Sekolah Cikal menghibahkan hak atas merek Merdeka Belajar kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Langkah ini diharapkan dapat mengakhiri polemik penggunaan istilah tersebut.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sekolah Cikal yang memiliki hak atas merek Merdeka Belajar menghibahkan idiom tersebut kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tanpa kompensasi apa pun. Langkah ini diharapkan mengakhiri polemik selama ini terkait penggunaan idiom Merdeka Belajar yang dipermasalahkan sejumlah pihak.
”(Sebutan) Merdeka Belajar kini bisa digunakan oleh banyak pihak tanpa harus mengeluarkan dana kompensasi. Itu selama masih dalam kaitannya dengan pengembangan pendidikan dan sesuai aturan yang berlaku,” ujar Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim dalam konferensi pers tanpa tatap muka, Jumat (14/8/2020).
Karena itu, ia berharap semua pihak bersama-sama bisa kembali fokus dalam melanjutkan misi dan semangat merdeka belajar. Semangat ini terinspirasi dari bapak pendidikan Indonesia, Ki Hadjar Dewantara, untuk menciptakan ekosistem pendidikan nasional yang saling mendukung dan bergotong royong. Sumber daya manusia yang unggul, inovatif, dan berkarakter pun bisa dihasilkan.
Kata Merdeka Belajar sebelumnya diumumkan secara resmi oleh Nadiem pada akhir 2019 sebagai payung besar kebijakan pendidikan nasional. Polemik muncul setelah sejumlah pihak mempertanyakan penggunaan idiom yang sudah memiliki hak merek tersebut. Penggunaan idiom Merdeka Belajar dinilai dapat memunculkan masalah terkait hukum atas merek.
Berdasarkan Pangkalan Data Kekayaan Intelektual (PDKI) Kementerian Hukum dan HAM, merek Merdeka Belajar terdaftar di kelas 16 dan kelas 41. Kelas 16 terkait penggunaan untuk alat tulis kantor, sedangkan kelas 41 terkait jasa seperti pelatihan, pengajaran, dan kegiatan budaya (Kompas, 8 Agustus 2020).
Pendiri Sekolah Cikal, Najelaa Shihab, sekaligus pihak yang mendaftarkan hak paten atas idiom Merdeka Belajar, menuturkan, sejak awal penggunaan Merdeka Belajar oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sudah dibebaskan. Namun, untuk meyakinkan masyarakat, pernyataan itu diperkuat lagi dengan menghibahkan hak atas merek Merdeka Belajar kepada Kemendikbud.
Menurut dia, Merdeka Belajar merupakan gerakan pendidikan untuk meningkatkan kompetensi serta kolaborasi dan inovasi semua pemangku kepentingan, mulai dari guru, orangtua, komunitas, hingga organisasi. Dengan begitu, ekosistem pendidikan yang tercipta menjadi lebih baik.
”Kemerdekaan belajar di Indonesia memang belum tercapai. Namun, dengan semangat untuk terus berkolaborasi, tanpa perlu mengharapkan peran dari pemerintah saja, kemerdekaan belajar dapat tercapai,” kata Najelaa.
Lima bentuk
Nadiem menuturkan, setidaknya kini sudah ada lima bentuk Merdeka Belajar yang diluncurkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Bentuk Merdeka Belajar tersebut, antara lain, mengubah ujian nasional menjadi asesmen kompetensi minimum dan survei karakter, menghapus ujian sekolah berstandar nasional, dan menyederhanakan rencana pelaksanaan pembelajaran. Selain itu, program lainnya, yakni Kampus Merdeka, Organisasi Penggerak, dan Guru Penggerak.
Merdeka Belajar tersebut juga dinilai dapat diwujudkan di tengah pandemi Covid-19. Belajar bisa dilakukan lewat berbagai media, seperti televisi dan radio. Kurikulum juga sudah disederhanakan menjadi kurikulum darurat agar guru tidak harus mengejar seluruh kompetensi dasar yang diatur sebelumnya.
Ia mengatakan, kepala sekolah juga dimerdekakan dalam penggunaan dana bantuan operasional sekolah (BOS) untuk pulsa siswa, membeli alat bantu pembelajaran atau komputer, dan persiapan protokol kesehatan di sekolah.
”Harapannya, di tengah tantangan dan kesulitan, semangat kemandirian dan inovasi tetap bisa diwujudkan,” kata Nadiem. (TAN)