Tak Ada Alasan Pembenar pada Pelanggaran Protokol Kesehatan Covid-19
›
Tak Ada Alasan Pembenar pada...
Iklan
Tak Ada Alasan Pembenar pada Pelanggaran Protokol Kesehatan Covid-19
Sampai sekarang pun belum ada definisi dan peta strategi penindakan Covid-19 secara menyeluruh yang melibatkan semua bidang ilmu. Publik telanjur membangun persepsi keliru pada alam bawah sadar mereka.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jargon normal baru dan sikap para pejabat serta tokoh idola masyarakat memengaruhi persepsi sosial publik terhadap realitas pandemi Covid-19. Saatnya ada tindakan tegas tanpa alasan pembenar terhadap siapa pun yang tidak mengikuti protokol keamanan bermasker, menjaga jarak, dan mencuci tangan dengan sabun.
”Perlu diingat bahwa masyarakat Indonesia sangat patronistik. Pejabat negara, pejabat daerah, politisi, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan artis adalah orang-orang yang ditiru awam. Sayangnya, mereka belum sepenuhnya memberi contoh dan informasi yang benar terkait Covid-19 sehingga memperkeruh pemikiran masyarakat,” kata antropolog Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Fadjar Thufail, di Jakarta, Rabu (13/8/2020).
Ia menjelaskan, ada hal yang lebih membekas di ingatan masyarakat daripada penjelasan ilmiah para pakar ataupun teori konspirasi di media sosial. Sumber ingatan itu adalah foto dan rekaman tokoh idola yang sedang berkegiatan tanpa menerapkan protokol keamanan.
Pengalaman para penyintas Covid-19 menunjukkan kenyataan yang kompleks. Di satu sisi mereka menghadapi stigma dan digunjingkan warga sekitar, di sisi lain oleh orang-orang yang menggunjingkan itu, para penyintas dijadikan dalih tidak masalah melanggar protokol keamanan. Ujaran seperti ”dia sekeluarga terkena Covid-19, tapi bisa sembuh” atau ”mayoritas orang positif Covid-19 tanpa gejala, jadi sebenarnya sehat-sehat saja” menjadi pembenar perilaku melanggar protokol kesehatan itu.
Pada siaran berita ataupun artikel media arus utama juga kerap terlihat pejabat negara dan pemerintah daerah serta artis berfoto tanpa masker. Dalam pemberitaan itu turut dijelaskan bahwa pejabat itu mencopot masker khusus untuk sesi foto atau dengan alasan kegiatan yang dihadirinya sudah menerapkan jaga jarak minimal 1,5 meter. Padahal, ia dipotret bersama dua orang atau lebih.
Perilaku ini ditiru menjadi pembenar publik bahwa masker bisa dicopot dengan alasan khusus. Kondisi itu masih ditambah siaran berita yang menghadirkan narasumber tanpa masker. Lagi-lagi dengan alasan bahwa pembawa acara dan narasumber duduk berjauhan.
”Setelah berfoto, masker tidak langsung dipakai karena lupa. Ada waktu beberapa menit asyik mengobrol dan baru dipakai lagi jika ada yang mengingatkan. Lama-kelamaan muncul kian banyak dalih kegiatan ’khusus’ yang memperbolehkan masker dilepas,” tuturnya.
Dalam hal ini, media arus utama harus bisa memegang kendali gambar dan rekaman yang mereka terbitkan. Harus ada kesadaran menampilkan gambar orang terkenal yang tidak bermasker hanya untuk konteks contoh buruk kepada masyarakat.
Literasi rendah
Fadjar menjelaskan, minimnya literasi masyarakat Indonesia memang hambatan utama penyebaran informasi yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Konsep otoritas bagi orang Indonesia juga lebih luas, tidak hanya otoritas formal seperti kepala negara, melainkan juga orang terkenal yang diidolakan dan komunitas di sekitar individu tersebut.
