RAPBN/Nota Keuangan ”Rasa Pandemi”
Makin lama kita keluar dari krisis ini, semakin besar kerusakan yang diakibatkannya pada sendi-sendi perekonomian. Hal ini tak hanya pertaruhan Presiden Jokowi dan pemerintahannya, tetapi juga pertaruhan kita semua.
Profil RAPBN 2021 yang disampaikan Presiden Joko Widodo dalam pidato pengantar RAPBN 2021/Nota Keuangan di Gedung DPR/MPR, Jumat (14/8/2020), menunjukkan fokus pemerintah ke depan masih pada upaya penanganan pandemi Covid-19 dan percepatan pemulihan ekonomi.
Nuansa RAPBN 2021 juga masih diwarnai tingginya ketidakpastian terkait ekonomi global dan domestik di 2021. Meski demikian, paparan pengantar RAPBN 2021/Nota Keuangan ini memberi optimisme akan perekonomian Indonesia.
Pidato Presiden pada pengantar RAPBN 2021/Nota Keuangan dan pidato pagi harinya di depan Sidang Tahunan MPR, yang mengajak segala komponen bangsa ”membajak” momentum pandemi untuk membuat lompatan besar kemajuan, direspons positif oleh pasar. Hal ini terlihat dari penguatan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia, Jumat, meski akhirnya IHSG ditutup melemah akibat faktor lain.
RAPBN menetapkan asumsi dasar makro pertumbuhan ekonomi Indonesia 4,5-5,5 persen pada 2021. Suatu angka yang sangat optimistis, mengingat belum jinaknya pandemi secara global dan angka peningkatan kasus yang masih tinggi di dalam negeri.
Namun, dibandingkan dengan prediksi beberapa lembaga, seperti Dana Moneter Internasional (IMF) yang memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia 6,1 persen (direvisi dari 8 persen) pada 2021, angka itu bisa dikatakan sangat konservatif. Artinya, pertumbuhan bisa lebih tinggi lagi jika, misalnya, perekonomian dunia pulih lebih cepat. Sangat terasa spirit optimisme yang ingin dibangun pemerintah, sementara pada saat yang sama mengingatkan perlunya sense of crisis menghadapi pandemi.
Adapun inflasi diproyeksikan di angka 3 persen. Untuk nilai tukar rupiah, asumsi dipatok Rp 14.600 per dollar AS dan suku bunga SBN 10 tahun 7,29 persen. Harga minyak mentah Indonesia (ICP) 45 dollar AS per barel. Adapun lifting minyak serta gas bumi 705.000 barel per hari dan 1.007.000 barel setara minyak per hari.
Rentang pertumbuhan 4,5-5,5 persen itu ditetapkan berdasarkan skenario berat dan sangat berat pemerintah. Proyeksi itu menunjukkan pemulihan cepat perekonomian Indonesia dari kontraksi akibat pandemi, setelah perekonomian diperkirakan sulit menghindar dari resesi di triwulan III-2020, menyusul pertumbuhan minus 5,32 di triwulan II. Dalam prediksi IMF, Indonesia disebut akan menjadi perekonomian kedua yang pulih paling cepat setelah China.
Tingkat ketergantungan terhadap ekspor, keterlibatan dalam rantai pasok global, dan sektor pariwisata yang tak sebesar negara-negara tetangga membuat dampak resesi global yang dirasakan Indonesia tak separah negara-negara itu.
Pemulihan ekonomi
RAPBN 2021 mengalokasikan Rp 356,5 triliun bagi pemulihan ekonomi, antara lain untuk penanganan kesehatan Rp 25,4 triliun dan perlindungan sosial Rp 110,2 triliun.
Pengembangan infrastruktur digital juga mendapat prioritas penting dalam RAPBN 2021. Penurunan alokasi anggaran untuk pemulihan ekonomi yang turun tajam dibandingkan dengan tahun 2020 yang sebesar Rp 695,2 triliun dibarengi penurunan proyeksi defisit APBN.
