Meskipun menjadi pusat kapital dunia, bisnis berskala kecil dan menengah masih menjadi tulang punggung perekonomian New York, Amerika Serikat. Pandemi Covid-19 merontokkan ribuan bisnis kelompok tersebut.
Oleh
ARIS PRASETYO
·5 menit baca
Awal Maret 2020. Glady’s, sebuah restoran di Brooklyn, New York, Amerika Serikat, bisa menghasilkan pendapatan 35.000 dollar AS per minggu. The Bank Street, toko buku anak-anak yang sudah 50 tahun berdiri di Manhattan, sedang mempersiapkan musim belanja buku menjelang musim semi dan musim panas yang sibuk. Begitu pula Busy Bodies, tempat bermain anak-anak di Brooklyn, baru usai menyelesaikan kelas dengan daftar tunggu yang panjang.
Lima bulan kemudian, bisnis yang dulunya makmur itu lenyap perlahan. Glady’s dan Busy Bodies ditutup untuk selamanya. Adapun The Bank Street, salah satu toko buku untuk anak-anak yang tersisa di kota, tutup secara permanen mulai Agustus ini. Ketiganya adalah korban kehancuran ekonomi akibat pandemi Covid-19 yang melanda New York. Demikian tulis The New YorkTimes di laman artikelnya yang dipublikasikan 3 Agustus 2020.
Glady’s dan Busy Bodies ditutup selamanya. The Bank Street, salah satu toko buku untuk anak-anak yang tersisa di kota, tutup secara permanen mulai Agustus ini. Ketiganya adalah korban kehancuran ekonomi akibat pandemi Covid-19.
Saya kemudian teringat perjalanan ke New York pada awal tahun ini, persisnya pada 28 Januari hingga kembali ke Tanah Air pada 2 Februari 2020. Perjalanan tersebut atas undangan NYC & Company, sebuah organisasi pemasaran tujuan wisata resmi untuk lima kota kecil di New York.
Pertemuan pertama rombongan yang dipimpin Selena Oh, perwakilan NYC & Company di Singapura, terjadi dua jam sebelum penerbangan langsung dari Singapura ke New York dengan Singapore Airlines. Di sebuah lounge, setelah basa-basi perkenalan, perbincangan berlanjut soal virus korona yang saat itu sudah ada kasusnya di Wuhan, China, di mana virus tersebut berasal. Ketika itu, kami bebas berkumpul, berjabat tangan, dan tak ada jaga jarak. Kami juga tak memakai masker.
Setiba di Newark Airport, Amerika Serikat, pada 28 Januari pukul 05.30 waktu setempat, setelah menempuh penerbangan langsung selama 18 jam, rombongan bergerak ke AKA Central Park Hotel di New York. Kami diantar sopir dari Blacklane, sebuah penyedia jasa transportasi yang menawarkan transportasi rendah karbon dengan fasilitas mobil listrik. Saat itulah kami akan memulai jadwal yang sangat sibuk hingga lima hari kemudian.
Kami hanya punya waktu 1,5 jam untuk beristirahat, mandi, ganti baju, dan sarapan sebelum memulai aktivitas pada pukul 09.30. Secara biologis, pada waktu tersebut di Tanah Air adalah waktu menjelang tidur. Namun, ada lima tempat yang harus kami kunjungi pada hari pertama itu. Kelimanya adalah menjumpai Lester Barnett yang akan menemani perjalanan kami menjelajah sudut-sudut kota New York, Museum of Modern Art, Sarabeth’s Restaurant, Empire State Building, dan Jam’s Restaurant.
Hingga hari terakhir, banyak tempat yang kami kunjungi. The Metropolitan Museum of Art, Staten Island yang saat ke sana sepintas melewati Patung Liberty, dan tak ketinggalan menyaksikan teater ”The Book of Mormon” di Broadway yang legendaris tersebut. Selebihnya, kami banyak berwisata kuliner.
