Punya Peran Strategis dalam Rantai Pasok, Pengumpul Kopi Perlu Diperhatikan
›
Punya Peran Strategis dalam...
Iklan
Punya Peran Strategis dalam Rantai Pasok, Pengumpul Kopi Perlu Diperhatikan
Pengumpul atau pedagang perantara untuk komoditas kopi memiliki peranan penting dalam rantai pasok karena dekat dengan petani dan pasar kopi. Keberadaan mereka, yang masih terancam banyak kendala, dapat dimaksimalkan.
Oleh
ERIKA KURNIA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengumpul atau pedagang perantara untuk komoditas kopi memiliki peranan penting dalam rantai pasok karena dekat dengan petani dan pasar kopi. Keberadaan mereka, yang masih terancam banyak kendala, dapat dimaksimalkan sebagai daya dukung penting bagi rantai pasok kopi.
Peran strategis pengumpul di Indonesia terangkum dalam studi terbaru Yayasan Inisiatif Dagang Hijau (YIDH) dengan Enveritas, yang dibahas dalam diskusi virtual bertema ”Peran Pengumpul dalam Prospek Bisnis Kopi Berkelanjutan”, Kamis (13/8/2020).
Studi yang dilakukan dalam dua kali masa panen kopi pada 2018-2020 itu melingkupi empat negara, yakni Uganda, Kolombia, Vietnam, dan Indonesia. Di Indonesia, riset dilakukan dengan mengambil sampel 41 pengumpul dan 3.000 petani kopi jenis arabika maupun robusta.
Senthil Nathan, selaku Hub Manager Asia Enviretas, menjelaskan, pengumpul penting dalam rantai pasok karena lebih dari 95 persen petani kopi di Indonesia menjual produksi mereka ke pengumpul. Situasi itu mirip Vietnam, yang hampir 100 persen petaninya menjual hasil panennya ke pengepul.
Studi mereka memperkirakan, Indonesia memiliki 4.000 pengumpul dengan 1,34 juta petani. Sebanyak 41 persen dari mereka lulusan sekolah menengah dan memiliki pengalaman sebagai pengepul rata-rata 10 tahun. Dari sisi produksi, mereka mampu menyerap 10 ton hingga 2.500 ton kopi per tahun, tergantung area geografis dan kompleksitas pekerjaan.
Selain menerima input dari produksi kopi petani, pengepul juga kerap memberikan layanan lain kepada petani. Layanan tersebut mulai dari menyediakan pinjaman, yang 90 persen berupa tunai, menyediakan pupuk dan benih, serta pelatihan.
”Di Vietnam, 74 persen pengumpul kasih layanan seperti pinjaman dan 51 persen memberi pelatihan. Sementara, di Indonesia, mayoritas atau 68 persen pengumpul memberi pinjaman tunai untuk keperluan berkebun kopi atau personal petani, seperti biaya pendidikan dan lainnya,” jelas Senthil.
Di sisi lain, pengumpul juga mengalami masalah pembiayaan. Dalam studi ditemukan bahwa hanya 29 persen pengumpul yang mendapat pinjaman dari bank. Sementara itu, pengumpul punya kemampuan untuk memberikan layanan kepada petani dan keinginan untuk mengembangkan bisnis serta memberi pelatihan.
”Jadi, pelatihan bisnis dan keuangan akan sangat berguna bagi pengepul,” pesannya.
Selain itu, studi tersebut juga merekomendasikan agar pengumpul bisa memperluas portofolio pelayanan bagi petani, modernisasi sistem untuk mengakses pasar, peningkatan modal, serta optimalisasi penggunaan transportasi yang menjadi komponen terbesar dalam modal usaha mereka.
Menjawab rekomendasi tersebut, perusahaan eksportir PT Indo Cafco melihat bahwa pengumpul bisa meniru pendekatan yang dilakukan perusahaan terhadap petani. Namun, untuk mencapai titik tersebut, pengumpul harus lebih dulu diberdayakan.
”Saat ini, perusahaan sedang mengembangkan kemitraan dengan para pengumpul berkaitan dengan kegiatan usaha lainnya yang dapat mendukung kegiatan utama mereka sebagai pengumpul kopi, serta memfasilitasi para pengumpul dan petani untuk mendapatkan akses permodalan,” kata Manager Of Sustainability Management Services PT Indo Cafco Wagianto.
Hadi Kusuma, pengumpul kopi robusta di Kecamatan Semendo, Darat Ulu, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, pun menyambut baik rekomendasi dan perhatian tersebut.
”Banyak dari petani mengajukan pinjaman kepada kami untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tentu kami juga ingin membantu sekaligus mengembangkan usaha kami, tetapi kami sendiri kesulitan mendapatkan modal meskipun sudah mengajukan modal ke bank atau koperasi,” tuturnya.