Polri Libatkan KPK Usut Joko Tjandra, Komjak Dorong Kejagung Lakukan Hal yang Sama
›
Polri Libatkan KPK Usut Joko...
Iklan
Polri Libatkan KPK Usut Joko Tjandra, Komjak Dorong Kejagung Lakukan Hal yang Sama
Komisi Kejaksaan meminta Kejaksaan Agung mengikuti langkah Polri yang melibatkan KPK dalam penanganan kasus pelarian buronan Joko Tjandra. Namun, Kejagung menyatakan masih akan melihat situasi dan kondisi lebih dulu.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kejaksaan Agung diharapkan melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam pengusutan dugaan tindak pidana korupsi dalam kasus pelarian terpidana hak tagih atau cessie Bank Bali, Joko Soegiarto Tjandra. Kejagung diharapkan juga melibatkan KPK, seperti yang sudah mulai dilakukan oleh Polri.
Sebelumnya, dalam keterangan pers di Jakarta, Kepala Bareskrim Polri Komisaris Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengungkapkan periodisasi penyidikan peristiwa terkait Joko Tjandra yang dibagi menjadi tiga kluster berdasarkan periode waktu. Kluster pertama kasus Joko Tjandra terjadi pada periode 2008-2009, yakni saat Joko diadili dan melarikan diri.
Kluster kedua terjadi pada akhir 2019 terkait pertemuan antara Joko Tjandra dengan P dan ADK untuk pengurusan kasus peninjauan kembali. Kluster kedua, ujar Listyo, ditangani Kejaksaan Agung. Adapun kluster ketiga terkait pembuatan dan penggunaan surat jalan palsu, serta dugaan pidana korupsi penghapusan red notice Interpol Joko Tjandra. Listyo juga menambahkan, Bareskrim Polri akan mengembangkan kasus terkait Joko Tjandra dengan menggandeng KPK.
Ketua Komisi Kejaksaan (Komjak) Barita Simanjuntak yang dihubungi dari Jakarta, Sabtu (15/8/2020), menilai, pengusutan kasus Joko Tjandra tidak hanya semata-mata persoalan kewenangan, tetapi jauh lebih luas lagi karena menyangkut kepercayaan publik.
”(Ini menyangkut) persoalan transparansi dan akuntabilitas institusi kejaksaan. Bagaimanapun hebatnya proses penegakan hukum yang dilakukan kejaksaan tanpa adanya public trust akan selalu dipandang sinis, curiga, dan pesimistis oleh masyarakat,” kata Barita melalui pesan singkat.
Menurut Barita, dalam situasi seperti ini, Kejaksaan Agung (Kejagung) perlu dengan sadar dan penuh kerelaan membiarkan kasus ini disidik dengan supervisi lembaga yang kredibilitasnya diakui publik seperti KPK. Sebab, kasus Joko Tjandra telah telanjur menciptakan timbulnya kecurigaan publik karena respons Kejagung dipandang tidak sesigap dan setegas Polri.
Sejauh ini Kejagung baru menetapkan jaksa Pinangki Sirna Malasari sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi terkait Joko Tjandra. Sementara itu, Polri telah menetapkan lima tersangka, yaitu JST, PU, ADK, TS, dan NB.
Menurut Barita, pengusutan kasus Joko Tjandra yang dilakukan Kejagung terkesan tertutup. Ketika Komjak sebagai lembaga pengawas eksternal mencoba melakukan tugasnya, justru tidak direspons dengan cepat oleh Kejagung. Padahal, penyelesaian kasus ini harus dilakukan dengan cara cepat dan responsif.
”Sense of crisis, emergency planning mesti diterapkan dalam penyidikan kasus ini untuk membuktikan kepada publik bahwa kejaksaan terbuka dan siap melakukan koreksi, evaluasi, perbaikan, dan penindakan yang tegas, serta konsisten. Kejaksaan harus membuktikan bahwa dirinya bisa dipercaya agar kepercayaan publik bisa tumbuh kembali,” kata Barita.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Hari Setiyono mengatakan, saat ini Kejagung sudah melakukan koordinasi dengan penegak hukum lainnya karena kasus Joko Tjandra ini saling terkait.