Langkah pertama yang bisa diambil ialah membuat otoritas formal satu suara. Pemerintah pusat hingga daerah agar memiliki persepsi sama mengenai Covid-19 sebagai pandemi berbahaya yang berisiko kematian, mewajibkan penerapan protokol keamanan, konsisten menjalankan dan mengawasi protokol itu, dan membangun jaring pengaman sosial. Apabila otoritas formal sudah jelas sudut pandang dan sikapnya terkait pandemi, efek tetesan (trickle down) ke otoritas nonformal akan lebih terkendali.
’Patut diingat, tidak semua orang memiliki pertimbangan rasional, termasuk para profesional yang bekerja di sektor-sektor yang semestinya memiliki kesadaran penuh terhadap risiko Covid-19. Bahkan, individu yang berkeluarga sekali pun belum tentu terpikir untuk menghindari suami, istri, orangtua, atau anaknya dari bahaya virus korona,” kata Fadjar.
Salah satu contohnya adalah Ando, awak media di salah satu surat kabar. Ia mengaku dari kantornya sudah ada protokol keamanan untuk peliputan di lapangan. Akan tetapi, ketika di lokasi liputan ia kesulitan karena narasumber yang ia temui menolak diwawancara jika Ando memakai masker.
Oleh karena sungkan terhadap narasumber itu, Ando memutuskan melepas masker dan sebisa mungkin berdiri dengan jarak 1,5 meter.
Ketika ditanya alasan kenapa tidak menjelaskan kepada narasumber bahwa protokol kantor mewajibkan ia bermasker, Ando mengatakan, takut menyinggung perasaan lawan bicaranya. Demikian pula dengan awak media lain yang ia temui di lapangan, masih ada yang mengejek Ando paranoid karena bermasker. Tak mau dijauhi teman-teman, ia pun kerap melepas masker. Namun, ia berharap bisa terhindar dari risiko tertular Covid-19.
Psikolog sosial dari Pusat Kajian Representasi Sosial, Risa Permanadelli, mengkritisi, sejak awal pandemi merebak pada awal tahun 2020, pemerintah justru menjadi pihak yang bersikap apatis. Mereka mengumumkan bahwa Indonesia tidak akan terkena Covid-19 dan omongannya dikutip bulat-bulat oleh media arus utama. Narasi yang keluar dari para tokoh politik dan tokoh masyarakat bahkan sama sekali tidak ilmiah, mulai dari Covid-19 sebagai azab Tuhan, mitos, hingga teori konspirasi.
”Mereka lupa bahwa masyarakat penasaran mengenai virus korona baru dan akhirnya berinisiatif mencari sendiri. Bagi mereka yang berpendidikan dan berpikiran sistematis bisa mencari ke sumber-sumber ilmiah dengan bukti akurat. Namun, kebanyakan orang merujuk kepada media sosial yang kian menyesatkan,” ujar pengajar psikologi di Universitas Indonesia ini.
Ketika muncul kasus-kasus pertama Covid-19, reaksi pemerintah adalah panik. Pendekatan yang diambil seolah mengkriminalkan para pasien, seperti membatasi rumah mereka dengan garis polisi dan mengungkapkan identitas mereka kepada publik. Dari sikap ini, perilaku memberi stigma kepada pasien positif bermula dan langgeng hingga kini.
Para pakar diminta memberi penjelasan mengenai Covid-19 ketika waktu sudah terlambat dan publik telanjur membangun persepsi keliru pada alam bawah sadar mereka. Bahkan, sampai sekarang pun belum ada definisi dan peta strategi penindakan Covid-19 secara menyeluruh yang melibatkan semua bidang ilmu.
”Minimal pada level kabinet pemerintah harus ada strategi kohesif yang berkesinambungan. Bukan setiap kementerian jalan dengan kebijakan masing-masing yang malah berbenturan,” tutur Risa. Saatnya melalui otoritas formal dan informal mendefinisikan kembali budaya guyub Nusantara sebagai perilaku saling menjaga keselamatan satu sama lain dan disusul dengan praktik sinergi segala sektor.