Mudahnya Naik Kereta dengan Surat Sehat Tanpa Perlu Tes
›
Mudahnya Naik Kereta dengan...
Iklan
Mudahnya Naik Kereta dengan Surat Sehat Tanpa Perlu Tes
Dengan biaya sama seperti uji cepat Covid-19 di stasiun, yaitu Rp 85.000, calon penumpang bisa mendapatkan surat sehat tanpa perlu tes, apalagi antre panjang yang memakan waktu.
Oleh
Johanes Galuh Bimantara dan Laraswati Ariadne Anwar
·5 menit baca
Syarat punya bukti sehat dari Covid-19 atau gejala-gejalanya belum jadi jaminan perjalanan berkereta api lebih aman bagi para penumpang. Sebab, ada penumpang yang bisa mendapat bukti sehat tanpa pemeriksaan apa pun dan nyatanya tetap lolos pemeriksaan petugas. Datanglah ke sejumlah tukang ojek di seputar Stasiun Pasar Senen, Jakarta Pusat. Mereka tahu tempatnya.
Tidak perlu mencari mereka. Merekalah yang bakal mendatangi, seperti yang dialami Kompas pada Kamis (13/8/2020) siang. Berjalan melewati Monumen Perjuangan di Plaza Stasiun Pasar Senen, seseorang berjaket ojek daring menyapa.
”Pak, sudah tes kesehatan? Daripada ngantre, penuh,” ucapnya, yang mari kita namakan sebagai Ojek Satu.
Sesuai Surat Edaran Gugus Tugas (sekarang Satuan Tugas) Percepatan Penanganan Covid-19 Nomor 9 Tahun 2020, salah satu syarat bagi warga yang akan bepergian dengan kereta api adalah menunjukkan surat keterangan uji reaksi rantai polimerase (PCR) dengan hasil negatif atau surat keterangan uji cepat dengan hasil nonreaktif. Untuk memudahkan konsumennya, PT Kereta Api Indonesia (KAI) menyediakan tempat layanan uji cepat di 12 stasiun, termasuk di Pasar Senen.
Namun, dibandingkan dengan terjebak dalam antrean panjang untuk uji cepat di stasiun, Ojek Satu membujuk agar mengikuti dia ke dokter kenalannya. Ia menjamin tidak ada antrean panjang, bahkan tidak ada pemeriksaan kesehatan sama sekali, termasuk pengambilan sampel darah untuk uji cepat.
”Kalau di sini diambil darah, kalau yang ono enggak,” ujar Ojek Satu. Dengan harga sama, surat sehat tanpa disertai pengecekan oleh tenaga kesehatan sudah memenuhi syarat masuk kereta.
Untuk mengantar ke klinik tempat dokter kenalannya, Ojek Satu meminta imbalan Rp 40.000 sehingga total biaya yang mesti dikeluarkan Rp 125.000. Namun, setelah tawar-menawar singkat, ia setuju biaya antar Rp 35.000 agar jumlah menjadi bulat Rp 120.000.
Ojek Satu memandu berjalan kaki ke salah satu lapangan parkir. Di sana, ia berjumpa dengan rekannya sesama pengojek daring, tetapi mengenakan jaket dari aplikasi kompetitor. Rupanya, Ojek Satu mengoper Kompas untuk diantar rekannya itu, sebut saja Ojek Dua.
”Mau bawa? Rp 120.000,” tutur Ojek Satu lantang.
”Ya udah,” jawab Ojek Dua.
Selama dalam perjalanan, Ojek Dua kembali meyakinkan keunggulan klinik yang dituju dibanding tempat uji cepat Covid-19 di Stasiun Pasar Senen. Ia mengulangi lagi yang sudah disampaikan Ojek Satu. Selain tidak ada antrean, surat sehat bisa didapatkan tanpa perlu merelakan jari ditusuk jarum untuk pengambilan sampel darah.
”Enggak, cuma ditembak,” kata Ojek Dua. Ia merujuk pada pengukuran suhu menggunakan pistol termometer (thermo gun).
Hanya butuh tiga menit berkendara dengan sepeda motor dari Stasiun Pasar Senen untuk mencapai klinik yang dituju. Di halaman klinik, sudah ada dua pengojek menanti di atas sepeda motor, pertanda di dalam sedang ada konsumen surat sehat lainnya.
Di dalam, staf klinik langsung tahu yang dibutuhkan. ”Surat sehat, Pak? KTP (kartu tanda penduduk) ada?” tanya salah satunya.
Setelah KTP dipinjamkan, anggota staf tersebut bertanya apa pekerjaan serta berapa tinggi dan berat badan. Setelah itu, ia mengukur suhu tubuh, persis yang disampaikan Ojek Dua. Kasir kemudian meminta pembayaran 85.000 dan menyerahkan surat sehat yang dibutuhkan. Seluruh proses itu hanya memakan waktu kurang dari empat menit.
