Komnas HAM meminta pemerintah dan DPR menghentikan pembahasan RUU Cipta Kerja. Pasalnya, RUU tersebut berpotensi menimbulkan ketidakadilan dan merugikan masyarakat kecil.
Oleh
Edna C Pattisina
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM meminta agar pemerintah dan DPR membatalkan pembahasan RUU Cipta Kerja yang disusun dengan metode omnibus law. Pasalnya, RUU itu mengusik rasa keadilan dan berpotensi membuka ruang penyalahgunaan kekuasaan.
Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik, Kamis (13/8/2020), mengungkapkan hal tersebut dalam konferensi pers daring ”Sikap dan Rekomendasi Komnas HAM RI atas RUU Cipta Kerja (Omnibus Law)”. Ahmad mengatakan, salah satu esensi dari kemerdekaan dan pembangunan adalah keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Masalahnya, RUU Cipta Kerja ini berpotensi menimbulkan ketidakadilan, terutama bagi masyarakat kecil.
Salah satu esensi dari kemerdekaan dan pembangunan adalah keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Masalahnya, RUU Cipta Kerja ini berpotensi menimbulkan ketidakadilan, terutama bagi masyarakat kecil.
Ia mencontohkan, pengaturan dalam bidang ketenagakerjaan dan pertahanan akan semakin membuat masyarakat terpojok. Di sisi lain, akan banyak perusahaan yang tidak memedulikan lingkungan hidup yang malah mendapat kesempatan.
Proses pembahasan RUU ini juga tidak banyak melibatkan masyarakat. Hal ini seakan mengambil kesempatan dalam kesempitan di tengah pandemi Covid-19.
”Kami rekomendasikan, Presiden jangan lanjutkan UU Cipta Kerja demi menghormati HAM dan mencegah komplikasi sistem hukum dan tata negara,” kata Ahmad.
Sandrayati Moniaga yang merupakan Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM mengatakan, ada aspek prosedur yang dilanggar pembentukan RUU Cipta Kerja yang tidak sejalan dengan tata cara atau mekanisme yang telah diatur Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,. Dalam undang-undang tersebut dinyatakan, hak untuk berpartisipasi dan asas keterbukaan menjadi elemen fundamental dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
Sandra juga menggarisbawahi potensi penyalahgunaan kekuasaan oleh eksekutif. Pasalnya, salah satu klausul dalam RUU Cipta Kerja bahwa akan dibentuk berbagai peraturan pelaksanaan oleh pemerintah. Masalahnya, peraturan pelaksanaan itu bisa melangkahi undang-undang yang dibuat bersama DPR dan pemerintah.
Sandra melihat hal ini sebagai penyimpangan asas hukum lex superior derogat legi inferior, di mana disebutkan dalam Pasal 170 Ayat (1) dan (2) RUU Cipta Kerja, peraturan pemerintah dapat mengubah peraturan setingkat undang-undang jika muatan materinya tidak selaras dengan kepentingan strategis RUU Cipta Kerja.
Hasil kajian Komnas HAM menyatakan, ada 516 peraturan pelaksana yang terdiri dari 493 peraturan pemerintah, 19 peraturan presiden, dan 4 peraturan daerah. Semua peraturan tersebut akan bertumpu pada kekuasaan dan kewenangan lembaga eksekutif sehingga berpotensi memicu terjadi penyalahgunaan wewenang (abuse of power) dan tidak sesuai dengan prinsip peraturan perundang-undangan yang sederhana, efektif, dan akuntabel.
Semua peraturan tersebut akan bertumpu pada kekuasaan dan kewenangan lembaga eksekutif sehingga berpotensi memicu terjadi penyalahgunaan wewenang (abuse of power) dan tidak sesuai dengan prinsip peraturan perundang-undangan yang sederhana, efektif, dan akuntabel.
Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM, Choirul Anam, mengatakan, banyak pelanggaran HAM yang dilakukan negara dalam konteks agraria. Kasus agraria ini kerap merugikan masyarakat miskin dari sisi finansial dan waktu.
”Kami harap pemerintah mau dengar suara rakyat. Jangan bikin undang-undang yang semakin jauh dari rasa keadilan masyarakat,” ujar Anam.