Tenaga kesehatan berada di garis terdepan dalam penanganan pasien Covid-19. Agar tidak tertular penyakit itu, mereka diprioritaskan dalam pemberian vaksin jika hasil uji klinis calon vaksin tersebut berhasil.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS—Uji klinis fase ketiga calon vaksin Covid-19 yang dikembangkan oleh Sinovac, China di Bandung, Jawa Barat, menjadi harapan baru bagi masyarakat. Meski begitu, ketika sudah tersedia, vaksin ini tidak bisa langsung memenuhi kebutuhan seluruh penduduk di Indonesia. Pendistribusian vaksin pun akan diprioritaskan pada tenaga medis.
Manajer Senior Integrasi Riset dan Pengembangan PT Bio Farma, Neni Nurainy menuturkan, vaksin bisa efektif memberikan kekebalan kelompok atau herd immunity jika bisa menjangkau 70 persen dari populasi. Artinya, sekitar 170 juta penduduk Indonesia harus mendapatkan vaksin untuk menangkal Covid-19 atau penyakit yang disebabkan virus korona baru. Dengan kapasitas produksi terbatas, kebutuhan itu baru bisa dipenuhi secara bertahap.
“Ketika kita sudah dapat memproduksi vaksin, mungkin hanya beberapa puluh juta orang yang bisa kita targetkan. Untuk itu harus ada prioritas dalam pemberian vaksin. Berdasarkan kajian dari Kementerian Kesehatan, kita targetkan pada rekan-rekan yang menjadi frontliner (garis terdepan), khususnya tenaga medis,” ujarnya dalam pertemuan virtual yang diikuti dari Jakarta, Jumat (14/8/2020).
Uji klinis fase ketiga calon vaksin Covid-19 mulai dilakukan di Kota Bandung pada 11 Agustus 2020. Calon vaksin ini buatan perusahaan farmasi asal China, Sinovac Biotech yang dikerjasamakan dengan PT Bio Farma dan Universitas Padjajaran Bandung. Targetnya, vaksin ini bisa diproduksi pada awal 2021.
Ketika kita sudah dapat memproduksi vaksin, mungkin hanya beberapa puluh juta orang yang bisa kita targetkan. Untuk itu harus ada prioritas dalam pemberian vaksin.
Selain di Indonesia, uji klinis fase tiga pada calon vaksin buatan Sinovac ini juga dilakukan di Bangladesh, Turki, Chili, dan Brasil. Di Indoenesia, pengujian diakukan dengan melibatkan 1.620 sukarelawan berusia 18-59 tahun. Sukarelawan akan dibagi menjadi dua kelompok, yakni kelompok yang diberikan vaksin serta kelompok dengan obat kosong (placebo). Pemberian vaksin akan dilakukan sebanyak dua kali dengan selang waktu 14 hari.
Neni menambahkan, selain vaksin yang dikerjasamakan dengan Sinovac, Bio Farma juga menjalin kemitraan dengan Koalisi Inovasi untuk Kesiapsiagaan Epidemi (CEPI) yang berpusat di Norwegia terkait riset vaksin Covid-19. Untuk jangka panjang, penelitian vaksin juga dilakukan di dalam negeri melalui konsorsium riset dan inovasi Covid-19.
Calon vaksin Covid-19 yang diberi nama vaksin merah putih itu akan mulai dikembangkan lebih lanjut oleh Bio Farma awal tahun 2021. Jika sudah mengantongi izin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), vaksin baru bisa diproduksi pada 2022. Saat ini, pengembangan riset calon vaksin dilakukan Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Kementerian Riset dan Teknologi.
“Kolaborasi dengan berbagai pihak harus dilakukan untuk mempercepat pemenuhan kebutuhan vaksin dalam pengendalian Covid-19. Kita juga perlu mengembangkan vaksin buatan dalam negeri agar kebutuhan penduduk Indonesia terpenuhi,” ucap Neni.
Data Satuan Tugas Penanganan Covid-19 per 14 Agustus 2020 menunjukkan, sebanyak 2.307 kasus baru yang terkonfirmasi positif Covid-19. Sementara, jumlah orang yang diperiksa pada hari yang sama sebanyak 12.728 orang. Dari penambahan kasus tersebut, total kasus Covid-19 di Indonesia menjadi 135.123 kasus dengan 89.618 orang yang sembuh dan 6.021 orang meninggal.
Manajer Peneliti Biomulekular Australian National University yang juga Direktur Utama Lipotek Australia, Ines Atmosukarto menuturkan, jumlah penularan yang masih terus bertambah di seluruh dunia membuat kebutuhan vaksin Covid-19 semakin mendesak. Meski demikian, sejumlah prosedur wajib dilakukan untuk memastikan keamanan dan keselamatan masyarakat.
Dalam kondisi umumnya, proses pengembangan vaksin membutuhkan waktu hingga belasan tahun. Namun, pada situasi darurat seperti pandemi saat ini, waktu pengembangan vaksin harus dipercepat. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memberikan relaksasi pada proses pengujian, namun tetap memenuhi kaidah yakni perlu melalui preklinis, uji klinis tahap pertama, kedua, dan ketiga. Jika terbukti aman, vaksni baru bisa diregistrasi dan diproduksi secara massal.
“Pengembangan vaksin harus tetap memenuhi kaidah yang berlaku sehingga tidak bisa baru pada fase pertama langsung diberikan ke masyarakat. Ini diperlukan untuk menjaga keselamatan orang yang diberi vaksin. Apalagi, vaksin diberikan untuk orang sehat karena sebagai pencegahan,” kata Ines.
Mengutip data yang dimuat The New York Times, Rabu (21/8), setidaknya 176 vaksin Covid-19 dikembangkan. Sebanyak dua vaksin disetujui dengan penggunaan terbatas, delapan vaksin dalam tahap uji klinis fase ketiga, 11 vaksin pada uji klinis fase kedua, 20 vaksin pada uji klinis tahap pertama, dan sisanya masih dalam tahap preklinis.
Pencegahan
Konsultan Independen Genetika Molekuler, Ahmad Rusdan Handoyo Utomo berpendapat, vaksin berperan penting memutus rantai penularan Covid-19. Namun, pengendalian pandemi ini tidak bisa hanya menanti vaksin itu diproduksi. Berbagai upaya pencegan dan pengendalian harus tetap dilakukan secara ketat. Apalagi, vaksin ini tidak bisa langsung memenuhi kebutuhan seluruh penduduk.
“Konsep 3T plus 3M minus 3K harus dipastikan berjalan bersamaan. Tiga T artinya tracing (pelacakan), test (pemeriksaan), dan treatment (penanganan). Kemudian 3M artinya menggunakan masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir. Itu semua dilakukan dengan mencegah adanya 3K yakni kerumunan, kontak dekat, dan kamar atau ruangan tertutup dengan ventilasi buruk,” tuturnya.