Ada secercah harapan untuk terbebas dari pandemi Covid-19. Uji klinis vaksin telah dilakukan terhadap ribuan sukarelawan. Sembari menunggu hasil, banyak pekerjaan yang harus dikerjakan untuk meminimalisir dampak pandemi
Oleh
Budiman Tanuredjo
·5 menit baca
Bangsa ini akan merayakan HUT kemerdekaan ke-75, Senin, 17 Agustus 2020. Suasana kebatinan bangsa sedang mendua. Harus ada optimisme agar bangsa ini tidak nglokro pada satu sisi. Namun, pada sisi lain, ada perasaan gundah gulana disertai pertanyaan: kapan bangsa ini merdeka dari korona? Virus korona adalah kegundahan global. Bukan hanya Indonesia.
Membaca iklan di harian Kompas, 10 Agustus 2020, soal tahapan vaksin Merah Putih adalah harapan. Pertengahan tahun 2021, Lembaga Biologi Molekuler Eijkman berkolaborasi dengan sejumlah lembaga ditargetkan akan bisa memproduksi vaksin buatan dalam negeri. Ini membanggakan. Namanya saja sangat nasionalistis: vaksin Merah Putih. Tahapan itu perlu terus dikomunikasikan untuk tetap memelihara harapan.
Uji klinis vaksin kerja sama Sinovac-Bio Farma di Bandung, Jawa Barat, tentunya bukanlah sebuah pertunjukan politik. Akan tetapi ikhtiar mengomunikasikan harapan. Kedatangan Presiden Jokowi menyaksikan uji klinis terhadap sukarelawan tentunya harus dibaca sebagai dukungan politik Presiden bagi bangsa ini untuk memenangi perang melawan korona. Bio Farma pun siap meningkatkan kapasitas untuk memproduksi vaksin. Biarlah uji klinis berjalan sesuai dengan kaidah sains pengujian vaksin. Tidak perlu ada intervensi apa pun.
Di tengah-tengah keraguan akan uji klinis vaksin Sinovac-Bio Farma—berbahaya atau tidak berbahaya, halal atau haram, etis atau tidak etis—pimpinan memberi jawaban. Jawaban bukan dengan kata, melainkan tindakan.
Oleh karena itu, langkah Ketua Gugus Tugas Penanganan Covid-19 Letjen TNI Doni Monardo mendaftarkan diri sebagai sukarelawan uji klinis adalah sebuah jawaban. Konfirmasi keikutsertaan Doni sebagai sukarelawan uji klinis dibenarkan juru bicara pemerintah dalam penanganan Covid-19, Prof Wiku Adisasmito. Begitu pula dengan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil yang juga merelakan diri menjadi ”kelinci percobaan” uji klinis calon vaksin Sinovac.
Walk the talk menjadi karakter kepemimpinan di masa krisis. Bukan hanya retorika pidato dengan jargon yang tampak hebat tapi tak punya makna. Itu mengingatkan apa yang dikatakan Sutan Takdir Alisjahbana bahwa bahasa Indonesia dalam puisi ibarat, ”Kegirangan sahut-menyahut kicauan burung-burung di hutan”. Jargon dan retorika pidato tampak begitu hebat, tapi tak semua orang tahu maknanya. Ini soal kredibilitas.
Vaksin itu harapan. Harapan itu ada, meski ada juga ketidakpastian. Masih butuh waktu sampai harapan itu bisa jadi kenyataan.
Vaksin itu harapan. Harapan itu ada, meski ada juga ketidakpastian. Masih butuh waktu sampai harapan itu bisa jadi kenyataan. Sebelum harapan itu datang, sejumlah pekerjaan rumah membentang. Pekerjaan rumah paling besar dan paling utama adalah bagaimana mengendalikan penularan virus korona baru. Berjibaku lebih dari lima bulan sejak kasus positif Covid-19, pertama terkonfirmasi di Indonesia, 2 Maret 2020, bangsa ini seperti lelah. Namun, korona tidak pernah lelah dan terus mencari inang.
Virus korona tak mengenal batas teritorial atau zona merah atau hijau. Virus bisa melintasi zona-zona itu. Penyebutan zona-zona dikhawatirkan malah menimbulkan rasa aman palsu. Sejauh pergerakan manusia tak terkendali, virus korona akan sulit dikendalikan.
