Hanya beberapa menit setelah Harris diumumkan sebagai calon wapres dari Partai Demokrat, Trump menyatakan sangat terperanjat. Retorika dengan bias jender itu juga pernah dilontarkan Trump kepada Hillary Clinton.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Penetapan Kamala Harris sebagai calon wakil presiden dari Partai Demokrat menjadi perbincangan luas di bawah bayangan prasangka rasialis dan jender.
Presiden Donald Trump dari Partai Republik, yang ingin terpilih lagi pada pemilu AS 3 November 2020, dengan sengaja mengaduk-aduk lagi sentimen rasialis dan jender agar dapat mengail di air keruh seolah tanpa mempertimbangkan dampaknya bagi bangsa AS yang majemuk.
Secara sosiologis, posisi Harris, mantan Jaksa Agung Negara Bagian California dan kini senator, terperangkap dalam kepungan prasangka primordial karena latar belakangnya sebagai keturunan imigran Asia-Afrika dan terlahir sebagai perempuan berusia 55 tahun ini. Ibunya berasal dari India, sementara ayah dari Jamaika.
Sudah hampir pasti Trump dan kubunya akan menjadikan Harris sebagai bulan-bulanan. Sebaliknya, calon presiden Joe Biden dari Partai Demokrat melambungkan sosok Harris untuk kepentingan persatuan dan keutuhan bangsa AS yang terancam retak oleh prasangka rasialis di balik gelombang kerusuhan sejak kematian George Floyd, Mei lalu.
Sesungguhnya bangsa AS sudah semakin menjauhi praktik diskriminasi berdasarkan ras dan jender. Seiring dengan menguatnya budaya demokrasi dan perlindungan hak asasi, keturunan kulit hitam seperti Barack Obama sudah bisa terpilih menjadi presiden. Diskriminasi berbasis jender juga terkikis dalam memperebutkan posisi puncak kekuasaan.
Terlepas dari persoalan perempuan kulit berwarna pertama yang ditetapkan menjadi wakil presiden, pencalonan Harris sudah ada presedennya. Sebelumnya perempuan politisi seperti Sarah Palin menjadi calon wakil presiden dari Partai Republik pada pemilihan tahun 2008. Bahkan, pada pemilu 2016, Hillary Clinton tampil sebagai calon presiden dari Partai Demokrat menantang Trump dari Partai Republik.
Namun, langkah mundur terjadi sejak Trump tampil berkuasa. Segera terbayang dinamika politik AS sekitar tiga bulan ke depan. Hanya beberapa menit setelah Harris diumumkan sebagai calon wapres dari Partai Demokrat, Trump menyatakan sangat terperanjat dan menyatakan Harris ”sangat menjijikkan dan sungguh mengerikan”, tanpa penjelasan.
Seiring dengan menguatnya budaya demokrasi dan perlindungan hak asasi, keturunan kulit hitam seperti Barack Obama sudah bisa terpilih menjadi presiden.
Retorika dengan bias jender itu juga pernah dilontarkan Trump kepada Hillary Clinton dalam pemilihan presiden tahun 2016. Serangan terhadap Harris tampaknya akan lebih keras lagi. Harris bahkan dianggap radikal, yang dapat mendorong Biden yang demokrat ke ekstrem kiri, dan berpotensi mengambil kekuasaan karena Biden sudah berusia 77 tahun.
Sudah muncul kekhawatiran, keretakan sosial akan lebih buruk jika Trump tetap mengeksploitasi sentimen primordial di tengah kegusaran publik atas perlakuan tidak adil atas kematian Floyd. Tantangan yang dihadapi Trump tidak kecil di tengah frustrasi masyarakat menghadapi pandemi Covid-19, kelesuan ekonomi, dan gelombang protes atas kematian Floyd. Namun, siapa yang menyangka Trump dapat memenangi pemilihan presiden tahun 2016?