Akan tetapi, Kejagung belum bisa memastikan apakah akan melakukan gelar perkara dengan mengundang KPK seperti yang dilakukan Polri. ”Nanti, kami lihat situasi dan kondisi. Kan, sudah ditetapkan tersangka. Kemarin, penyidik polisi mau menetapkan tersangka berikutnya. Kami lihat kebutuhan,” kata Hari.
Ia mengaku, sejauh ini sesama penegak hukum saling berkoordinasi dan menghormati. Mereka saling berkoordinasi dan apabila ada alat bukti yang mendukung, akan saling membantu.
Sementara itu, Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri mengatakan, KPK mengapresiasi langkah yang dilakukan kepolisian dan Kejagung yang cepat bertindak dalam penanganan kasus Joko Tjandra. KPK berharap penyelesaian perkara yang melibatkan oknum di setiap internal lembaga tersebut dilakukan secara obyektif dan profesional.
”Pada prinsipnya tentu KPK siap berkoordinasi dan memberikan bantuan kepada APH (aparat penegak hukum) lain, baik kejaksaan maupun kepolisian, dan selama ini juga sudah berjalan di penanganan beberapa perkara,” kata Ali.
Dia menjelaskan, koordinasi dan supervisi dilakukan KPK dalam rangka memastikan bahwa penanganan perkara yang sedang dilakukan berjalan sesuai dengan mekanisme serta proses penanganan perkara.
Menurut Ali, saat ini masih terlalu dini jika berbicara mengenai opsi ambil alih kasus ini. Ambil alih perkara dari Polri atau Kejagung oleh KPK tidak bisa serta merta begitu saja dilakukan. Sebab, harus jelas apa yang menjadi alasannya sebagaimana telah diatur dalam Pasal 10A Undang-Undang KPK.
Ia menegaskan, tupoksi KPK antara lain koordinasi dan supervisi. Karena itu, KPK selalu siap berkoordinasi dengan aparat penegak hukum lain terkait penanganan suatu kasus korupsi, termasuk kasus yang melibatkan Joko Tjandra.
Menurut pengajar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, KPK harus responsif sebagai lembaga yang mempunyai kewenangan supervisi terhadap Polri dan Kejagung. KPK harus mendorong dan meminta Kejagung untuk bekerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan untuk melacak aliran uang dalam perkara tersebut.
Dia menilai, Kejagung kurang serius menggali dugaan aliran uang dalam kasus ini. ”Seharusnya jiwa korsa dikesampingkan karena ini soal mencari siapa yang jahat terlibat kolusi dan konspirasi dalam skandal Joko Tjandra,” kata Fickar.
Hal serupa diungkapkan peneliti Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana. Dia mendorong KPK aktif melakukan fungsi koordinasi dan supervisi atas penyidikan perkara korupsi dalam kasus Joko Tjandra di kepolisian serta Kejagung.
”Jika memang ada indikasi untuk memperlambat proses pengusutan atau melindungi oknum tertentu, berdasarkan UU KPK, lembaga antirasuah itu berhak mengambil alih penanganan perkara tersebut,” kata Kurnia.
Menurut Kurnia, penegak hukum harus mendalami dugaan adanya oknum yang membocorkan putusan peninjauan kembali Joko Tjandra pada 2009. Jika ditemukan, penegak hukum dapat mengenakan pelaku dengan sangkaan Pasal 21 UU Tindak Pidana Korupsi terkait menghalang-halangi proses hukum.
Menurut Kurnia, Kejagung baru menetapkan jaksa Pinangki sebagai tersangka penerima suap. Padahal, kata dia, Kejagung masih harus melakukan empat hal lainnya. Kejagung masih perlu menggali siapa pemberi suap, serta apakah Pinangki memiliki relasi dengan oknum di Mahkamah Agung sehingga bisa menjanjikan memberikan bantuan berupa fatwa kepada Joko Tjandra.
Selain itu, Kejagung juga perlu mendalami apakah ada oknum petinggi Kejagung yang selama ini bekerja sama dengan Pinangki. Kejagung juga harus memastikan bahwa penanganan perkara di internal Korps Adhyaksa tersebut dilakukan secara profesional, independen, dan obyektif.