Surface Duo, Saat Microsoft Mencoba Kembali ke Bisnis Ponsel Pintar
›
Surface Duo, Saat Microsoft...
Iklan
Surface Duo, Saat Microsoft Mencoba Kembali ke Bisnis Ponsel Pintar
Setelah gagal dengan Windows Mobile dan Windows Phone, Microsoft mencoba jalur open source dan masuk sebagai pemain Android. Apakah berhasil?
Oleh
SATRIO PANGARSO WISANGGENI
·4 menit baca
”Linux adalah kanker terhadap properti intelektual!” ucap Steve Ballmer, yang saat itu menjabat Chief Executive Officer Microsoft, dalam sebuah wawancara pada pertengahan tahun 2001.
Pada periode yang sama, petinggi Microsoft lainnya, Jim Allchin, juga pernah menyatakan, ”Open source adalah perusak kekayaan intelektual. Saya tidak bisa membayangkan hal apa yang lebih buruk dari filosofi open source terhadap bisnis perangkat lunak.”
Saat itu Microsoft memang ”bersitegang” dengan Linux dan komunitas open source. Kemunculan berbagai distro Linux seakan mengancam dominasi sistem operasi Windows buatan Microsoft. Filosofi open source artinya publik dapat melihat, memodifikasi, dan mendistribusikan kode pemrograman tersebut. Tentu ini terlihat sebagai ancaman bagi Windows dan ekosistem Office milik Microsoft pada saat itu.
Namun kini, dua puluh tahun kemudian, semuanya seakan berbalik arah 180 derajat. Rabu (12/8/2020), Microsoft meluncurkan ponsel Android pertamanya, Surface Duo. Ini artinya sebuah ponsel pintar Microsoft yang menggunakan sistem operasi open source berbasis Linux ciptaan Google. Dan, ini adalah perjudian terbaru Microsoft terhadap segmen ponsel pintar setelah gagal menguasai dunia melalui Windows Mobile dan Windows Phone.
Surface Duo memiliki bentuk yang menarik. Ponsel ini memiliki dua layar, mirip seperti buku. Aplikasi yang berbeda dapat berjalan di dua layar tersebut secara bersamaan. Berbagai fitur khusus yang memanfaatkan dua layar itu pun dirancang untuk membantu produktivitas pengguna. Kibor dapat muncul sesuai di layar yang sedang aktif dan teks dapat di-drag dan drop antar-aplikasi yang berada di layar berbeda.
Berbagai fitur itu tampak sederhana, tetapi ini adalah fitur yang dirancang Microsoft dalam basis kode Android. Artinya, fitur-fitur ini juga akan bisa digunakan oleh produsen-produsen lain apabila kelak mereka juga membuat gawai dengan layar ganda ataupun ponsel-tablet lipat.
”Kami tidak hanya membuatnya untuk Surface Duo, tetapi kami membuatnya di Android code base. Kami ingin Android untuk turut mengadopsi fitur-fitur ini,” kata Panos Panay, Chief Product Officer Microsoft.
Pernyataan ini menjadi penanda bagaimana Microsoft saat ini sudah begitu bertolak belakang dengan sikapnya di masa lalu.
Perubahan sikap ini tidak mendadak. Pada 2016, Microsoft merilis program coding-nya, Visual Studio Code, secara open source. Pada tahun yang sama, Microsoft memberikan kemampuan Windows untuk menjalankan Ubuntu, salah satu distro Linux.
Pada 2018, Microsoft mengakuisisi Github, platform untuk pengembangan perangkat lunak. Perusahaan atau pengembang program individual dapat menaruh perangkat lunaknya di platform tersebut dan berkolaborasi.
Microsoft pun mengembangkan mesin peramban (browser) dengan basis Chromium—sebuah proyek open source yang juga dijadikan basis untuk Google Chrome pada tahun lalu.
Akhir tahun lalu juga menandai pengembangan program untuk kustomisasi Windows 10 bernama Microsoft PowerToys. Dengan PowerToys, pengguna Windows mendapat utilitas tambahan yang mengasyikkan, seperti me-resize sebuah file foto cukup melalui menu klik kanan. Segala kapabilitas tambahan ini merupakan hasil kolaborasi dari warganet.
”Saya mengakui, Microsoft berada di sisi yang salah di awal 2000-an mengenai open source,” kata Presiden Microsoft Brad Smith dalam sebuah acara bincang-bincang di Computer Science and Artificial Intelligence Laboratory (CSAIL) Massachussets Institute of Technology (MIT) pada Mei lalu.
Saya mengakui, Microsoft berada di sisi yang salah di awal 2000-an mengenai open source.
Perubahan ini tidak lepas dari keberadaan CEO Microsoft saat ini, Satya Nadella, yang mulai menjabat pada 2014 menggantikan Steve Ballmer. Selama kepemimpinan Ballmer dari 2000 hingga 2013, harga saham Microsoft turun 40 persen. Sementara hanya dalam dua tahun sejak kepemimpinan Nadella, saham Microsoft naik 50 persen.
Kini bahkan harga saham Microsoft telah naik 4 kali lipat dibandingkan masa kejayaan Microsoft pada akhir 1990-an. Pada awal 2020, Microsoft bahkan menjadi perusahaan dengan valuasi terbesar di dunia, 1,2 triliun dollar AS, melampaui Apple.
Ini semua mungkin bisa ditarik kembali pada cara pandang Satya Nadella yang terbuka terhadap pandangan dan ilmu dari luar. ”Kita harus terus-menerus belajar dari luar dan menemukan hal yang baik untuk Microsoft,” tulis Nadella dalam bukunya yang berjudul Hit Refresh tahun 2017.
Surface Duo
Sebagai sebuah ponsel yang juga tablet, Surface Duo memang memiliki desain yang menarik dibandingkan ponsel biasa; dengan mekanisme dua layar dengan total ukuran 8,1 inci yang berputar pada sebuah mekanisme engsel.
Desain ponsel lipat Surface Duo mengingatkan pada Samsung Galaxy Fold dan Huawei Mate Xs. Bahkan, layar utama Galaxy Fold dan Mate Xs tidak terpisah, tetapi satu layar yang dapat ditekuk. Memang, Galaxy Fold memiliki harga sekitar 2.000 dollar AS (Rp 29 juta), lebih mahal dibandingkan Surface Duo yang dibanderol 1.400 dollar AS.
Surface Duo bahkan menggunakan SoC flagship tahun lalu, yakni Snapdragon 855. Saat ini, ponsel-ponsel flagship biasa menggunakan Snapdragon 865 yang berkemampuan jaringan 5G. Surface Duo juga tidak memiliki cip NFC, yang memungkinkan transaksi tanpa uang tunai, misalnya.
Dalam pernyataannya ke laman Android Central, Microsoft mengatakan bahwa Surface Duo adalah sebuah desain generasi pertama. Microsoft akan mendengarkan masukan dari konsumen. ”Kami akan memperbaikinya di generasi produk selanjutnya,” kata juru bicara Microsoft tersebut.
Artinya, harus kita tunggu lebih jauh lagi untuk melihat, apakah kesuksesan kepemimpinan Nadella akan juga terjadi di segmen yang belum pernah dimenangkannya selama ini.