Resesi Dunia Menekan Bisnis Kopi dari Hulu hingga Hilir
›
Resesi Dunia Menekan Bisnis...
Iklan
Resesi Dunia Menekan Bisnis Kopi dari Hulu hingga Hilir
Resesi dunia turut menekan bisnis kopi dari hulu hingga hilir di Indonesia. Setiap penurunan 1 persen GDP menurunkan permintaan kopi sekitar 0,95 persen.
Oleh
SIWI YUNITA CAHYANINGRUM
·4 menit baca
MALANG, KOMPAS — Resesi dunia turut menekan bisnis kopi dari hulu hingga hilir di Indonesia. Selain soal produktivitas dan kualitas kopi yang menjadi pekerjaan rumah sebelum pandemi Covid-19, para petani hingga pengusaha kini juga menghadapi persoalan tambahan karena penurunan permintaan produk.
Yayasan Inisiasi Dagang Hijau mencatat penurunan produk domestik bruto (GDP) diikuti pula dengan penurunan global terhadap komoditas kopi. Tercatat, setiap penurunan 1 persen GDP, angka permintaan kopi turun 0,95 persen. Harga kopi pun turut tertekan.
Penurunan harga kopi robusta berkisar 10-15 persen dari sekitar Rp 24.000 per kilogram (kg) kopi mentah. Penurunan lebih signifikan terjadi di kopi arabika yang mencapai 30-40 persen. Jika sebelum pandemi Covid-19 harga kopi mentah arabika mencapai Rp 60.000, kini hanya berkisar Rp 34.000-Rp 37.000.
Persoalan itu terungkap dalam diskusi kopi virtual dengan tema ”Peran Pengumpul dalam Prospek Bisnis Kopi Berkelanjutan”. Diskusi ini diadakan oleh Sustainable Coffee Platform of Indonesia (SCOPI), Kamis (13/8/2020). Diskusi ini menghadirkan pemimpin Operasional Enveritas (organisasi nirlaba yang bergerak membantu petani) wilayah Asia Senthil Nathan, Wagianto selaku Manager Of Sustainability Management Services (SMS) PT Indo Cafco, Mahwida Nur Fitriasani yang merupakan Coffee Program oOfficer Yayasan Inisiatif Dagang Hijau, serta sejumlah pengumpul kopi dari Sumatera Utara dan Sumatera Selatan.
Wida mengatakan, resesi menekan seluruh penjuru bisnis kopi di dalam dan luar negeri. Pukulan terbesar dialami petani yang bergerak di kopi arabika karena pasar lokal lesu. Selama ini, 26 persen pasar kopi arabika diserap kafe-kafe dalam negeri.
Meski demikian, dalam sitausi pandemi, permintaan pun sepi. Selain itu, lini distribusi produk kopi pun tak lancar. Padahal, gudang penyimpanan kopi terbatas. Pembatasan mobilitas masyarakat juga turut menaikkan biaya transportasi dan menambah lama daftar tunggu pengiriman.
Pembatasan mobilitas masyarakat juga turut menaikkan biaya transportasi dan menambah lama daftar tunggu pengiriman.
Kompas mencatat, jauh sebelum Covid-19, petani kopi di Indonesia sudah menghadapi berbagai persoalan. Produktivitas adalah salah satunya. Di Indonesia, areal tanam kopi saat ini mencapai 1,23 juta hektar, dengan jumlah produksi 639.412 ton. Produktivitas kopi dalam negeri juga masih rendah, hanya sekitar 707 kilogram per hektar. Jumlah itu jauh dibandingkan dengan produktivitas Vietnam, misalnya, yang mencapai 2 ton per hektar.
Pemerintah, pada 2018, telah membuat peta jalan pengembangan kopi nasional, yakni menargetkan Indonesia sebagai produsen terbesar pada 2045. Di dunia, Indonesia masih peringkat keempat sebagai produsen kopi. Hingga kini, upaya itu masih menjadi pekerjaan rumah.
Untuk meningkatkan kualitas pun bukan perkara mudah. Hadi Kusuma, pengumpul kopi dari Muara Enim, Sumatera Selatan, mengatakan, pengeringan kopi yang layak belum dimiliki semua petani. Tempat pengeringan layak adalah salah satu syarat mendapatkan biji kopi olahan berkualitas baik. ”Jadi, lewat diskusi ini saya ingin masyarakat tahu kesulitan kami,” katanya.
Rico Damanik, pengumpul kopi di Simalungun, Sumatera Utara, mengatakan, kondisi pandemi mempersulit bisnis kopi. Di tingkat pengumpul, misalnya, tak adanya sinyal seluler di sejumlah daerah membuat komunikasi sulit. Padahal, saat ini komunikasi jarak jauh menjadi kunci. Belum lagi masalah permodalan yang kian sulit diakses.
Kondisi sulit ini membuat petani mengganti komoditas tanam sebagian lahannya menjadi sayur-sayuran agar tetap ada pemasukan dalam jangka pendek. Pengumpul kopi juga sebagian banting setir berbisnis lain walau mereka masih bergantung pada bisnis kopi.
Kondisi sulit ini pun ditangkap oleh pemerintah daerah dan berbagai lembaga yang peduli terhadap industri kopi. Di Lampung, misalnya, Pemerintah Provinsi Lampung mengajak ASN dan pegawai BUMN membeli kopi petani lokal agar hasil panen mereka terserap pasar.
”Saat ini kondisi petani sulit, dengan petik merah saja harga pokok produksi tidak tercapai, apalagi petik asal,” kata Hanita. Dengan cara itu, diharapkan kopi petani lokal bisa terserap dan ekonomi bisa berputar.
Wagianto menambahkan, edukasi masih menjadi fokus perusahaannya untuk bisa meningkatkan kualitas hidup petani. Beberapa kali perusahaannya mengirim petani ke Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Jember untuk mendapatkan pelatihan.
”Edukasi telah dilakukan untuk membantu menaikkan produktivitas dan kualitas kopi mereka. Sampai saat ini masih berjalan, tetapi saat ini memang sempat tersendat karena ada kebijakan pembatasan sosial,” kata Wagianto.
Selain itu, pihaknya dan petani binaan juga mengembangkan pupuk yang diformulasikan khusus untuk tanaman kopi agar hasilnya lebih baik. Selama ini, mereka menggunakan pupuk dengan formulasi tanaman sayur. Formulasi pupuk ini akan diujicobakan di demplot sebelum disebar ke petani.
Senthil Nathan juga meminta agar para pengumpul kopi turut diperhatikan. Mereka memiliki peran penting dalam menentukan kualitas dan kuantitas kopi. Studi terbaru Yayasan Inisiatif Dagang Hijau dan Enveritas mengungkap bahwa 90 persen hasil kopi dari petani di Indonesia dibeli oleh para pengumpul yang jumlahnya mencapai lebih dari 4.000 orang.
Nathan menegaskan, secara tidak langsung, para pengumpul ikut membangun kesejahteraan petani karena terdapat hubungan yang saling membutuhkan satu sama lain. ”Studi kami merekomendasikan beberapa ide untuk mereformasi bisnis kopi,” jelasnya.
Ide tersebut, antara lain, menciptakan akses pasar yang lebih modern menggunakan teknologi, memberikan akses terhadap pinjaman, melakukan pelatihan bisnis dan keuangan bagi para pengumpul, menciptakan sistem transportasi yang lebih efektif, memberikan bukti tanda terima yang dapat menandakan tingkat kualitas kopi petani, serta memperluas jenis layanan para pengumpul di luar sebagai pembeli.