Dunia Arab Lama Telah Buyar, Dunia Arab Baru Belum Lahir
Jika dunia Arab tidak segera melakukan reformasi politik dan mental dengan mengutamakan kepentingan nasional di atas kepentingan golongan dan kelompok, ledakan lebih dahsyat daripada ledakan kota Beirut akan terjadi.
Ledakan dahsyat kota Beirut pada hari Selasa (4/8/2020) pekan lalu semakin memunculkan suara keras tentang keharusan dunia Arab segera melakukan reformasi politik dan revolusi mental secara komprehensif.
Apa yang terjadi di Beirut adalah gambaran betapa buruknya manajemen politik, ekonomi, sosial, budaya, dan keamanan di dunia Arab saat ini.
Jika dunia Arab tidak segera melakukan reformasi politik dan revolusi mental dengan cara lebih mengutamakan kepentingan nasional di atas kepentingan golongan dan kelompok, ledakan lebih dahsyat daripada ledakan kota Beirut akan terjadi, cepat atau lambat.
Ledakan lebih dahsyat tidak mesti terjadi di Lebanon lagi, tetapi bisa jadi di Suriah, Libya, Aljazair, Sudan, Irak, Yaman, Palestina, dan Jordania. Ledakan pun tidak mesti berupa ledakan bahan peledak seperti di Beirut, tetapi bisa jadi ledakan krisis sosial, krisis politik akut, dan ambruknya ekonomi.
Ironisnya, semua sudah terlambat. Korban sudah berjatuhan di sana-sini akibat keterlambatan atau memang tidak ada keinginan politik untuk melakukan reformasi dan revolusi mental demi mempertahankan kekuasaan secara membabi buta.
Dunia Arab yang tercipta pascakemerdekaan dari pemerintah kolonial Inggris, Perancis, dan Italia pada awal abad ke-20 itu, atau bisa disebut dunia Arab lama, sesungguhnya sudah buyar. Namun, dunia Arab baru belum kunjung lahir. Meletupnya Musim Semi Arab yang bermula dari Tunisia pada Desember 2010 dan terus berlanjut sampai saat ini adalah lonceng dari berakhirnya dunia Arab lama.
Musim Semi Arab yang semula hanya menghantam Mesir, Tunisia, Libya, Yaman, dan Suriah pada tahun 2011 gagal dijadikan momentum oleh negara Arab lain yang belum diterpa Musim Semi Arab saat itu untuk segera melakukan perubahan. Akhirnya, Musim Semi Arab itu saat ini menerpa pula negara-negara Arab yang lalai tidak melakukan perubahan pada tahun 2011, seperti Irak, Aljazair, Sudan dan Lebanon.
Baca juga : Meratapi Nestapa Lebanon
Dampak dari telah buyarnya dunia Arab lama dan belum lahirnya dunia Arab baru, paradigma dunia Arab saat ini adalah dunia yang tercabik-cabik. Dalam sejarah modern dunia Arab, dalam satu dekade terakhir inilah dunia Arab menampakkan wajahnya yang paling buruk.
Semua organisasi Arab kini mati suri. Liga Arab sejak lama tidak berdaya. Keberadaan Liga Arab seperti tidak ada. Liga Arab yang lahir tahun 1945 mengusung piagam membangun solidaritas bangsa Arab dan pertahanan bersama bangsa Arab, tetapi justru sesama bangsa Arab kini saling berperang.
The Arab Maghreb Union (AMU) yang didirikan pada tahun 1989 tidak pernah efektif pula atau nonaktif akibat perbedaan pendapat antara Maroko dan Aljazair soal Sahara Barat. Maroko menganeksasi Sahara Barat tahun 1975. Sementara Aljazair mendukung gerakan Polisario yang mengklaim pemilik kedaulatan yang sah atas wilayah Sahara Barat. AMU beranggotakan Maroko, Aljazair, Libya, Tunisia, dan Mauritania.
Dewan Kerja Sama Teluk (GCC) yang selama ini dibanggakan sebagai organisasi regional Arab yang paling solid ikut lumpuh pula menyusul aksi blokade kuartet Arab (Arab Saudi, Bahrain, Uni Emirat Arab, dan Mesir) atas Qatar pada tahun 2017. GCC beranggotakan Arab Saudi, Kuwait, Qatar, Bahrain, Oman, dan Uni Emirat Arab.
Baca juga : Lebanon Minta Solidaritas Internasional
Bahkan, Organisasi Kerja Sama Islam (OIC), dengan negara-negara Arab sebagai tulang punggungnya, tidak efektif pula. Organisasi regional Arab, seperti Liga Arab, GCC, AMU, dan OIC, lumpuh akibat ambruknya banyak negara Arab yang puncaknya ditandai oleh munculnya gerakan Musim Semi Arab itu.
