Pandemi Covid-19 tak menghentikan sederetan aksi tawuran antarorang. Pada masa pembatasan sosial yang semestinya mengurangi pergerakan orang, sejumlah kasus terus mencuat hingga memakan korban.
Oleh
ADITYA DIVERANTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Banyak kegiatan orang yang terhenti akibat pandemi Covid-19, tetapi hal itu rupanya tidak untuk aksi tawuran. Pada masa pembatasan sosial berskala besar, seperti saat ini, aparat justru kian gencar menemukan sederet kasus tawuran di sekitar Ibu Kota.
Kasus tawuran paling akhir terjadi pada Sabtu (8/8/2020) di kawasan Pondok Pinang, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Metro Jakarta Selatan Ajun Komisaris Besar Mochammad Irwan Susanto mengonfirmasi pengeroyokan dan penusukan yang menewaskan pelajar berinisial TA (17).
Begitu pula setidaknya selama tiga bulan terakhir, aksi tawuran kerap mencuat hingga Kepolisian Daerah Metro Jaya berupaya memetakan sejumlah lokasi yang dianggap rawan. Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Yusri Yunus menuturkan, ada tim khusus yang menyisir daerah rawan tawuran serta kejahatan jalanan.
”Ada tim khusus yang menyisir daerah rawan, terutama dari unit kepolisian sektor setempat juga terus berpatroli. Ramainya aksi tawuran di Jakarta Timur dan Bekasi, sekitar sebulan kemarin, menjadi alarm untuk kepolisian,” ujarnya saat dihubungi pada Rabu (12/8/2020).
Walakin, potensi tawuran antarorang selalu muncul meski dalam situasi pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Ada kelompok tertentu yang juga aktif mencari lawan, lalu berjanji untuk bertemu di suatu tempat. Hal tersebut salah satunya diakui oleh sejumlah geng motor saat ditangkap oleh kepolisian di bilangan Cengkareng, Jakarta Barat.
Kepala Polsek Cengkareng Komisaris Khoiri mengatakan, komplotan geng motor yang bernama Maju Kena Mundur Kena (Make Muke) ini kerap aktif mencari lawan tawuran saat PSBB. ”Dari penelusuran tim, mereka berjejaring di media sosial untuk mencari lawan tawuran, umumnya melakukan live streaming,” ucap Khoiri.
Ada tim khusus yang menyisir daerah rawan, terutama dari unit kepolisian sektor setempat juga terus berpatroli. Ramainya aksi tawuran di Jakarta Timur dan Bekasi, sekitar sebulan kemarin, menjadi alarm untuk kepolisian.
Hingga kini, sejumlah aksi tawuran serta kejahatan yang melibatkan kelompok anak-anak muda sedang dalam penelusuran kepolisian. Yusri memastikan setiap kasus ditangani sesuai proporsi. Apabila ada pelaku yang tergolong di bawah umur, polisi akan melibatkan pendampingan dari komisi perlindungan anak.
Sejumlah kasus tawuran dan aksi serupa kian mengkhawatirkan di tengah PSBB. Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Ai Maryati, sangat menyayangkan tidak adanya kesadaran akan bahaya paparan Covid-19 dari kelompok yang saling tawuran. Hal yang juga memprihatinkan adalah karena kalangan muda sangat mendominasi aksi tawuran itu.
Kelompok muda, terutama di kalangan pelajar, belakangan juga semakin banyak terlibat tawuarn. Sebelum kasus pengeroyokan TA di Jakarta Selatan, sejumlah kasus tawuran yang melibatkan pelajar juga terjadi di Bogor, Depok, dan Bekasi.
”Saya sangat menyayangkan situasi pandemi yang notabene membuat banyak orang sulit beraktivitas justru malah menjadi celah bagi pemuda untuk melakukan tawuran. Seakan belum ada pemahaman dari mereka terhadap situasi krisis saat ini,” ujar Ai.
Psikolog remaja dan anak, Novita Tandry, menjelaskan, aksi tawuran di kalangan pelajar memang sulit dipandang dalam perspektif umum. Itu karena para pengikut kelompok tawuran, baik kalangan pelajar maupun non-pelajar, kerap terjebak dalam motif yang tidak masuk akal dalam melakukan aksinya.
Dalam sejumlah kesempatan, Novita menemukan motif aksi tawuran dipicu karena saling ejek di medsos. Dari situ, ada yang mendendam dan menantang tawuran. Hal yang menjadi ironis, situasi bahaya akan pandemi pun luput dalam pertimbangan keputusan antarkelompok saat bertemu.
”Kalau orang yang berpikiran rasional dan memandang pandemi Covid-19 sebagai bahaya, tentu orang itu akan berpikir seribu kali untuk bepergian. Mereka mungkin berkeras dengan cara pandang, apa sih Covid-19? Saya sehat-sehat saja kok, enggak terasa sakit apa-apa,” ucap Novita.
Pemikiran abai kelompok tawuran juga bisa jadi karena sense of crisis di lingkungan keluarga yang rendah. Situasi ini bisa dipahami karena sebagian kalangan mungkin mengabaikan instruksi PSBB karena impitan situasi ekonomi. Ditambah lagi, peran orangtua dalam mengasuh anak semakin minim akibat jarang di rumah.
Dengan kondisi anak yang telanjur seperti itu, Novita mengingatkan pentingnya peranan orangtua sebagai seseorang yang mendampingi anak sejak belia. Bisa jadi, selama ini orangtua luput dalam mendengarkan keinginan anak sehingga kerap kali anak mencari ajang aktualisasi diri di luar rumah.
”Anak-anak punya momen krusial pertumbuhan. Seperti pada usia 0-5 tahun, mereka banyak belajar dari orangtua. Begitu pula saat memasuki usia 12-14 tahun, anak-anak sedang dalam fase mencari jati diri, ada sedikit jiwa untuk memberontak, dan sebagainya. Sifat-sifat itu wajar selama didampingi oleh lingkungan sekitar, baik di lingkungan rumah, teman, dan sekolah,” tuturnya.
Ai menambahkan, tawuran yang berlangsung selama PSBB menjadi kritik bagi semua pendamping anak. Baik orangtua, guru, lembaga perlindungan anak, maupun lembaga terkait lainnya berarti belum menanamkan kewaspadaan terhadap Covid-19 di kalangan remaja dan anak.
Selama PSBB, Ai menyarankan setiap orangtua dan guru yang mendampingi anak agar lebih menjadi sosok pendengar. Jangan lagi memakai cara-cara yang terlalu menggurui dan menghukum sehingga anak-anak semakin resistan saat diberi tahu.
Ai juga mengakui, aksi tawuran yang terus terjadi selama PSBB menjadi kritik bagi KPAI sendiri. Dia berjanji mendampingi anak yang menjadi pelaku dan korban tawuran untuk tahu musabab secara detail.
”Dalam situasi ini, suara mereka perlu didengar dan jangan dihakimi. Bagi mereka yang sampai melukai dan membunuh seseorang, tentu akan tetap ditindak tegas oleh aparat kepolisian,” ucap Ai.