Tersangka Kasus Joko Tjandra Bertambah
Usai ditangkap, Joko Tjandra tak cuma dieksekusi 2 tahun penjara. Polri kini tetapkan Joko tersangka kasus pembuatan dan penggunaan surat jalan, keterangan kesehatan palsu, melarikan diri dan hapuskan red notice.
Bareskrim Polri tak hanya mengembangkan kasus Joko Tjandra, tetapi juga menambah jumlah tersangkanya. Keterlibatan KPK diharapkan serius.
JAKARTA, KOMPAS - Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara Republik Indonesia berdasarkan hasil gelar perkara yang dilakukan sejak beberapa hari lalu, hingga Jumat (14/8/2020), akhirnya menambah jumlah tersangka terkait kasus terpidana hak tagih atau cessie Bank Bali, Joko Soegiarto Tjandra.
Untuk kasus pembuatan dan penggunaan surat jalan dan surat keterangan kesehatan palsu atas nama institusi Polri serta membantu orang yang ditahan melarikan diri, penyidik Bareskrim Polri menetapkan JST sebagai tersangka. Sebelumnya, Bareskrim sudah menetapkan PU dan ADK sebagai tersangka.
Baca Juga: Kasus Lain Menanti Joko Tjandra
Selain JST, Polri juga menetapkan empat tersangka lagi dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi penghapusan red notice Joko Tjandra. Dua tersangka dari pihak pemberi dugaan suap ialah JST dan TS. Sementara tersangka dari pihak penerima adalah PU dan NB. Dalam kasus dugaan suap tersebut, terdapat uang sebesar 20.000 dollar Amerika Serikat yang dijadikan barang bukti.
”Pada tahun 2008-2009 ada informasi yang nanti akan kami dalami bersama-sama terkait dugaan terjadinya penyalahgunaan wewenang pada saat itu (saat Joko Tjandra diadili dan melarikan diri ke luar negeri). Selanjutnya kami akan terus bekerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam bentuk supervisi dan koordinasi sebagai bentuk transparansi kami kepada publik”
Dalam keterangan pers kemarin, Kepala Bareskrim Polri Komisaris Jenderal Listyo Sigit Prabowo juga mengungkapkan periodisasi penyidikan peristiwa terkait Joko Tjandra yang dibagi menjadi tiga kluster berdasarkan periode waktu. Kluster pertama kasus Joko Tjandra terjadi pada periode 2008-2009.
”Pada tahun 2008-2009 ada informasi yang nanti akan kami dalami bersama-sama terkait dugaan terjadinya penyalahgunaan wewenang pada saat itu (saat Joko Tjandra diadili dan melarikan diri ke luar negeri). Selanjutnya kami akan terus bekerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam bentuk supervisi dan koordinasi sebagai bentuk transparansi kami kepada publik,” kata Listyo.
Kluster kedua adalah kluster yang terjadi pada akhir 2019 terkait adanya pertemuan antara Joko Tjandra dengan P dan ADK untuk pengurusan kasus peninjauan kembali (PK). Untuk kasus di kluster kedua, ujar Listyo, kini ditangani Kejaksaan Agung.
Sementara kluster ketiga terkait kasus pembuatan dan penggunaan surat jalan palsu, kasus dugaan tindak pidana korupsi untuk penghapusan red notice tetap ditangani oleh Bareskrim Polri.
Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Raden Prabowo Argo Yuwono menambahkan, untuk kasus dugaan tipikor terkait penghapusan red notice, tersangka dari pihak pemberi akan dijerat dengan Pasal 5 Ayat 1, kemudian Pasal 13 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Adapun untuk pihak penerima akan dijerat dengan Pasal 5 Ayat 2, Pasal 11, dan Pasal 12 Huruf a dan b UU Nomor 20 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 kuhp. Ancaman hukumannya 5 tahun penjara.
JST sendiri, dalam kasus pembuatan dan penggunaan surat jalan palsu, akan dijerat dengan Pasal 263 ayat 1 dan 2, Pasal 426, dan Pasal 221 KUHP dengan ancaman 5 tahun penjara. “Misalkan kita memerlukan saksi dari instansi lain, Polri akan kita minta keterangan jika diperlukan,” jelas Argo.
Terkait dengan penetapan Joko Tjandra sebagai tersangka dalam kasus dugaan pembuatan dan penggunaan surat jalan, surat keterangan kesehatan palsu atas nama insitusi Polri, serta membantu orang yang ditahan melarikan diri dan penghapusan red notice, kuasa hukum Joko Tjandra, Otto Hasibuan, mengatakan, pihaknya belum mendapat informasi atau pemberitahuan tentang penetapan Joko Tjandra sebagai tersangka. Sehari sebelumnya, tambah Otto, ketika bertemu dengan Joko Tjandra pun, dia juga tidak ada kabar mengenai penetapan tersangka kasusnya.
Gandeng KPK
Lebih jauh, Listyo juga menambahkan, Bareskrim Polri akan mengembangkan kasus terkait Joko Tjandra dengan menggandeng KPK.
Saat dihubungi, Deputi Penindakan KPK Karyoto mengatakan, pihaknya menilai penyidikan di Bareskrim telah berada di jalur yang benar dan berkomitmen untuk memberikan fasilitas perbantuan maupun dalam hal rekonstruksi. Selain itu, KPK juga akan membuka kerja sama untuk mengembangkan kasus Joko Tjandra yang terjadi di masa lalu.
“Demikian juga dengan Kejaksaan, kami akan tetap memonitor karena sesuai kewenangan kami untuk berkoordinasi dan melakukan supervisi,” kata Karyoto.
“Bahkan KPK harus bisa memberi tenggat waktu kepada penyidik Bareskrim untuk segera menuntaskan kasus ini.Jika tidak KPK bisa ambil alih kasus ini”
Peneliti dari Indonesia Corruption Watch Kurnia Ramadhana mengatakan, kehadiran KPK mensupervisi kasus tipikor di Bareskrim Polri diharapkan dilakukan dengan sungguh-sungguh. Hal itu dapat diukur dari kecepatan menangani kasus tersebut ke depan. “Bahkan KPK harus bisa memberi tenggat waktu kepada penyidik Bareskrim untuk segera menuntaskan kasus ini.Jika tidak KPK bisa ambil alih kasus ini,” ujar Kurnia.
Baca Juga: KPK Bisa Ikut Periksa Joko Tjandra jika Ada Suap
Direktur Pusat Kajian Anti-Korupsi Universitas Gadjah Mada Oce Madril mengatakan, pelibatan KPK akan meningkatkan akuntabilitas Polri. Namun, diharapkan supervisi KPK tak hanya sekadar formalitas atau hanya sekadar melihat saja, melainkan harus memberi masukan untuk pengembangan kasus tersebut.
Menurut Oce, supervisi KPK menjadi penting jika Bareskrim Polri benar-benar ingin mengembangkan kasus ini ke dugaan penyalahgunaan wewenang yang terjadi pada 2008-2009.