Staf menanyakan pekerjaan, tinggi dan berat badan, lalu mengukur suhu. Kasir meminta pembayaran Rp 85.000 dan surat sehat pun jadi dalam waktu kurang dari empat menit.
Ojek Dua lantas mengantar kembali ke area parkir tempat awal berjumpa tadi. Karena dengan Ojek Satu sudah disepakati total biaya Rp 120.000, ia menerima uang Rp 35.000.
Di dalam surat keterangan dari klinik, tidak ada keterangan nonreaktif ataupun negatif untuk meyakinkan bebas Covid-19. Yang ada hanya keterangan telah diperiksa kesehatannya dengan hasil sehat dan surat keterangan ini diberikan untuk naik kereta api.
Menurut SE Gugus Tugas 9/2020, penumpang kereta api memang boleh menggunakan surat keterangan bebas gejala mirip influenza yang dikeluarkan dokter rumah sakit atau puskesmas. Namun, itu hanya berlaku bagi daerah yang tidak memiliki fasilitas tes PCR ataupun uji cepat. Tidak realistis jika kelonggaran itu berlaku di Ibu Kota.
Selain itu, pada surat tercantum juga tekanan darah dengan angka normal, 120/80 mmHg (milimeter air raksa). Padahal, sama sekali tidak ada pemeriksaan dengan tensimeter.
Lantas, apakah surat itu bisa digunakan untuk masuk kereta? Seorang penumpang tujuan Semarang, Jawa Tengah, membuktikannya. Surat keterangan sehat dari klinik tadi dicek satu kali oleh petugas keamanan di Stasiun Pasar Senen. Selanjutnya, ia bisa masuk peron lanjut ke kereta.
”Aman terkendali. Ini sudah di dalam kereta,” ujar pria 49 tahun yang meminta disapa Bogie itu saat dihubungi Kamis sore.
Mengakses klinik tanpa tes kesehatan jadi pilihan Bogie karena begitu panjangnya antrean di fasilitas uji cepat Stasiun Pasar Senen. ”Saya tanya (kepada petugas), kalau tiket saya pukul 16.00, apakah nyampe dengan antrean itu. Katanya, enggak bakalan nyampe karena antrean sudah 100 sekian,” ujarnya.
Bogie lantas bertanya kepada petugas di tempat pengujian cepat terkait jalan lain agar bisa segera memiliki bukti sehat. Petugas pun mengarahkannya untuk ke klinik lain. Ia pun dianjurkan bertanya kepada tukang ojek di sekitar stasiun.
Bogie sadar ia bisa berkereta dengan surat keterangan sehat tipuan. Namun, ini bagi dia membuktikan, syarat adanya hasil tes PCR atau uji cepat tidak efektif dan malah membuka peluang bisnis bagi klinik-klinik nakal.
Sebelumnya, anggota Ombudsman RI, Alvin Lie, sudah menyoroti kondisi tersebut. ”Tarif tesnya tidak masuk akal. Apalagi, sekarang banyak tawaran uji tes cepat yang berpotensi bisnis,” katanya.
Potensi bisnis itu berkaca dari tempat-tempat uji cepat yang tidak sesuai standar dalam memberikan pelayanan. Misalnya, petugas pengambil sampel hanya mengenakan masker dan sarung tangan tanpa alat pelindung diri standar (Kompas.id, 7/7/2020).
Kepala Humas PT Kereta Api Indonesia Daerah Operasional I Eva Chairunnisa mengucapkan terima kasih bahwa wartawan melakukan investigasi terkait adanya calo surat keterangan sehat. Meskipun begitu, menurut dia, tidak banyak yang bisa dilakukan oleh PT KAI karena para calo ini berlokasi di luar stasiun kereta api. Misalnya, para tukang ojek yang mangkal di luar pagar stasiun.
"Oleh sebab itu, kemungkinan kami akan menjajaki kerjasama dengan aparat wilayah seperti polisi, puskesmas, dan kantor-kantor pemerintahan di sekitar stasiun," tuturnya. Mereka nanti bisa melakukan penyisiran untuk mencari para calo beserta tempat operasinya.
Menurut Eva, petugas PT KAI memang tidak bisa memastikan keabsahan surat keterangan sehat atau bebas Covid-19 secara satu-persatu karena tidak ada sumber daya manusia dan membutuhkan waktu yang lama. Persyaratan calon penumpang membawa surat keterangan sehat itu sepenuhnya dilandasi saling mempercayai.
"Kami tidak meminta surat itu karena ingin merepotkan calon penumpang, tetapi sebagai tanggung jawab masing-masing untuk menjaga kesehatan dirinya dan orang lain," ujarnya.