Rasa Sakit Luar Biasa yang Membekas di Ingatan Penyintas
›
Rasa Sakit Luar Biasa yang...
Iklan
Rasa Sakit Luar Biasa yang Membekas di Ingatan Penyintas
Penyintas meluapkan pengalamannya saat berjibaku melawan virus SARS-CoV-2. Menahan rasa sakit tak terperikan dan mendapat stigmatisasi dari masyarakat menunjukkan betapa malangnya hidup seseorang jika telah tertular.
Oleh
I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA
·5 menit baca
Yudi Adiyatna (30) belum bisa menghapus kenangan buruk saat menjadi pasien Covid-19 pada Maret 2020 lalu. Kejadian itu amat membekas di ingatannya, bahkan hingga beberapa bulan setelah ia dinyatakan sembuh dari Covid-19.
Karyawan swasta yang berdomisili di Serpong, Tangerang Selatan, Banten, itu tergolong pasien Covid-19 ”angkatan pertama”. Yudi menjadi salah satu dari sekian banyak pasien yang pernah terlunta-lunta setelah ditolak sejumlah rumah sakit pada masa awal Covid-19 merebak di Indonesia.
Gejala Covid-19 ia rasakan 12 hari selepas pulang dari Malaysia bersama seorang rekannya pada 14 Maret 2020. Saat itu, Yudi merasakan gejala-gejala seperti demam, bersin-bersin, dan sesak napas.
Rasa curiga sempat membayangi Yudi. Ia khawatir gejala yang diidapnya merupakan tanda-tanda Covid-19. Namun, Yudi tak segera memeriksakan diri ke klinik atau puskesmas karena saat itu sedang akhir pekan. Ia akhirnya memutuskan total beristirahat di rumah dan meminum obat influenza dengan harapan kondisi tubuhnya sudah bugar keesokan hari.
Sehari setelahnya, kondisi Yudi tak kunjung membaik. Ia kemudian memutuskan mendatangi Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kabupaten Tangerang. Yudi tidak bisa segera mendapatkan perawatan karena rumah sakit sedang penuh pasien.
Dengan kondisi badan menggigil dan meriang, Yudi diminta menunggu hingga dua jam lamanya. Namun, setelah dua jam menunggu, Yudi belum juga mendapat kepastian bisa dirawat. Karena tidak tahan dengan rasa sakit, ia lalu memilih pulang.
Hingga larut malam, Yudi mencoba berobat ke rumah sakit (RS) lain, tetapi hasilnya tetap sama. Pihak RS menolak merawat Yudi karena ia sudah berstatus terduga (suspect) Covid-19.
”Pihak RS beralasan tidak memiliki fasilitas kamar isolasi dan bukan merupakan RS rujukan yang ditunjuk pemerintah,” kata Yudi, Rabu (12/8/2020).
Di RS tersebut, Yudi menjalani pemeriksaan dan diberi sejumlah obat. Pemeriksaan itu memakan biaya Rp 2,5 juta dan pihak RS belum memberikan kepastian ia bisa menjalani rawat inap.
Yudi kemudian pulang berbekal obat dari RS. Dokter meminta Yudi mengonsumsi obat tersebut empat kali dalam sehari. Kendati sudah meminum obat seperti yang disarankan, sesak napas dan demam yang ia rasakan bukannya makin mereda, justru makin menjadi-jadi.
Merasa tak ada kemajuan, Yudi kemudian kembali berobat ke salah satu RS. Kali ini, dokter di RS itu secara tegas meminta Yudi langsung berobat ke Rumah Sakit Penyakit Infeksi (RSPI) Sulianti Saroso di Sunter, Jakarta Utara.
”Dokter menolak merawat saya dengan alasan apa pun. Dia minta saya segera menuju RSPI Sulianti Saroso,” katanya mengisahkan.
Dengan kondisi badan yang masih demam dan mengigil, Yudi diantar seorang temannya menuju RSPI Sulianti Saroso. Di ruang observasi, Yudi kemudian diberikan bantuan pernapasan melalui selang oksigen dan langsung dilakukan tes sampel darah dan foto rontgen paru-paru.
