga jenis layanan yang dapat dilakukan selama pandemi, yaitu layanan melalui fasilitas dalam jaringan (daring) atau telepsikologi, layanan bagi masyarakat dengan keterbatasan akses (lokasi dan teknis), serta layanan bagi individu dengan riwayat masalah kesehatan mental yang sudah dimiliki.
UKP UGM temasuk salah satu yang membuka layanan kesehatan mental bagi masyarakat umum secara daring, gratis melalui pesan tertulis yang disampaikan lewat media sosial seperti Instagram dan surat elektronik. Sebanyak 40 psikolog terlibat dalam layanan tersebut untuk mempercepat penanganan keluhan.
Konsultasi daring ini disambut antusias masyarakat dari daerah-daerah, tidak saja dari Yogyakarta dan terutama dari kalangan remaja dan dewasa awal. Dalam kurun empat bulan (Maret-Juli), terdapat 294 klien yang memanfaatkan layanan konsultasi daring ini.
Dari pengalaman UKP UGM, keunggulan layanan daring ini adalah respons yang cepat sehingga penanganan yang diberikan sangat membantu meringankan beban klien. Layanan daring mengatasi masalah waktu, lokasi, dan keterbatasan gerak.
Namun, jenis layanan ini bukan tanpa kekurangan. Penanganan keluhan psikologis harus dilakukan dengan kehati-hatian karena dengan model layanan daring atau remote counseling banyak simptom psikologis tidak bisa diobservasi seperti saat dilakukan konseling tatap muka.
Layanan daring hanyalah salah satu akses konsultasi untuk menyesuaikan dengan keadaan pandemi. Layanan ini bisa sangat membantu bagi individu dan keluarga jika dimanfaatkan dengan baik untuk mengatasi krisis dan permasalahan. Krisis akan selalu ada, tetapi selama anggota keluarga selalu bersama-sama, setiap krisis akan dapat dilalui dan keluarga bisa semakin kuat. (LITBANG KOMPAS)