Cara Asyik Mengenal Lantai Samudra Purba
Taman Bumi Karangsambung-Karangbolong di Kebumen, Jawa Tengah, merupakan lantai samudra purba yang terangkat ke permukaan. Lewat Geofuntrip, pengunjung diajak mengenal sedikit ilmu kebumian secara seru dan mengasyikkan.
Jejak lempeng samudra yang tersingkap di Taman Bumi Karangsambung-Karangbolong, di Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, menyimpan cerita dan pengetahuan berlimpah. Lewat paket wisata Geofuntrip, warisan ilmu kebumian itu dikenalkan dengan cara yang asyik.
”Hari ini belajar tentang batu. Senang dan seru ada permainan dan juga mewarnai,” ucap Hasta Widya Wicaksono (10), siswa kelas V SD, salah satu dari 25 peserta ”Geofuntrip” yang diinisiasi biro wisata Milangkori di Karangsambung, Kebumen, Minggu (9/8/2020).
Geofuntrip kali ini mengajak anak-anak hingga orang dewasa mengenali bebatuan di wilayah Karangsambung, yang terletak sekitar 19 kilometer sebelah utara pusat Kabupaten Kebumen. Pada salah satu sesi Geofuntrip, pemandu acara meminta para peserta menyebutkan fungsi batu-batuan untuk kehidupan. Jawabannya beragam. Ada yang serius, ada pula yang bercanda tapi nyata.
Semisal, ada yang menyebutkan fungsi batu sebagai fondasi rumah, ganjal pintu, ganjal mobil, tapi ada pula yang menyebutkan batu digenggam untuk menahan buang air besar. Tawa peserta lain pun meledak ketika mendengar jawaban tersebut. Keceriaan mengawali proses penjelajahan taman bumi ini.
Lebih dari 100 juta hingga puluhan juta tahun lalu, kawasan Karangsambung merupakan tempat pertemuan lempeng Samudra Hindia-Australia dan lempeng Benua Eurasia. Singkatnya, Karangsambung adalah lantai samudra purba. Akibat gaya tektonik yang sangat kuat, daerah ini mulai terangkat di atas muka laut. Kawasan Karangsambung-Karangbolong ditetapkan menjadi Geopark Nasional pada 2018.
Kawasan Taman Bumi Karangsambung-Karangbolong punya beragam morfologi, mulai dari perbukitan, lembah, dataran, hingga pantai. Wilayahnya seluas 543.599 kilometer persegi dan mencakup 117 desa di 12 kecamatan di Kebumen. Di taman bumi ini terdapat 59 situs utama yang terdiri dari 41 situs geologi (geosite), 8 situs biologi, dan 10 situs budaya. Dari Karangsambung sampai Karangbolong terhampar enam periode sejarah geologi sejak 117 juta tahun lalu hingga sekarang (Kompas.id, 8/3/2019).
Baca juga: Merengkuh Lantai Samudera Purba yang Tersingkap di Kebumen
Sungai Luk Ulo
Siang itu, peserta Geofuntrip diminta mengumpulkan 18 jenis batuan di Geosite Filit di bantaran Sungai Luk Ulo. Para peserta sangat bersemangat. Meski matahari menyengat kepala, mereka menikmati keindahan lansekap alam Karangsambung.
Kontur daerah yang berbukit-bukit, dirindangi pepohonan pinus tinggi menjulang menjadi pemandangan utama. Jalannya naik-turun, juga berkelok seturut kelokan Sungai Luk Ulo.
Udara sejuk dan angin bertiup semilir ketika para peserta menuruni lereng menuju bantaran sungai. Sejumlah pria bertelanjang dada, setengah badannya terendam air. Mereka menggali batu dan pasir di tepian aliran sungai. Dari kubangan coklat itu, mereka mengangkat material pasir bercampur batu, lalu disaring menggunakan nampan kayu berbentuk bundar yang terdapat lubang di tengahnya. Mereka tengah mencari butiran emas di antara material pasir dan lumpur.