Yudi menyebut rentetan pengalaman itu sebagai fase paling melelahkan semasa menjadi pasien Covid-19. Kondisi rumah sakit yang penuh, ditambah sesak napas dan demam yang mendera, membuatnya tidak berdaya.
”Pusing dan sesak napasnya itu luar biasa sakit. Rasanya seperti sedang tenggelam dan susah bernapas,” kata Yudi.
Pusing dan sesak napasnya itu luar biasa sakit. Rasanya seperti sedang tenggelam dan susah bernapas.
Orangtua Yudi pun terkejut saat mendengar anaknya positif Covid-19. Saat itu, jumlah pasien Covid-19 belum tercatat sebanyak sekarang. Hasil tes yang menyatakan Yudi positif Covid-19 bak petir di siang bolong bagi keluarganya. Pun demikian, setelah sembilan hari dirawat, Yudi dinyatakan sembuh dan dipersilakan pulang.
Stigmatisasi
Kendati pernah merasakan sakit tak terpermanai akibat Covid-19, bagi Yudi, pengalaman itu belum seberapa. Rasa sakit sesungguhnya justru muncul ketika Yudi telah sembuh. Saat itu, Yudi merasa sejumlah rekan menjauhinya. Orang yang dulu sedemikian dekat kini menjaga jarak dan menolak menjabat tangannya.
Ia sudah menduga akan ada semacam tanda kepada dirinya setelah keluar dari RSPI. Hanya saja, kenyataan melampaui apa yang Yudi bayangkan. Dia tak menyangka reaksi orang-orang terdekatnya bakal sedemikian keras.
”Sampai beberapa bulan saya keluar dari RS, labeling masih saya rasakan,” ujarnya.
Stigmatisasi juga sempat dirasakan pasien Covid-19 lainnya, yaitu sepasang suami-istri, Nur (47) dan Usman Sofi (53). Nur dan Usman berdomisili di Kelurahan Parigi Lama, Tangerang Selatan. Nur dan suami dinyatakan positif Covid-19 pada pertengahan Juli 2020. Perubahan langsung mereka rasakan. Rekan-rekan Nur lantas menjauhi dirinya.
Menjadi pasien Covid-19 membuat Nur kerepotan. Urusan sekolah anak dan pekerjaan rumah tangga terbengkalai saat ia diwajibkan menjalani isolasi.
Selama delapan hari ia harus putus kontak dengan keluarganya. Nur menjalani karantina di Rumah Lawan Covid milik Pemerintah Kota Tangerang Selatan, sedangkan Usman harus dirawat di RSUD Tangerang Selatan lantaran gejalanya cukup serius.
”Awal-awal kena Covid, suami saya selama empat hari sulit tidur dan batuk-batuk terus. Di hasil rontgennya ada bercak-bercak di paru-paru,” ujar Nur ditemui di Rumah Lawan Covid.
Setelah delapan hari menjalani karantina, Nur dinyatakan sembuh. Meski demikian, ia hanya separuh bahagia. Nur mengaku terbebani oleh pikiran-pikiran apakah warga sekitar masih mau menerimanya dan kembali berinteraksi seperti sediakala.
”Selain itu, yang saya takutkan, anak-anak saya juga ikut kena stigma,” kata Nur.
Semasih penyebaran Covid-19 belum bisa dikendalikan, akan terus bermunculan kisah serupa Yudi dan Nur alami. Kota Tangerang Selatan, kota tempat Nur dan Yudi tinggal, masih terus mencatatkan penambahan jumlah kasus per harinya. Total ada 663 kasus terkonfirmasi positif di Tangerang Selatan hingga Rabu kemarin.
Kenangan pahit ketika tertular Covid-19 kembali menjadi semacam pengingat bagi kita akan makna penting kesehatan. Dengan disiplin menerapkan protokol kesehatan, kita telah berkontribusi besar menghambat laju penyebaran virus.