Urgensi mengantisipasi tingginya ketidakpastian tak tergambar pada besaran alokasi anggaran dan defisit yang lebih kecil dibandingkan dengan tahun sebelumnya ini. Relaksasi defisit di atas 3 persen sudah diperkirakan. Defisit 5,5 persen pada 2021 di satu sisi menunjukkan masih dibutuhkan ruang fiskal yang besar untuk penanganan Covid-19 dan mendorong pemulihan ekonomi.
Namun, defisit yang menurun ketimbang 2020 yang 6,34 persen juga menunjukkan keyakinan akan pemulihan ekonomi yang mulai berjalan di 2021. Pemerintah berjanji mengurangi defisit menjadi di bawah 3 persen dari produk domestik bruto (PDB) mulai 2023.
Dalam prediksi IMF, Indonesia disebut akan menjadi perekonomian kedua yang pulih paling cepat setelah China.
Langkah menurunkan defisit yang terlalu cepat ini bisa prematur, terutama dengan melihat tren global penyebaran dan peningkatan kasus Covid-19 di banyak negara yang belum menunjukkan akan segera berakhir. Perkembangan calon vaksin dan uji coba vaksin memang memberi harapan, tetapi dibutuhkan waktu untuk benar-benar bisa diterapkan.
Alokasi anggaran pemulihan ekonomi yang menciut dikhawatirkan tak mampu menutup kebutuhan anggaran untuk perlindungan sosial dan mendorong sisi permintaan guna menggerakkan ekonomi domestik. Banyak orang miskin baru, terutama korban PHK, yang diperkirakan belum terdeteksi dalam program bansos dan jaring pengaman sosial.
RAPBN 2021 sudah menggambarkan upaya pemerintah menjaga keseimbangan antara menyelesaikan krisis kesehatan terkait pandemi dan krisis ekonomi, serta pada saat yang sama tetap mendorong agenda Visi Indonesia 2045, yakni Indonesia menjadi negara maju di 2045.
Baca juga: Pemerintah Benahi Strategi Hadapi Pandemi
Namun, semua proyeksi itu masih tak pasti dan sangat bergantung pada pemenuhan asumsi dan prasyarat dasar yang ditetapkan.
Lonjakan kasus Covid-19 dan gelombang baru pandemi yang masih terjadi di banyak negara membuat prospek pemulihan ekonomi global diperkirakan berjalan lambat. Di dalam negeri, ketidakpastian menyangkut eksekusi program-program pemulihan ekonomi dan pengendalian penyebaran Covid-19 bisa menjadi ancaman utama atas realisasi dari target-target RAPBN.
Pengalaman lima bulan terakhir melawan Covid-19 menunjukkan mendesaknya reformasi fundamental dan struktural cara kita bekerja, sebagaimana ditekankan Presiden. Tampak pula pentingnya sense of crisis semua pihak, kecepatan, dan efektivitas birokrasi dalam bertindak, juga kedisiplinan serta ketertiban masyarakat mematuhi protokol kesehatan.
Lonjakan kasus Covid-19 dan gelombang baru pandemi yang masih terjadi di banyak negara membuat prospek pemulihan ekonomi global diperkirakan berjalan lambat.
Melalui instrumen belanja APBN, dituntut kehadiran negara untuk menyelamatkan rakyat dari ancaman krisis kesehatan, krisis ekonomi, dan krisis kesejahteraan akibat pandemi lewat upaya-upaya luar biasa (extraordinary). UU Nomor 2 Tahun 2020 yang memungkinkan relaksasi defisit APBN menjadi di atas 3 persen dari PDB selama tiga tahun ke depan memberi ruang kewenangan untuk melakukannya.
Semakin lama kita keluar dari krisis ini semakin besar kerusakan yang diakibatkannya pada sendi-sendi perekonomian. Hal ini tak hanya pertaruhan Jokowi dan pemerintahannya, tetapi juga pertaruhan kita semua.