Penanganan korona harus didasarkan pada pertimbangan sains, bukan pertimbangan politis. Masalahnya, sepertinya terjadi salah pesan atau salah konteks. Banyaknya warga terkonfirmasi positif dianggap sebagai kelemahan pemimpin daerah. Padahal, banyaknya orang terkonfirmasi positif di sebuah wilayah bisa saja karena agresifnya testing yang dilakukan untuk melacak sebaran korona.
Jakarta bisa jadi contoh. Satu-satunya wilayah yang telah melampaui standar WHO untuk melakukan testing baru Jakarta. Jakarta berkontribusi 47 persen untuk tes PCR secara nasional. Dalam sepekan, Jakarta mengetes PCR 45.009 orang. Target WHO sepekan dilakukan tes minimal 10.000. Jumlah orang yang bisa dites di Jakarta 5.049 orang per hari.
Jakarta bisa jadi contoh. Satu-satunya wilayah yang telah melampaui standar WHO untuk melakukan testing baru Jakarta. Jakarta berkontribusi 47 persen untuk tes PCR secara nasional.
Dengan testing dan pelacakan yang agresif, di Jakarta ditemukan jumlah positif korona. Variabel lain yang harus dipertimbangkan ialah tingkat positivity dan tingkat kematian. Gubernur Jakarta Anies Baswedan saat berbincang secara daring dengan sejumlah pemimpin redaksi media massa mengatakan, ”Kemampuan tes Jakarta telah empat kali lipat dari standar WHO.”
Sambil menantikan datangnya vaksin, ketimpangan tes antara Jakarta dan luar Jakarta adalah pekerjaan rumah. ”Sudah menjadi kenyataan, ada ketimpangan fasilitas kesehatan antara Jakarta dan luar Jakarta atau Jawa dan luar Jawa,” ujar seorang pemimpin redaksi. Perlu ada kesamaan strategi agar bangsa ini bisa merdeka dari korona.
Dua jalur penanganan korona 3M dan 3T harus berjalan seimbang. Strategi 3M (memakai masker, mencuci tangan dengan sabun, dan menjaga jarak) haruslah jadi kesadaran bersama warga. Perlu ada penyadaran masif soal kesadaran bermasker, kesadaran mencuci tangan, dan kesadaran menjaga jarak.
Namun, pada sisi lain, menjadi tanggung jawab pemerintah untuk melaksanakan strategi 3T. Test, trace, dan treat. Meningkatkan kemampuan tes untuk membuat peta sebaran dan menemukan warga positif, melakukan pelacakan secara agresif, dan menangani warga yang positif apakah dirawat di fasilitas kesehatan atau isolasi mandiri.
Perlu ada penyadaran masif soal kesadaran bermasker, kesadaran mencuci tangan, dan kesadaran menjaga jarak.
Presiden Jokowi mengambil strategi mengendalikan Covid-19 dan memulihkan ekonomi. Untuk itu, Presiden mengubah organisasi dan membentuk Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional. Hampir semua komponen bangsa ada dalam komite. Ada menteri, ada wakil menteri, ada jenderal bintang empat, ada jenderal bintang tiga, ada jaksa, ada polisi, ada akademisi.
Terasa gemuk memang. Namun, dengan gaya kepemimpinan Erick Thohir yang luwes bergerak, diharapkan pengambilan keputusan komite bisa lebih cepat. Perlu sosok kredibel dan mampu mengatasi ego-ego personal. Kredibilitas inilah yang jadi persoalan. Komite diharapkan cepat mengatasi hukum besi birokrasi dalam penyerapan anggaran. Cepat dalam mendisiplinkan masyarakat. Cepat dalam meningkatkan kapasitas testing. Cepat dalam melacak warga yang kontak dengan warga terkonfirmasi positif Covid-19, serta meningkatkan fasilitas kesehatan secara nasional dan tentunya bisa segera menggerakkan perekonomian.
Aksi nyata dari komite dibutuhkan dan berpedoman pada prinsip: keselamatan warga adalah hukum tertinggi. Melindungi warga negara adalah amanat konstitusi yang harus dijalankan. Bangsa ini butuh lompatan besar. Akan tetapi bukan lompatan jumlah korban Covid-19. Soliditas organisasi dan kredibilitas jadi pekerjaan utama melawan Covid-19.