Motif Batik Larangan di Keraton Tak Lagi Sakral di Luar
›
Motif Batik Larangan di...
Iklan
Motif Batik Larangan di Keraton Tak Lagi Sakral di Luar
Tidak semua motif batik di lingkungan Keraton Yogyakarta dapat dipakai kapan pun. Sebaliknya, di luar keraton, motif-motif batik larangan tersebut justru digunakan dengan sembarangan.
Oleh
FAJAR RAMADHAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di lingkungan Keraton Yogyakarta, tidak semua motif batik dapat dipakai secara serampangan. Sebaliknya, di luar keraton, motif-motif batik larangan tersebut justru digunakan dengan sembarangan.
Menurut Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Bendara dari Keraton Kasultanan Ngayogjokarto, banyak motif batik yang menjadi larangan di dalam lingkungan keraton. Salah satunya adalah motif parang yang hanya boleh dipakai oleh kalangan tertentu di lingkungan keraton.
”Larangan ini dituliskan dalam sebuah pranatan pengageman atau tata cara pakaian oleh Sultan Hamengku Buwono I pada 1785 dan penerus-penerusnya,” kata GKR Bendara dalam acara Bincang Redaksi ”Batik Vorstenlanden: Kisah Batik dari Balik Empat Istana Penerus Mataram” oleh National Geographic Indonesia, Sabtu (15/8/2020).
Motif parang yang memiliki ukuran lebih dari 12 sentimeter hanya bisa dipakai oleh Ngarso Dalem atau Sultan Hamengku Buwono X. Sementara yang berukuran 10-12 sentimeter bisa digunakan oleh prameswari dalem atau putra mahkota.
Menurut GKR Bendara, motif ini kini sangat populer di kalangan masyarakat umum. Sayang, sangking populernya bahkan ada yang menggunakannya untuk sol sepatu. Ada juga yang menggunakan motif ini sebagai eksterior bangunan.
”Padahal, motif ini bukan motif yang sembarangan. Sebaiknya jika ingin menggunakan motif ini, perlu hati-hati. Banyak yang menggunakan motif ini dengan posisi miring,” tuturnya.
Selain motif parang, motif larangan lainnya misalnya motif huk yang berisi motif kerang, binatang, tumbuhan, burung, sayap, atau garuda. Di keraton, motif ini hanya boleh dipakai oleh raja dan putra mahkota.
Selanjutnya ada motif kawung yang dikenal lewat pola geometrisnya. Motif ini memiliki makna kesucian hati untuk kehidupan. Menurut GKR Bendara, motif ini banyak ditemukan pada relief-relief candi beberapa abad yang lalu.
”Motif kawung ini hanya boleh dipakai oleh Ngarso Dalem hingga sentana dalem,” ujarnya.
Motif larangan lainnya adalah motif semen yang memiliki makna kesuburan dan kemakmuran alam semesta. Di dalam lingkungan Keraton Yogyakarta, motif ini hanya bisa dipakai oleh kalangan sultan yang bertakhta hingga cucunya.
”Abdi dalem yang memiliki pangkat Bupati Nayoko juga bisa memakai motif ini,” kata GKR Bendara.
Larangan tentang penggunaan motif huk dan motif kawung tercantum dalam pranatan Sultan Hamengku Buwono VII. Adapun larangan motif semen tercantum dalam pranatan Sultan Hamengku Buwono VIII atau tahun 1927.
GKR Bendara mengatakan, momentum perkembangan batik di luar keraton terjadi pada era Sultan Hamengku Buwono VII. Bermunculan banyak motif batik hasil persilangan budaya, misalnya motif parang dengan naga atau parang dengan merak.
”Karena sebelum masa beliau, hanya putri dan istri raja yang diperkenankan untuk membatik,” ungkapnya.
Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Adipati (KGPHA) Dipokusumo dari Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat mengatakan, hingga saat ini, Keraton Kasunan Surakarta masih melestarikan batik peninggalan Sultan Agung Hadi Prabu Hanyakrakusuma. Batik tersebut antara lain batik kelengan hitam putih dan batik corak alas alasan.
”Corak batik ini hanya digunakan setahun sekali dalam acara tingalan jumenengan dalem atau hari penobatan raja,” ucapnya.
Dalam perjalanannya, lanjut KGPHA Dipokusumo, perkembangan motif batik mulai mengalami perubahan di masa Pakubuwono III. Saat itu, bermunculan motif-motif batik baru. Beberapa contoh yang paling terkenal adalah motif truntum dan motif parang untuk para raja.
”Motif truntum ini kemudian banyak digunakan oleh masyarakat sekarang untuk acara mantu atau perkawinan,” lanjutnya.
Di masa Pakubuwono VII, batik mulai diperkenalkan kepada masyarakat umum. Hal itu mendorong pemunculan produk-produk batik baru dengan berbagai motif. Termasuk motif persilangan budaya batik pesisiran dengan batik keraton.
Selanjutnya, di masa Pakubuwono X, batik mulai dikenalkan dalam setiap acara penting yang digelar di lingkungan keraton. Acara tersebut, misalnya, pertemuan antarkeluarga raja atau pertemuan dengan tamu asing.
”Yang paling fenomenal adalah batik motif ceplok Sriwedari yang dipakai saat meresmikan Taman Sriwedari,” katanya.
Di masa Pakubuwono XI, tepatnya saat pendudukan Jepang, motif-motif dalam batik sedikit dipengaruhi oleh corak-corak Jepang. ”Ada semacam titik-titik truntum yang dipadukan dengan motif lar, pengaruh dari motif khas Jepang,” ucapnya.
Menurut Dipokusumo, penggunaan motif batik kembali mengalami perubahan setelah medio 1975-1979, ketika batik mulai dikenalkan melalui acara-acara budaya nasional. Saat itu, motif-motif batik yang biasanya hanya dipakai pada upacara kerajaan mulai dipakai untuk taplak meja, sarung bantal, atau gorden. ”Bagi masyarakat yang mengerti tentang batik, itu adalah hal yang kurang tepat jika ditinjau dari segi makna dan filosofi,” ungkapnya.
Di era 1980-an, batik mendunia melalui penyelenggaraan KTT ASEAN di Bogor, Jawa Barat. Saat itu, para pemimpin dunia memakai batik dengan motif-motif kuno yang dipadukan dengan tren yang lebih kekinian.
Menurut Raden Ayu Niniek Partaningrat dari Puro Mangkunegaran Surakarta, setiap batik memiliki ciri khas pewarnaan yang berbeda. Untuk batik corak khas Mangkunegaran, warna yang dihasilkan adalah dari tumbuh-tumbuhan, getah, dan bunga.
”Kesan warnanya lebih muda. Kalau kuning, kuning keemasan. Pola juga kami pikirkan secara detail, jadi kalau dipakai bisa pas,” tuturnya.
Bahkan, dalam proses membatik, ibaratnya putri dan istri raja sedang melakukan meditasi. Sebelum membatik atau mewarnai batik, mereka harus berpuasa. ”Jadi, kalau motif dipakai untuk sarung bantal atau taplak meja, saya sangat sedih,” katanya.