Pengalaman Menjadi Putera Jawa Keluyuran di Sumatera
Bekerja di harian ”Kompas” tak hanya memberi saya kesempatan menjelajah banyak tempat dan mengakrabi banyak budaya. Juga yang lebih penting, mengoreksi banyak prasangka, termasuk tentang Medan dan khususnya Batak.
Penempatan tugas di suatu daerah tidak hanya memberi pemahaman terhadap wilayah daerah tersebut. Lebih jauh, memberi pengalaman merasakan langsung serta menghayati kehidupan dan budaya masyarakat setempat. Itu yang saya alami saat ditempatkan di Sumatera Utara.
Setelah lima tahun bertugas di Bandung, Jawa Barat, awal 2010 saya dipindahtugaskan ke Medan, Sumatera Utara. Empat tahun saya bertugas di sana sebelum akhirnya dipindahkan ke Ibu Kota.
Banyak pengalaman saya timba. Salah satunya, soal istilah-istilah generik Medan yang mulai saya pahami setahun setelah tinggal di sana. Berbagai istilah itu, antara lain ”keten”, ”kreak”, ”kedan”, ”mentiko”, dan ”mentel”.
Baca juga: Membongkar Kasus Penyelundupan Beras
Istilah, frasa, dan idiom itu susah tergantikan dengan kosakata dalam bahasa Indonesia. Kalaupun dipaksakan, ada emosi atau makna yang tertinggal. Jadi terasa kurang utuh maknanya. Misalnya, ”kreak” itu lebih dari ”menyebalkan” dan tidak pas kalau sekadar disandingkan dengan ”sombong”. Kata ini secara bebas mungkin bisa diartikan sok jagoan.
Banyak bergaul dengan orang setempat juga membuat dialek saya mulai ”tertular” kemedan-medanan. Saya mulai terbiasa menggunakan kata ”kali” ketimbang ”sekali” dalam percakapan. ”Bagus kali, Bang”, misalnya begitu atau lebih suka ngomong, ”cemana” daripada ”macam mana”.
Saya juga mulai lebih sensitif kapan harus memanggil seseorang dengan sebutan ”Kakak” untuk perempuan atau ”Abang” untuk pria. Sebab, salah panggil bisa melotot lawan bicara kita. Tentu saja ini tidak menguntungkan saat liputan, bisa-bisa narasumber kabur sebelum kita wawancarai. Ternyata tidak hanya ada logat Medan. Rata-rata daerah juga mempunyai logat khasnya sendiri-sendiri.
Selama bertugas di sana, saya sering jalan-jalan keluar Medan karena area kerja meliputi semua wilayah Sumatera Utara. Bahkan kadang dapat ”bonus” ke Aceh dan Sumatera Barat.
Hampir semua kota dan kabupaten di Sumut pernah saya inapi kecuali Labuhan Batu Selatan (Labusel) dan Humbang Hasundutan (Humbahas). Kenapa Labusel? karena saya memang tidak pernah secara khusus liputan ke sana. Sedangkan Humbahas, karena di sana tidak ada penginapan sehingga kalau sedang bertugas ke Humbahas, saya harus menginap di Parapat atau Pangururan, persis di bibir pantai Danau Toba.
Pada tahun pertama penugasan, saya mendapat tugas ke Padang Sidimpuan untuk meliput sengketa lahan antara warga dengan sebuah perusahaan perkebunan sawit. Butuh waktu 10 sampai 11 jam dari Medan via jalur darat ke sana. Saya berangkat selepas maghrib dengan naik travel. Perjalanan melintasi banyak kota, termasuk menyusuri tepian Danau Toba.
Baca juga: Bertemu Pilot Dakota yang Ditembak Jatuh Belanda
Ketika malam datang, penumpang pun tertidur pulas. Tampaknya sopir juga ikutan terserang kantuk. Ini terdengar dari caranya bernyanyi menirukan band Wali yang diputar tape mobil.
Pada menit-menit awal perjalanan meninggalkan Medan, hanya sesekali saja dia bersenandung. Sekitar empat jam kemudian, ketika sebagian dari kami terlelap, dia mulai berteriak-teriak bernyanyi. Logat medannya keluar tanpa sadar. Lagu ”Cari Jodoh” dan ”Bang Toyib” jadi terdengar unik ketika ia nyanyikan dengan logat medan.
