Jangan Tambah Pukulan
Kita dikepung data. Data membantu kita mengambil keputusan dan menentukan pilihan.
Hidup kita bergelimang data. Di mana pun, kapan pun, kita selalu berurusan dengan data.
Saat lahir, kita dihadapkan pada data sederhana, seperti berat dan panjang badan. Pengumpulan data terus berlanjut, mulai dari hal yang terkesan remeh-temeh sampai yang penting dan serius.
Saat sudah bekerja atau memiliki usaha sendiri, kebutuhan data semakin tinggi. Dari urusan sederhana, seperti makan enak setelah gajian, sampai dengan kebutuhan data untuk urusan masa depan, seperti membeli rumah. Untuk makan enak setelah gajian bersama teman-teman, kita perlu data, antara lain lokasi tempat makan, kisaran harga, pilihan menu, sampai dengan kemungkinan membayar tunai atau nontunai. Ulasan mengenai tempat makan dan menunya bertebaran di internet, yang bisa kita dapatkan sebagai data awal.
Merealisasikan rencana membeli rumah mesti dikuatkan dengan data gaji atau pendapatan usaha kita, harga rumah, lokasi, dan pembayaran yang bisa dilakukan, yakni tunai, kredit, atau tunai bertahap. Moda transportasi yang bisa dipilih untuk mengakses lokasi rumah, menambah data yang mendukung keinginan membeli rumah di lokasi itu, atau malah menghanguskan rencana.
Di buku Poor Economics, Abhijit V Banerjee dan Esther Duflo menggunakan data untuk membahas jebakan kemiskinan. Peraih Nobel Ekonomi itu menampilkan jebakan kemiskinan dalam bentuk S dan dalam bentuk L, yang mengorelasikan antara pendapatan hari ini dan di kemudian hari, dengan kemungkinan masyarakat terjebak dalam kondisi miskin.
Klaus Schwab, dalam bukunya, The Fourth Industrial Revolution, menyebutkan tentang data raksasa, bahkan mahadata, untuk pengambilan keputusan. Menurut Ketua Eskekutif Forum Ekonomi Dunia ini, penggunaan mahadata akan membuat pengambilan keputusan menjadi lebih baik dan cepat. Namun, ia juga menyinggung risiko memanfaatkan data yang melimpah, yang mesti diantisipasi dengan menumbuhkan kepercayaan pada data.
Pada awal-awal usaha rintisan tumbuh, lantas berkembang pesat di Indonesia, kita mengagumi kemampuan bisnis yang didirikan anak-anak muda itu dalam memanfaatkan data. Misalnya, tiba-tiba kita mendapat tawaran diskon di gerai makanan tertentu atau tawaran diskon menggunakan transportasi dalam jaringan. Bisa jadi, tawaran diberikan berdasarkan data yang bersumber dari aktivitas kita yang sudah terekam pelaku usaha tersebut.
Namun, data juga yang menambah pukulan pandemi Covid-19 bagi kita. Sejak kasus terkonfirmasi pertama di Indonesia diumumkan pada 2 Maret 2020, persoalan data selalu mencuat dalam penanganan Covid-19. Perluasan bantuan bagi masyarakat yang tidak mampu, misalnya, sempat terkendala verifikasi data. Bantuan sosial bagi pekerja informal untuk menyangga kondisi perekonomian mereka juga terkendala data.
Bahkan, sempat muncul usulan untuk menggandeng penyedia jasa transportasi daring yang memiliki data pekerja informal, setidaknya data mitra kerja mereka. Dengan cara itu, data yang diperoleh dinilai cukup sahih.
Keruwetan soal data ini memunculkan fakta pemberian bantuan ke beberapa orang ternyata salah sasaran.
Permasalahan data kembali mencuat saat pemerintah berencana memberi bantuan gaji Rp 600.000 per bulan selama empat bulan bagi pekerja yang memiliki gaji bulanan kurang dari Rp 5 juta. Basis data yang digunakan pemerintah sejauh ini adalah pekerja yang menjadi anggota BPJS
Ketenagakerjaan melalui perusahaan tempat mereka bekerja. Padahal, ada juga pekerja yang menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan atas upaya mereka sendiri atau disebut peserta mandiri.
Namun, data tersebut lagi-lagi masih perlu diverifikasi. Jika data tidak akurat, bisa-bisa bantuan akan salah sasaran. Lebih lanjut lagi, jika salah sasaran, tujuan utama bantuan untuk menggerakkan konsumsi masyarakat tidak akan tercapai.
Upaya mengumpulkan data bukannya tidak dilakukan. Beberapa tahun lalu, pemerintah pernah merilis program bantuan sosial yang penyalurannya melalui rekening telepon seluler. Pertimbangannya, sebagian besar masyarakat sudah punya ponsel sehingga memudahkan proses penyaluran bantuan.
Kini, pandemi Covid-19 mengepung dunia. Akses perjumpaan makin terbatas sehingga data kian besar peranannya. Jangan sampai ketidaklengkapan data membuat kita terpukul makin dalam.