Di tepian sungai tempat para pencari emas itu beraktivitas, para peserta Geofuntrip terus mencari bebatuan berbekal contoh batu yang sudah disusun para peneliti LIPI. Mereka mengais-ais dan memungut pecahan-pecahan batu. Selanjutnya, batu-batu itu dicocokkan tekstur, warna, dan susunannya dengan bebatuan pada contoh.
Baca juga: Pengembangan Geopark Karangsambung -Karangbolong Tidak Sekadar untuk Wisata
”Filit adalah batuan metamorf derajat rendah, (terbentuk pada suhu) sekitar 150 derajat celcius,” kata Peneliti Pertama Balai Informasi dan Konservasi Kebumian Karangsambung Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Eko Puswanto.
Delapan belas batu yang diburu para peserta itu terdiri atas tiga kelompok besar, yaitu batuan beku, sedimen, serta metamorf. Batuan beku terdiri dari batu gasal, granit, gabro, andesit, diabas, serta dasit. Batuan sedimen terdiri dari batu rijang, konglomerat, batu pasir, gamping numulites, gamping merah, dan kalkarenit.
Adapun batuan metamorf terdiri dari batu kuarsit, serpentinit, sekis mika, filit, marmer, dan gnesis. Tiga kelompok batuan itulah yang membuat taman bumi ini dinilai paling lengkap dibandingkan tempat-tempat lain.
Sebelum peserta bermain-main ke bantaran sungai, mereka diajak mengamati dan mencatat proses terjadinya batuan itu dengan mengeksplorasi puluhan koleksi batu di Museum Melange.
”Di sini bisa didapat informasi lengkap tentang tiga jenis kelompok batu, ada batuan beku, sedimen, metamorf yang berada di kompleks daerah Karangsambung yang dikenal sebagai lantai samudra purba,” papar Eko.
Dengan lugas, Eko menyampaikan kepada para peserta mengenai proses terjadinya batu-batuan tersebut. Batuan beku merupakan batuan yang terbentuk dari pembekuan magma.
Mereka diajak mengamati dan mencatat proses terjadinya batuan itu dengan mengeksplorasi puluhan koleksi batu di Museum Melange.
Sementara batuan sedimen adalah batuan yang terbentuk oleh pengendapan mineral dan partikel-partikel batuan. Batuan sedimen umumnya membentuk susunan yang berlapis-lapis. Adapun batuan metamorf adalah batuan yang terbentuk dari batuan asal yang dipengaruhi tekanan dan temperatur.
”Setelah muncul keluar ke permukaan bumi, ada angin, hujan, panas sehingga membuat dia lapuk dan pecah, dan seterusnya. Pada proses itu, batu beku sudah berubah menjadi batuan sedimen,” tuturnya.
Eko menambahkan, Sungai Luk Ulo yang membelah Kabupaten Kebumen menjadi sisi barat dan timur ini berhulu di daerah Wonosobo. Nama Luk Ulo berasal dari bentuk aliran sungai yang berkelok bagai ular sedang melata.
Kelokan di Sungai Luk Ulo ini berada di kawasan Kebumen, atau bagian tengah sungai. Pada sungai-sungai lain, umumnya kelokan baru terjadi menjelang muara karena konturnya sudah mulai landai dan erosi mudah terjadi pada dinding-dinding sungai. Adapun pada sisi hulu hingga tengah biasanya cenderung lurus karena terjangan aliran air yang kuat dari atas.
Menurut Eko, kelokan di Sungai Luk Ulo ini terbentuk dari aktivitas tektonik di zona patahan. ”Zona patahan-patahan yang berhubungan dengan aktivitas tektonik dari zona subduksi mengontrol pembentukan atau dinamika sungai,” katanya.
Baca juga: Promosi Taman Bumi Karangsambung-Karangbolong Masih Butuh Pendampingan
Bermain batu
Setelah peserta berburu dan mencocokkan batuan, para peserta Geofuntrip diajak bermain. Mereka diminta mengambil sebuah batu dan mewarnai batu-batuan itu dengan cat air. Ada yang melukis sebuah wajah lengkap dengan mata dan hidung, ada juga yang melukis aneka buah-buahan seperti semangka dan pisang sesuai dengan bentuk batu yang ditemui.