Daftar restoran dan bar yang kami kunjungi selama di New York dan Brooklyn adalah Emmy Squared, Junior’s Cheesecake, Bar Wayo, dan Brooklyn Bowl. Semua punya keunikan sendiri. Emmy Squared, yang dimiliki Emmy, misalnya, menawarkan menu unggulan pizza dan burger. Sebagian besar bahan bakunya dipasok dari petani-petani terdekat. Sementara Bar Wayo menjual menu masakan Jepang, dan tentu saja Junior’s Cheesecake menawarkan aneka menu penuh keju.
Bahkan, pada hari keempat kami secara khusus mengadakan tur kuliner di Brooklyn. Berjalan kaki dari Hotel Indigo Williamsburg, kami ”menjajah” makanan mulai dari Tacombi, restoran Meksiko, Northside Bakery, Best Pizza, Momofuku Milk Bar, Odd Fellows untuk menikmati es krim, dan Mable’s Smokehouse dengan menu panggang.
Tak butuh lama, New York berubah menjadi pusat pandemi Covid-19 di Amerika Serikat. Pada 4 April, negara bagian tersebut memecahkan rekor kasus baru sebanyak 12.274 orang dinyatakan positif dalam sehari.
Semua kisah tersebut terjadi hanya beberapa bulan sebelum ditemukan kasus penularan virus korona di New York. Kasus pertama di kota itu terjadi pada 1 Maret 2020. Tak butuh waktu lama, New York berubah menjadi pusat pandemi Covid-19 di Amerika Serikat. Pada 4 April, negara bagian tersebut memecahkan rekor kasus baru sebanyak 12.274 orang dinyatakan positif dalam sehari. Kasus positif di Amerika Serikat kini sudah menyentuh angka di atas 10 juta orang.
Pada awal Februari, rombongan sudah mulai ramai membicarakan penularan Covid-19 di negara masing-masing. Namun, angkanya masih berkisar dua digit. Mavis Teo, jurnalis asal Singapura itu terus memantau perkembangan penularan Covid-19 di negaranya. Dari nada bicara dan raut mukanya menampakkan kecemasan. Pada waktu itu ia sudah menunjukkan keseriusan terhadap virus baru tersebut.
Menjelang hari terakhir itu pula, belum ada alarm bahaya pandemi Covid-19 di New York. Bahkan, saya masih bebas berkeliaran pada waktu senggang menjelajahi New York dan Brooklyn seorang diri. Selain menonton pertunjukan di Broadway, kami sempat menikmati tur keliling kota dengan bus turis yang disebut ”The Ride”. Di dalamnya duduk saling berimpitan.
Suasana berbeda mulai terasa saat pulang ke Tanah Air dan transit di Bandara Changi, Singapura, 2 Februari 2020. Di bandara termewah di dunia itu, nyaris semua orang mengenakan masker kendati masih mengabaikan jarak.
Kembali ke New York. Pandemi menyebabkan 2.800 bisnis di kota tersebut gulung tikar. Ribuan bisnis itu adalah golongan bisnis kecil dan menengah. Mulai dari kedai kopi hingga toko perkakas. Di Manhattan, mayoritas gedung perkantoran tak berpenghuni. Orang kaya di kota tersebut meninggalkan apartemen menuju rumah kedua mereka di kota lain. Turis pergi menjauh.
Masih dari laporan The New York Times, kendati New York menjadi markas sebagian besar perusahaan dalam daftar Fortune 500, bisnis kecil dan menengah di kota ini masih menjadi tulang punggung perekonomian kota dengan PDB 1.751 triliun dollar AS pada 2019 tersebut. Bisnis mereka mewakili 98 persen penyedia kerja dan menyerap tenaga kerja lebih dari 3 juta orang.
Sempat terlintas, bagaimana nasib restoran dan kedai yang kami singgahi beberapa bulan lalu itu? Apakah rumah makan Meksiko di Brooklyn masih buka? Seperti apa nasib tujuh restoran milik Emmy sekarang ini? The Ride, Broadway, apa masih menerima pengunjung?
Tebersit juga pikiran mengenai kondisi di Indonesia. Apa kabar warung kopi di Jakarta Pusat dan kenapa masih ada orang yang enggan bermasker saat bertemu orang lain? Pandemi Covid-19 mengubah banyak hal dalam sekejap.