Pembukaan sekolah di zona kuning selain tidak efektif juga mengancam keselamatan siswa, guru, dan warga sekolah lainnya. Saat ini sudah muncul kluster-kluster penyebaran Covid-19 di sejumlah sekolah.
Oleh
Yovita Arika
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembukaan sekolah di zona kuning berpotensi mengancam kesehatan dan keselamatan siswa, guru, tenaga kependidikan, dan juga orangtua siswa. Terbukti mulai muncul kluster-kluster baru penularan Covid-19 di sejumlah sekolah dan pondok pesantren.
Hingga Kamis (13/8/2020), berdasarkan catatan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), paling tidak sudah ada 54 guru dan 138 siswa di sejumlah sekolah dan pondok pesantren positif Covid-19. Di Balikpapan, Kalimantan Timur, misalnya 28 guru di dua sekolah positif Covid-19. Di Rembang, Jawa Tengah, 11 guru di sebuah SMK positif Covid-19.
Adapun kasus Covid-19 pada siswa paling banyak terjadi di lingkungan pesantren. Di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, misalnya, kasus ini terjadi pada 35 santri. Di Jawa Timur, kasus ini terjadi pada 50 santri di Kabupaten Magetan dan 43 santri di Magetan.
Banyak guru dan siswa yang mengandalkan angkutan umum untuk pulang-pergi ke sekolah. Tak ada jaminan kesehatan yang steril dari Covid-19 selama menumpangi kendaraan umum. (Satriwan Salim)
Selain penularan di sekolah, kata Wakil Sekretaris Jenderal FSGI Satriwan Salim, banyak guru dan siswa yang mengandalkan angkutan umum untuk pulang-pergi ke sekolah. Tak ada jaminan kesehatan yang steril dari Covid-19 selama menumpangi kendaraan umum. ”Apalagi kalau rumah mereka di zona merah,” kata Satriwan dalam penjelasan tertulis FSGI, Kamis (13/8/2020).
Surat kesepakatan bersama (SKB) empat menteri yang memperbolehkan pembukaan sekolah di zona kuning, menurut FSGI merupakan potret kebijakan yang paradoks. Di satu sisi angka statistik penyebaran Covid-19 di Indonesia makin tinggi, tetapi di sisi lain kebijakan pendidikan membuka sekolah semakin longgar.
Secara terpisah, Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Dasar, dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Jumeri mengatakan, Pemerintah menyadari bahwa pembukaan layanan tatap muka berpotensi menyebabkan terjadinya kluster-kluster baru penularan Covid-19.
Kami sudah memberikan instruksi agar pembukaan satuan pendidikan di zona kuning harus atas izin Satuan Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 setempat. (Jumeri)
”Namun kami sudah memberikan instruksi agar pembukaan satuan pendidikan di zona kuning harus atas izin Satuan Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 setempat. Selain itu kepala sekolah harus mengisi daftar periksa pencegahan Covid-19 dan diverifikasi oleh Satuan Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 dan Dinas Pendidikan Provinsi dan Kabupaten/Kota,” ujar Jumeri dalam pertemuan pernyataan tertulis.
Sekretaris Jenderal FSGI Heru Purnomo mengatakan, SKB empat menteri yang pertama dilanggar oleh paling tidak 79 daerah, dan tidak ada sanksi. Pelanggaran itu sama halnya melanggar perlindungan terhadap siswa dan guru, dan membahayakan keselamatan jiwa siswa dan guru. Dia kuatir, SKB empat menteri yang kedua pun akan dikesampingkan.
SKB empat menteri yang pertama pada Juni lalu sebenarnya sudah relatif bisa menjaga anak dan guru. Misalnya, SD bisa dibuka di zona hijau, 2 bulan setelah SMP/SMA. Namun dalam SKB 4 Menteri yang baru, SD diperkenankan dibuka bersamaan dengan SMP/SMA di zona kuning. Padahal secara usia, justru siswa SD belum memahami risiko dan kesadaran akan kesehatan yang baik.
Tidak efektif
Selain membahayakan kesehatan dan keselamatan warga sekolah, kata Satriwan, pembukaan sekolah di zona kuning juga tidak efektif. Pembelajaran dibatasi empat jam per hari, dan siswa hanya bisa berinteraksi terbatas di kelas. Kegiatan di luar kelas, seperti olahraga dan ekstrakurikuler, juga kegiatan kesiswaan lainnya yang bersifat berkumpul belum boleh dilakukan.
”Padahal yang diidam-idamkan oleh anak untuk masuk sekolah adalah kegiatan sekolah yang banyak tadi, berkumpul ramai-ramai, nah sekarang justru semua itu dilarang. Artinya pembelajaran di sekolah juga tidak efektif,” ujar Satriwan.
Oleh karena itu, menurut FSGI, opsi terbaik memperpanjang pembelajaran jarak jauh dengan perbaikan-perbaikan. Koordinasi lintas kementerian dan pemerintah daerah, gotong royong semua elemen bangsa untuk memberikan layanan fasilitas pembelajaran jarak jauh mendesak dilakukan. Ini semata-mata dilakukan demi perlindungan dan keselamatan bagi guru dan siswa.
”Lebih baik siswa tetap melaksanakan pembelajaran jarak jauh walaupun tertinggal beberapa materi pembelajaran, ketimbang memaksakan masuk sekolah tapi kesehatan dan nyawanya tengah terancam,” kata Heru.
Heru berharap kepada akan kelapangan dan kesabaran hati orangtua siswa dalam mendampingi anak selama anak belajar di rumah. Komunikasi yang intensif antara guru, wali kelas, dan orangtua adalah kunci kebaikan bagi anak selama belajar di rumah.
Heru juga meminta agar SKB empat menteri yang baru benar-benar diawasi pelaksanaannya. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Agama harus memverifikasi langsung ke sekolah/madrasah terkait pengisian daftar cek protokol kesehatan yang diisi sekolah.
”Jangan sampai sekolah tak jujur mengisi. Harus dikroscek betul apakah sekolah dan madrasah sudah betul-betul siap menerapkan protokol kesehatan secara ketat. Jangan hanya sekadar mengisi kuesioner secara formalitas, lantas tanpa turun langsung ke sekolah dan madrasah. Karena ini akan berbahaya bagi anak dan guru,” kata dia.