Petani Merugi, Pengelolaan Sawit Rakyat Belum Optimal
›
Petani Merugi, Pengelolaan...
Iklan
Petani Merugi, Pengelolaan Sawit Rakyat Belum Optimal
Kondisi petani yang kerap merugi membuat pengelolaan perkebunan kelapa sawit rakyat dan berkelanjutan belum berjalan optimal. Karena itu, tata kelola perkebunan kelapa sawit perlu dibenahi.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Implementasi kebijakan pemerintah dalam memperbaiki tata kelola sawit dinilai belum optimal. Akibatnya, pengembangan perkebunan kelapa sawit yang dikelola rakyat secara berkelanjutan tidak berjalan dengan baik. Petani pun kerap mengalami kerugian.
Peneliti di Yayasan Madani Berkelanjutan, Anggalia Putri, dalam diskusi daring bertajuk ”Sawit Rakyat: Permasalahan dan Tantangan Menuju Berkelanjutan”, Sabtu (15/8/2020), di Jakarta, menyampaikan, peran sawit rakyat sangat strategis atau vital dalam industri sawit di Indonesia.
Berdasarkan data Perkebunan Sawit dari Kementerian Pertanian, laju pertumbuhan luas tanam sawit rakyat di sejumlah daerah cukup tinggi tiap tahun. Sumatera Utara menjadi daerah dengan laju pertumbuhan tertinggi 9,08 persen atau 39.900 hektar (ha) per tahun pada 2014-2018. Laju pertumbuhan juga tercatat di Riau (35.700 ha per tahun), Sumatera Selatan (32.900 ha per tahun), Jambi (30.000 ha per tahun), dan Kalimantan Barat (16.400 ha per tahun).
Meski demikian, laju pertumbuhan luas tanam sawit rakyat yang signifikan ini tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan petani. Dari data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai tukar petani perkebunan rakyat di lima provinsi itu masih sering di bawah angka 100. Artinya, petani kerap mengalami kerugian.
Berkaca dari kondisi tersebut, Anggalia menegaskan, posisi sawit rakyat di Indonesia masih lemah. Hal ini tidak terlepas dari rendahnya harga tandan buah segar (TBS) yang diterima petani, khususnya petani swadaya.
”Sawit rakyat masih lemah karena akses ke sarana produksi. Terkadang petani terdesak ke lahan marjinal, seperti kawasan hutan, karena lahan lain sudah dikuasai perusahaan. Akses rantai pasoknya juga panjang dan banyak perantara,” ujarnya.
Moratorium sawit
Saat ini pemerintah melalui Kantor Staf Presiden mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk membenahi tata kelola sawit. Beberapa kebijakan itu meliputi, antara lain, moratorium sawit dan Rencana Aksi Nasional Kelapa Sawit Berkelanjutan (RAN-KSB), penghimpunan dana kelapa sawit, reforma agraria, penyelesaian tanah dalam kawasan hutan, restorasi gambut, dan melaksanakan kajian lingkungan hidup strategis.
Namun, menurut Anggalia, praktik di lapangan menunjukkan kebijakan itu lambat direalisasikan dan belum dijalankan dengan baik. Selain itu, laporan moratorium sawit dan RAN-KSB serta kebijakan lainnya belum dibuka secara luas ke publik.
”Hal terpenting yang perlu dilakukan dari dasar meliputi pemetaan dan pendataan petani menuju legalitas. Jadi penguatan peran pemerintah daerah amat besar, mulai dari implementasi moratorium sawit hingga pendataan,” katanya.
Sawit rakyat masih lemah karena akses ke sarana produksi. Terkadang, petani terdesak ke lahan marjinal, seperti kawasan hutan, karena lahan lain sudah dikuasai perusahaan.
Sonny Mumbunan, peneliti dari Pusat Penelitian untuk Perubahan Iklim (RCCC) Universitas Indonesia, menambahkan, sawit berkelanjutan belum didukung secara optimal dari sisi kebijakan oleh pemerintah.
Menurut Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Jambi Agusrizal, dalam mengembangkan sawit rakyat, pihaknya mendorong petani memiliki kelembagaan agar bisa memperkuat kerja sama antara sesama petani dan pihak lain. ”Kami mendorong agar pabrik petani bermitra dengan swata. Khusus bagi petani kecil yang tidak mampu, kami menyediakan bibit bersubsidi,” ujarnya.