Negara Arab, seperti Irak, Suriah, Lebanon, Yaman, Libya, dan Sudan, sudah dikenal sebagai negara gagal. Suriah kini secara de facto terpecah menjadi tiga wilayah, yaitu wilayah selatan, barat, dan tengah yang dikontrol rezim Presiden Bashar al-Assad; wilayah barat laut dan utara yang dikuasai Turki; serta wilayah timur laut dan timur yang dikontrol milisi Kurdi.
Masa depan Suriah masih gelap dan belum ada titik terang akan tercapai solusi politik komprehensif dalam waktu dekat. Sepertiga dari sekitar 17 juta penduduk Suriah kini menjadi pengungsi di negara-negara tetangga, seperti Turki, Jordania, dan Lebanon. Ekonomi Suriah kini dalam tekanan setelah AS menerapkan sanksi ekonomi yang disebut undang-undang kaisar terhadap negara itu.
Presiden Bashar al-Assad juga bisa disebut hanya berdaulat di kota Damaskus dan sekitarnya. Kedaulatan di luar kota Damaskus sesungguhnya dipegang Rusia, Turki, Iran, dan milisi Kurdi. Sedikitnya ada delapan kelompok tentara asing beroperasi di Suriah saat ini, yaitu tentara AS, Rusia, Turki, Iran, Israel, Jordania, Irak, dan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS).
Baca juga : Hamas Tembakkan Roket sebagai Pesan untuk Israel
Bicara soal Irak, Irak adalah negara yang telah bangkrut secara ekonomi dan sebagian besar wilayahnya dikuasai milisi, baik milisi loyalis Iran, milisi Kurdi, maupun kelompok NIIS. Irak juga diterpa gerakan Musim Semi Arab sejak 1 Oktober 2019 sebagai dampak ambruknya sosial dan ekonomi di negara itu.
Libya pun secara de facto terpecah antara Libya barat yang dikuasai Pemerintah Kesepakatan Nasional (GNA) pimpinan PM Fayez al-Sarraj dan Libya timur yang dikontrol Tentara Nasional Libya (LNA) pimpinan Jenderal Khalifah Haftar. Lebih ironis lagi, nasib Libya kini persis seperti nasib Suriah, yakni masa depan Libya berada di tangan kekuatan regional (Mesir, Turki, dan UEA) serta internasional (Rusia, AS, Perancis, dan Italia).
PM Al-Sarraj yang berkuasa di Libya barat dan Jenderal Khalifah Haftar yang berkuasa di Libya timur saat ini praktis hanya simbolis saja. Keputusan apa pun terkait nasib Libya kini tidak berada di Tripoli atau Benghazi, tetapi berada di Ankara, Moskwa, Washington DC, Kairo, dan Abu Dhabi.
Yaman juga secara de facto terpecah menjadi tiga, yakni Yaman utara dan barat yang dikuasai kelompok Houthi pro-Iran, wilayah Yaman selatan yang dikontrol Dewan Transisi Selatan pro-UEA, serta Yaman timur dan tengah yang dikontrol pasukan loyalis Presiden Abdurabbuh Mansour Hadi yang pro-Arab Saudi. Masa depan Yaman tidak ditentukan di kota Sana’a atau Aden, tetapi berada di kota Riyadh, Abu Dhabi, dan Teheran.
Palestina yang berjuang sejak berdirinya Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) tahun 1964 gagal pula mewujudkan cita-citanya mendirikan negara Palestina dengan ibu kota Jerusalem Timur.
Negara-negara Arab Teluk yang dikenal kaya, makmur, dan maju bukannya memimpin gerakan penyelamatan dunia Arab, tetapi justru pecah di dalam dan bahkan memimpin aksi kubu-kubuan di Timur Tengah.
Arab Saudi bersama UEA kini memimpin kubu gerakan anti-Islam politik, khususnya Ikhwanul Muslimin (IM). Qatar bersama Turki menjadi lawan politik Arab Saudi-UEA dengan memimpin gerakan demokrasi yang melibatkan gerakan Islam politik.
Dampak buyarnya dunia Arab itu, pada gilirannya Presiden AS Donald Trump dengan mudah mengakui Jerusalem sebagai ibu kota Israel pada Desember 2017 dan kedaulatan Israel atas Dataran Tinggi Golan pada Maret 2019. Ironisnya, yang menentukan masa depan bangsa Arab bukan bangsa Arab sendiri, melainkan kekuatan regional, seperti Turki dan Iran, serta internasional, semacam AS dan Rusia.
Pertarungan tiga poros yang populer di Timur Tengah saat ini sesungguhnya pertarungan membangun dunia Arab baru di atas puing-puing dunia Arab lama, sesuai dengan visi dan misi dari ketiga poros itu. Tiga poros tersebut adalah poros Turki-Qatar, poros Arab Saudi-UEA-Mesir, dan poros Iran.