Logo peringatan hari ulang tahun kemerdekaan RI kembali menjadi perbincangan. Pembicaraan tentang logo itu memperlihatkan kepedulian warga pada komunikasi visual yang dibuat perancangnya.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY / Andy Riza Hidayat
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bukan sekali ini logo hari ulang tahun RI menjadi perbincangan publik. Namun, perbincangan itu kerap berputar di ranah persepsi masing-masing warga. Sementara perbincangan mengenai proses kreatif di balik pembuatan logo itu masih belum banyak terjadi.
Logo yang mencerminkan perayaan HUT RI tidak selalu memuaskan semua orang. Kenyataan ini dinilai sebagian praktisi desainer grafis sebagai hal yang wajar. ”Tentu seorang desainer tidak dapat memenuhi selera estetis seluruh warga Indonesia, pro dan kontra tentu menjadi dinamika yang menarik untuk dipelajari,” kata Zinnia Nizar, praktisi desainer grafis, kepada Kompas, Jumat (14/8/2020).
Desainer pembuat logo sudah pasti tidak menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan kepadanya. Mereka berupaya menjawab kosep yang diusung pemerintah yang diwujudkan dalam bentuk visual. Adapun kunci jawaban apakah desain logo yang dimaksud sudah dapat mewakili pesan yang diusung, kata Zinnia, hal itu tergantung dari pengetok palu penentuan logo mana yang terpilih.
Belakangan ini, ada tren positif di mana pemerintah melibatkan praktisi yang lebih luas dalam pembuatan logo HUT RI. Pengamatan Zinnia, tren ini berlangsung sejak HUT Ke-71 RI tahun 2016. ”Ini memperlihatkan apresiasi terhadap profesi kami,” kata Zinnia.
Dia mengingatkan, logo HUT RI bukan medium satu-satunya dalam menyampaikan pesan perayaan. Meski begitu, logo itu harus bisa diaplikasikan ke berbagai media komunikasi. Karena itu tidak mudah bagi perancang logo untuk mewujudkan gagasan itu dengan tepat.
Kementerian Sekretariat Negara dalam pedoman identitas visual 75 Tahun kemerdekaan Indonesia menjelaskan bahwa logo Indonesia Maju berbentuk perisai dengan angka 75. Pembuatan logo itu terinspirasi dari simbol perisai lambang Garuda Pancasila.
Dari sumber yang sama, seperti dikutip di setneg.go.id, logo itu menyimbolkan kesetaraan, pertumbuhan ekonomi, dan progres nyata dalam bekerja demi hasil terbaik untuk warga. Logo terdiri dari sepuluh elemen pendukung sebagai representasi komitmen dan nilai luhur Pancasila.
Sepuluh elemen itu adalah fokus, kemajuan, global, merata, kokoh, progres, efisien, gotong royong, maritim, dan berkembang. Elemen bersifat abstrak sehingga dalam pelaksanaannya menjadi satu kesatuan dan dapat digunakan sebagai ciri khas dari logo.
Idealnya, logo dapat mewakili pesan yang ingin disampaikan kepada masyarakat luas. Sementara elemen pendukung logo berfungsi memperindah logo. Founder & Creative Director HelloMotion Academy Wahyu Aditya mencermati perdebatan yang berkembang di masyarakat justru terjadi pada ranah elemen pendukung logo. ”Logo terlalu sederhana sehingga memerlukan dekorasi yang oleh sebagian orang diartikan sebagai simbol tertentu,” ujar Wahyu.
Hal itu menunjukkan bahwa dekorasi lebih menarik perhatian ketimbang logo itu sendiri. Padahal angka kelipatan lima seperti 75 bisa terlihat lebih mewah atau prestisius. Caranya dengan mengeksplorasi lagi logonya sehingga menarik perhatian warga. Hal ini menjadi perhatian Wahyu bertahun-tahun ketika mencermati kreativitas dalam logo ulang tahun kemerdekaan RI.
Perdebatan warga tentang elemen pendukug logo HUT RI itu dinilai sebagai sebuah paradoks oleh sosiolog Universitas Indonesia, Imam B Prasodjo. Hal ini terjadi karena orang memilah informasi hanya pada yang cocok dengan diri dan lingkungannya. Misalnya bergabung dalam kanal tertentu sehingga mendapatkan informasi yang homogen dan bertubi-tubi.
Informasi dari satu sisi saja dan terus-menerus menuntun pada tafsir yang mengerucut pada cara pandang tertentu. ”Makna terpengaruh serapan informasi. Terjadi konstruksi yang mempengaruhi kacamata dalam melihat sesuatu,” ucap Imam. Itu adalah konsekuensi dari paradoks yang terjadi.
Pemaknaan yang sempit pada sebuah media komunikasi visual terjadi karena ada sekat antarwarga. Warga tahu apa yang sedang mereka alami, tetapi tidak tahu apa yang orang lain alami. Seharusnya terjalin lintas pengalaman satu dengan yang lain. Akibatnya, muncul tafsir hanya berdasarkan sudut pandang sendiri sehingga cara pandang mengerucut tidak bisa lihat keberagaman. Contohnya warna merah ditafsirkan erat dengan Partai Komunis Indonesia. Padahal ada banyak arti, seperti pemberani dan bahaya.