Pada sesi terakhir permainan, para peserta yang sebagian besar berasal dari Kebumen diajak oleh pemandu wisata untuk bermain stone balancing, atau menumpuk batu. Dengan hati-hati dan tekun, para peserta menumpuk batu-batu setinggi mungkin. Ada yang bisa menumpuk 10 buah batu, ada pula yang bisa 15 batu. ”Wah ini melatih kesabaran, tapi seru sekali,” kata Wit Sarwono (40), peserta dari Karanganyar, Kebumen.
Geofuntrip merupakan perpaduan antara geologi dan wisata yang dikemas secara menyenangkan.
Pegiat Wisata Kebumen, Sigit Asmodiwongso, yang juga pemandu pada Biro Wisata Milangkori mengatakan, Geofuntrip merupakan perpaduan antara geologi dan wisata yang dikemas secara menyenangkan.
”Kami sebagai biro wisata yang beroperasi di Kebumen melihat geopark ini salah satu wisata yang keren dan potensial. Namun, selama ini belum tergarap secara kreatif untuk menjadi produk yang akrab dengan konsumen. Kami mengajak masyarakat menimba ilmu, menggali berbagai informasi di geopark dengan bahasa sederhana dan aktivitas mengasyikkan,” tutur Sigit.
Baca juga: Memacu Adrenalin di Pantai Selatan Kebumen
Wakil Ketua Kelompok Sadar Wisata Paras Adi Prakarsa Desa Karangsambung Adi Primanto menyampaikan, wisata yang sudah eksis di kawasan Karangsambung adalah wisata Bukit Pentulu Indah sejak 2015. Di tempat itu, jumlah kunjungan per tahun bisa mencapai 40.000 orang. Namun karena pandemi, jumlahnya anjlok.
Menurut Adi, sejumlah kendala yang dihadapi untuk pengembangan wisata lain di Karangsambung, antara lain, sumber daya manusia, infrastrukur jalan yang belum layak, minimnya fasilitas sanitasi, serta keterbatasan homestay atau rumah inap bagi pelancong. ”Diperlukan dukungan beberapa pihak, mulai dari desa, pemda, hingga CSR (program tanggung jawab sosial) swasta,” katanya.
Akhirnya, rangkaian permainan dan perjalanan Geofuntrip siang itu ditutup dengan sajian nasi pecel yang sudah disiapkan warga. Tabuhan gendhing Jawa serta tarian kuda lumping dari kelompok kesenian Sekar Budaya mengiringi suasana makan siang.
Baca juga: Mencumbu Ombak Pantai Menganti
Durasi sekitar empat jam sangat singkat untuk mengenal seluruh geosite di taman bumi ini. Untuk itu, guna memenuhi rasa ingin tahu para pengunjung dan wisatawan, tim LIPI menerbitkan buku seri Geopark Bercerita #1 berjudul ”Bawor dan Si Ontel: Petualangan Menjelajah Lorong Purba”.
Narasi yang dituliskan Eko Puswanto dan kawan-kawan penulis dalam komunitas Kewpedia ini, diharapkan melatih imajinasi pembaca, terutama untuk para pelajar. Salah satu contoh, untuk menyebut lapisan batuan sedimen laut dalam rijang dan batuan lempung di geosite rijang merah di Kecamatan Sadang, para penulis menyebutnya sebagai ”Kue Lapis Dasar Samudra”.
Sambil menyantap nasi pecel, para peserta berteduh di bawah naungan nyiur pohon kelapa. Sejauh mata memandang, terhampar perbukitan hijau luas bagian dari lantai dasar samudra purba. Dengan memahami proses geologi puluhan bahkan ratusan juta tahun di Karangsambung, manusia diingatkan akan kebesaran Sang Pencipta.