Industri padat karya masih diperlukan di Indonesia untuk menyerap tenaga kerja. Para pekerja yang memiliki gaji atau pendapatan akan berbelanja sehingga menggairahkan konsumsi.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·5 menit baca
Sederet siasat dan strategi perlu dikebut pemerintah untuk menjadikan sektor padat karya kembali perkasa di tengah ancaman resesi ekonomi. Tujuannya, meningkatkan penyerapan tenaga kerja sehingga konsumsi masyarakat yang tengah mati suri bisa bangkit kembali.
Berdasarkan catatan Indonesia Business Council for Sustainable Development (IBCSD), ada sekitar 70 juta pekerja sektor informal di Indonesia yang hampir semua terkena dampak pandemi Covid-19. Adapun berdasarkan data Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, sampai dengan Mei 2020, sebanyak 6 juta pekerja di sektor formal mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK).
Pertumbuhan ekonomi negatif Indonesia pada triwulan II-2020 semestinya menjadi pelecut bagi pemerintah untuk kembali fokus membangun program padat karya sebagai bagian dari program penanganan krisis ekonomi akibat pandemi. Industri padat karya tetap harus dominan di Indonesia karena jumlah penduduk yang yang besar. Keperkasaan industri padat karya dapat mendorong pemulihan ekonomi dari sisi permintaan. Jumlah pengangguran yang berkurang dapat meningkatkan daya beli masyarakat.
Namun, investasi asing dalam beberapa waktu terakhir mulai bergeser ke sektor tersier padat modal, antara lain jasa keuangan dan perdagangan. Sementara penanaman modal asing (PMA) di sektor primer dan sekunder yang padat karya semakin berkurang.
Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), realisasi investasi sektor tersier pada semester I-2020 sebesar Rp 220,9 triliun. Jumlah tersebut setara dengan 54,9 persen investasi langsung pada Januari-Juni 2020 yang sebesar Rp 402,6 triliun.
Prioritas untuk mengembangkan industri padat karya di dalam negeri tidak cukup mengandalkan alokasi anggaran. Itu karena dukungan industri bahan baku juga diperlukan untuk mencukupi kebutuhan industri.
Permasalahan industri manufaktur padat karya saat ini adalah ketergantungan pada bahan baku impor. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sekitar 70 persen impor Indonesia berupa bahan baku dan penolong. Akibatnya, saat ada masalah dalam rantai pasok, harga bahan baku naik. Kondisi ini berdampak dan mengganggu kegiatan produksi industri. Contohnya, industri farmasi di Indonesia harus menghadapi kenaikan harga bahan baku hingga 300 persen. Dampaknya signifikan bagi industri farmasi yang lebih dari 70 persen bahan bakunya diimpor.
Untuk menjaga penyerapan tenaga kerja, pemerintah sebaiknya menciptakan program padat karya tambahan yang dapat diimplementasikan secepatnya. Proyek-proyek strategis di beberapa kementerian, seperti Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, juga bisa diandalkan untuk menyerap tenaga kerja.
Penanggulangan pandemi
Namun, perlu diingat juga, apabila pandemi Covid-19 menyebabkan sektor-sektor bisnis ditutup, konsumsi masyarakat akan sulit tumbuh. Dengan kata lain, berbagai implementasi program padat karya tidak akan mampu mengerek pertumbuhan ekonomi jika pandemi Covid-19 masih berlanjut.
Diperlukan juga sanksi, terutama di sektor kesehatan, serta pihak yang diserahi tanggung jawab untuk memastikan pengusaha dan masyarakat menjalankan protokol keseharan dengan benar. Dengan cara itu, pasar dapat percaya diri menghadapi pandemi dan kembali pulih.
Apabila pandemi Covid-19 menyebabkan sektor-sektor bisnis ditutup, konsumsi masyarakat akan sulit tumbuh.
Pelaku usaha juga mengapresiasi keputusan pemerintah membentuk Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional. Komite ini terbagi menjadi dua satuan tugas, yakni Satuan Tugas Penanganan Covid-19 serta Satuan Tugas Pemulihan dan Transformasi Ekonomi Nasional.
Jika kedua satuan tugas ini tidak berjalan harmonis, jangan harap roda ekonomi bisa bergerak penuh. Artinya, pemerintah tetap lebih bijaksana jika memprioritaskan sektor kesehatan dibandingkan dengan perekonomian dalam menangani dampak pandemi Covid-19.
Pada dasarnya, sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk memperbaiki koordinasi dan pengawasan dalam penanganan pandemi Covid-19 untuk memperbaiki kinerja perekonomian. Apalagi, ada dua sisi yang perlu disentuh pemerintah untuk mempercepat pemulihan ekonomi, yakni dari sisi pasokan dan sisi permintaan.
Secara keseluruhan, anggaran program pemulihan ekonomi nasional Rp 695 triliun. Dari sisi pasokan, bentuknya beragam, antara lain insentif fiskal dalam bentuk stimulus perpajakan dan insentif nonfiskal dalam bentuk berbagai relaksasi regulasi.
Stimulus ini menyasar berbagai segmen industri, mulai dari koperasi, usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), korporasi, hingga BUMN. Tujuan berbagai stimulus tersebut tentunya menyalurkan hasil produksi di sektor hulu, seperti pertanian, peternakan, dan perikanan, serta industri pengolahan lain.
Selain mengintervensi sisi pasokan, pemerintah juga perlu meningkatkan intervensi sisi permintaan dengan menggenjot daya beli masyarakat. Dana lebih dari Rp 200 triliun disiapkan untuk sektor rumah tangga dalam berbagai bentuk, di antaranya bantuan sosial, program Kartu Prakerja, subsidi gaji, dan diskon harga listrik. Di sisi lain, kendati subsidi gaji direalisasikan, konsumsi masyarakat tidak akan otomatis naik karena tingkat pengangguran masih tinggi.
Dengan intervensi dari sisi permintaan, kemungkinan ekonomi Indonesia bisa keluar dari resesi masih 50:50. Untuk itu, pengusaha meminta pemerintah memperlancar distribusi stimulus bagi perlaku usaha dan masyarakat yang membutuhkan agar perekonomian nasional terus bergerak.
Dengan intervensi dari sisi permintaan, kemungkinan ekonomi Indonesia bisa keluar dari resesi masih 50:50.
Pembenahan
Secara umum, dari sisi perencanaan, berbagai insentif yang telah dicanangkan pemerintah dapat dikatakan cukup baik. Namun, di level eksekusi, berbagai program tersebut masih perlu dibenahi, terutama dalam koordinasi untuk meningkatkan daya serap anggaran pemulihan ekonomi nasional.
Serapan anggaran memang masih menjadi masalah klasik pemerintah. Dari anggaran untuk program pemulihan ekonomi nasional yang sebesar Rp 695 triliun, baru sekitar 19 persen yang terealisasi atau terserap.
Dalam memperkuat koordinasi dan pengawasan agar penyerapan anggaran pemulihan ekonomi nasional semakin optimal, pemerintah juga mesti bekerja sama dengan lembaga, seperti Badan Pemeriksa Keuangan dan Komisi Pembarantasan Korupsi.
Setiap perangkat pemerintah daerah juga mesti dipastikan dapat menjalankan pengawasan yang tepat guna mengggeliatkan kembali perdagangan di Tanah Air. Namun, tetap harus dipastikan, peraturan pemerintah bisa lebih fleksibel agar dapat disesuaikan dengan kondisi terkini.