Perempuan Adat Pubabu Minta Pemda Hentikan Intimidasi
›
Perempuan Adat Pubabu Minta...
Iklan
Perempuan Adat Pubabu Minta Pemda Hentikan Intimidasi
Aksi unjuk rasa ibu-ibu di Kabupaten Timor Tengah Selatan Mei 2020 adalah sebuah perjuangan untuk memperjuangkan hak adat mereka. Sayangnya, aksi mereka justru dibenturkan dengan adat ketimuran.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur didesak untuk segera menghentikan berbagai intimidasi dan diskriminasi terhadap masyarakat yang tinggal di sekitar hutan adat Pubabu, Nusa Tenggara Timur. Aparat kepolisian juga diminta menghentikan segala bentuk kekerasan, intimidasi dan kriminalisasi terhadap masyarakat adat Pubabu, terutama perempuan yang melakukan perjuangan terhadap hak-haknya.
Selain mencabut sertifikat hak pakai dan mengembalikan hutan adat Pubabu dan hak masyarakat, pemerintah daerah NTT didesak agar penyelesaian konflik yang terkait hutan adat Pubabu, hendaknya memperhatikan sensitivitas jender. Jangan ada lagi kekerasan termasuk kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak.
Kami sedih kalau orangtua kami diperlakukan seperti binatang.(Vera Selan)
“Kami sedih kalau orangtua kami diperlakukan seperti binatang. Saya bersama adik-adik yang berada di lokasi juga diperlakukan kayak binatang, kayak manusia tidak punya harga diri. Ditarik, diinjak, dicek, sementara menangis ditarik dibawa ke mobil. Orangtua kami diancam mau ditembak dan dipukul. Sebagai anak-anak kami melihat itu merasa sedih,” ujar Vera Selan (21) salah satu, perempuan muda dari Pubabu, saat konferensi pers “Hentikan Represifitas Negara terhadap Perempuan Adat Pubabu yang Mempertahankan Kehidupannya”, Kamis (13/8/2020).
Vera sambil menangis meminta kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) agar membantu mereka. “Kasih kami keadilan. Kami cuma minta itu. Kami rasa keadilan tidak berpihak pada kami, masyarakat biasa, kami selalu diintimidasi,” ujar Vera yang didampingi Marteda Ester (39) dan Daud Selan (41) dari perwakilan adat Pubabu.
Masyarakat adat Pubabu selama ini tinggal di Desa Linamnutu, Kecamatan Amanuban Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan. Ester mengungkapkan paska aksi pada Mei 2020 lalu, hingga kini mereka hidup dalam intimidasi, tidak bisa tenang hidupnya. Penggusuran rumah-rumah warga terus dilakukan hingga kini. Hingga, Kamis, belasan rumah sudah dibongkar.
“Mereka tetap intimidasi kami. Sampai sekarang mereka sudah bongkar belasan rumah. Hari ini mereka membongkar beberapa rumah lagi beroperasi di lokasi. Tapi masyarakat tetap tinggal di bawah pohon, mereka datang membawa senjata, menodong ibu-ibu, supaya keluar lokasi, kami dipaksa termasuk saya. Semalam kami tidur di tanah tanpa alas,” kata Ester akan bertahan di lokasi mempertahankan tanah mereka, dan meminta Komnas HAM segera turun ke lapangan.
Ester menyatakan hingga kini anak-anak pendidikan usia dini di sekolah yang dipimpinnya tidak mendapatkan surat tanda tamat belajar hanya karena dia tidak mau meminta maaf atas aksi yang dilakukan Mei lalu.
Hadir mendengarkan pernyataan Ester dan Vera, Yuvensus S Nonga, (Walhi NTT), Veronika Ata (Lembaga Perlindungan Anak NTT), Dinda Nuur Annisaa Yura (Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan), Dewi Kanti (Komisioner Komnas Perempuan), dan Beka Ulung Hapsara (Komisioner Komnas HAM).
Dinda mengecam pelecehan seksual dan stigma yang dilekatkan pada perempuan Pubabu, yang melakukan perjuangan atas hak tanahnya, seperti pelecehan seksual yang dilakukan oknum polisi pada tanggal 10 Agustus 2020 terhadap dua perempuan adat Pubabu yang berjalan melewati markas kepolisian di dekat daerah Lopo dengan mengatakan akan menyentuh payudara perempuan tersebut.
“Aksi ibu-ibu pada bulan Mei 2020 adalah sebuah perjuangan dengan menggunakan tubuhnya, maka membenturkan dengan adat ketimuran itu sungguh-sungguh tidak tepat, seharusnya bangga dengan perempuan yang memperjuangkan dan mempertahankan budaya mereka yang mau dirampas negara. Bukan benturkan ketelanjangan dengan budaya,” ujarnya.
Beka Hapsari menyatakan bahwa Komnas HAM sejak tahun 2012 telah menyatakan sikap atas konflik tanah di Pubabu, bahkan paska peristiwa Mei lalu, Komnas HAM langsung mengirim surat kepada Pemerintah Provinsi NTT dan Polda NTT, atas dugaan penggunaan kekerasan dan intimidasi dalam konflik lahan pada masyarakat adat Pubabu. “Kami juga minta Gubernur untuk menunda aktivitas penggusuran dan pembongkaran hak milik yang dilakukan pemprov,” kata Beka.
Kendati demikian, Beka mengakui kepatuhan lembaga negara atau pemerintah terhadap rekomendasi yang dikeluarkan Komnas HAM sangat rendah. Rekomendasi tersebut hanya dilihat sekadar administrasi saja. “Rekomendasi tahun 2012, tidak dijalankan Pemprov NTT,” ujar Beka yang menyatakan Komnas HAM akan turun ke lokasi melakukan pemantauan lapangan, dan akan bertemu dengan Gubernur NTT.