Suara sang sopir sering meleset dari nada seharusnya, tapi tampaknya dia tak peduli. Mungkin karena yang dia cari bukan keluarnya suara merdu, melainkan hanya sekadar untuk mengusir kantuk. Saya lah yang jadinya terganggu. Ruak tidurku.
Setibanya di Padang Sidimpuan, saya ganti membonceng motor penjemput untuk menuju Dusun Binasari yang wilayahnya berada di dalam hutan. Dusun ini jauh dari mana-mana. Penjemput saya adalah pendamping warga dusun yang sebelumnya mengabari adanya kasus sengketa lahan ini.
Kata penjemput saya, perjalanan hanya butuh waktu dua jam tapi yang saya rasakan lebih lama dari itu. Barangkali karena tidak ada jalan mulus. Bahkan sering kami harus menyeberangi sungai. Iya, melintasi sungai dengan naik motor. Memang, dangkal saja sungainya dengan dasar bebatuan. Tinggi air sungai kira-kira semata kaki.
Baca juga: Dalam Kepungan Awan Putih Bukit Barisan
Sampai di lokasi, yakni Dusun Binasari di Desa Pardomuan, Kecamatan Angkola Selatan, Kabupaten Tapanuli Selatan, kami menemui sisa warga yang bersengketa dengan pemilik perkebunan kelapa sawit.
Kasus ini sebenarnya sudah terjadi selama beberapa bulan terakhir. Warga mengaku sempat diintimidasi yang berpuncak pada menghilangnya beberapa warga yang diduga diculik. Namun, hingga kini dugaan tersebut tidak pernah terbukti secara hukum.
Sekitar tiga hari saya berada di sana untuk meliput kasus ini. Interaksi yang intens membuat saya mulai tertular logat Sumatera Utara di luar Medan. Namun, dialek saya yang telanjur kemedan-medanan kerap membuat lebih banyak orang menduga saya lahir dan tumbuh di Medan.
Mengoreksi prasangka
Seperti banyak dimaklumi orang, di Medan banyak orang Batak meskipun sebenarnya lebih banyak orang Jawa yang mencapai 33 persen dari total penduduk. Adapun jumlah orang Batak, seperti Karo, Mandailing, Angkola, Pakpak, Toba, dan Simalungun, tak lebih dari 20 persen.
Baca juga: Menggotong Motor Melewati Banjir di Kawasan Hutan
Saya kemudian sering ditanya, ”Marga apa, Kita?” Maksudnya bertanya saya ini bermarga apa. Kata ”Kita” sebagai bentuk kesopanan pengganti ”Anda”.
Biasanya saya jawab, ”Purba, Bang.”
”Purba. Aku Damanik. Purba mana, Abang?"
”Pura-pura Batak, Bang,” jawab saya sambil terkekeh-kekeh.
Biasanya lawan bicara saya ikut kekeh. Lalu lebur kita dalam obrolan dan berlanjut wawancara. Banyak orang menyangka orang Batak galak-galak. Percayalah, itu jarang terjadi di daerah asal mereka. Kemudian, sering kali di tengah obrolan, saya selipkan informasi bahwa saya orang jawa.
”Ooh... pujakesuma rupanya.”
Pujakesuma merujuk pada organisasi kumpulan putra jawa kelahiran Sumatera. Saya iyakan saja. Lalu saya klarifikasi. ”Iya, saya pujakesuma. Putra jawa keluyuran di Sumatera,” lalu kami kekeh lagi.
Begitulah, bekerja di harian Kompas tidak hanya memberi saya kesempatan menjelajah banyak tempat dan mengakrabi banyak budaya. Juga yang lebih penting, mengoreksi banyak prasangka, tentang Medan dan Batak khususnya.
Daerah-daerah yang saya kunjungi itu dulu hanya saya kenal di buku pelajaran dan timbul tenggelam dalam ingatan. Sekarang, Medan dan Sumatera Utara punya tempat khusus dalam memori saya yang rasanya sulit dilupakan. Horas!