Kita berada dalam kondisi tidak biasa di masa pandemi Covid-19. Oleh karena itu, kebijakan dan langkah-langkah yang dilakukan juga mesti luar biasa.
Oleh
Enny Sri Hartati, Peneliti Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef)
·5 menit baca
Sampai dengan triwulan II-2020, setidaknya lebih dari 20 negara telah memasuki resesi ekonomi karena pertumbuhan ekonominya minus selama dua triwulan berturut-turut. Negara-negara itu, antara lain, adalah Singapura, Filipina, Thailand, Jepang, Hong Kong, dan hampir semua negara di kawasan Eropa. Bahkan, Uni Eropa terkontraksi 14,4 persen. Kontraksi parah dialami Spanyol (-22,1 persen), Inggris (-21,7 persen), Perancis (-19,0 persen), Meksiko (-18,9 persen), Italia (-17,3 persen), Portugal (-16,5 persen), Belgia (-14,5 persen), dan Jerman (-11,7 persen). Kontraksi ekonomi cukup parah juga dialami Filipina (-16,5 persen), Thailand (-12,2 persen), Singapura (-12,6 persen), Australia (-12,8 persen), Jepang (-7,82 persen). Hong Kong sebagai salah satu pusat ekonomi dunia tumbuh -9,0 persen, bahkan telah tumbuh minus selama empat triwulan berturut-turut.
Beberapa negara pada triwulan I-2020 masih tumbuh positif, tetapi pada triwulan II-2020 langsung anjlok pertumbuhan ekonominya. Mereka, antara lain, adalah Malaysia (-17,1 persen), Amerika Serikat (-9,5 persen), Indonesia (-5,32 persen), dan Korea Selatan (-2,9 persen). Pil pahit tersebut, tidak dimungkiri, merupakan akibat kebijakan restriksi ketat demi mencegah penyebaran Covid-19.
Namun, pandemi bisa jadi bukan satu-satunya faktor utama penyebab resesi global. Nyatanya, kendati merosot, Vietnam, tetangga terdekat China, masih tumbuh positif 0,4 persen. Bahkan, China, titik awal pandemi Covid-19, yang pada triwulan I-2020 tumbuh minus 6,8 persen, pada triwulan II-2020 justru terhindari dari resesi, langsung bangkit menjadi tumbuh 3,2 persen.
Tak dapat dimungkiri, pandemi Covid-19 berdampak luas dan memicu terjadinya resesi di banyak negara. Namun, sebelum pandemi, kegaduhan dan ketidakpastian ekonomi global juga sudah terlihat akibat adu kekuatan raksasa ekonomi dunia melalui perang dagang. Dampaknya tidak hanya mengoyak neraca perdagangan antarnegara, tetapi juga merontokkan kekuatan pasar keuangan dan pasar modal dunia. Ketidakpastian ekonomi telah membuat pergerakan nilai tukar mata uang berbagai negara dan indeks harga saham dunia bergerak sangat fluktuatif. Bahkan, kekuatan sektor energi dibuat tidak berkutik, ditandai dengan harga minyak mentah dunia yang terjun bebas menyentuh titik terendah. Pada April 2020, harga minyak dunia sempat menyentuh 15 dollar AS per barel. Kini, harga minyak dunia masih bergerak pada kisaran 40-an dollar AS per barel.
Tak dapat dimungkiri, pandemi Covid-19 berdampak luas dan memicu terjadinya resesi di banyak negara.
Di tengah ketidakpastian ekonomi global, tiba-tiba dunia dikejutkan pandemi Covid-19. Akibatnya, banyak negara terpaksa mengunci atau mengarantina wilayah. Otomatis pergerakan ekonomi dan rantai pasok dunia dipaksa berhenti demi menyelamatkan nyawa manusia. Proses produksi sektor industri yang langsung terkait rantai pasok global sempat lumpuh, berujung pada aktivitas produksi yang mandek dari sisi pasokan dan permintaan.
Kini, suka atau tidak suka, perekonomian dunia dipaksa berubah. Dunia tidak hanya beradaptasi agar dapat lolos melawan pandemi, tetapi juga harus mencari jalan keluar melalui berbagai terobosan dan inovasi agar mampu bertahan di tengah berbagai ketidakpastian. Tatanan atau sistem ekonomi dunia dipaksa menuju keseimbangan baru. Semua negara berlomba dan fokus mencari terobosan baru.
Tidak biasa
Presiden Joko Widodo dalam berbagai kesempatan mengingatkan, kondisi yang sedang dihadapi saat ini adalah kondisi extraordinary atau kondisi yang tidak biasa. Oleh karena itu, diperlukan berbagai respons kebijakan, program, dan eksekusi yang menunjukkan sense of crisis atau kesadaran atas krisis dari semua pemangku kepentingan. Percuma menyusun program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) melalui pelebaran defisit anggaran lebih dari 6 persen jika pengeluaran pemerintah pada triwulan II-2020 justru minus 6,9 persen. Hal terpenting adalah memastikan efektivitas intervensi pemerintah agar tepat sasaran menjadi stimulus fiskal.
Diperlukan berbagai respons kebijakan, program, dan eksekusi yang menunjukkan sense of crisis atau kesadaran atas krisis dari semua pemangku kepentingan.
Apalagi, peluang Indonesia untuk terhindar dari jebakan resesi sebenarnya cukup besar. Sebab, penopang utama kekuatan ekonomi ada di dalam negeri, yaitu sisi permintaan berupa konsumsi rumah tangga dan sisi pasokan berupa usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Apalagi, Indonesia memiliki sumber daya yang cukup melimpah. Alhasil, pemerintah mestinya cukup fokus pada dua program prioritas, yaitu sisi sosial dan sisi ekonomi. Titik krusial efektivitas program bukan pada besaran anggaran, melainkan kejelasan konsep serta kecepatan dan ketepatan eksekusi program. Program bertujuan sosial (perlindungan sosial), secara konsep dan target, tidak boleh dicampur aduk dengan program untuk pemulihan ekonomi.
Program perlindungan sosial merupakan intervensi sisi permintaan, yaitu mencegah daya beli masyarakat anjlok. Oleh karena itu, sasaran intervensinya sederhana, yaitu memulihkan daya beli penduduk miskin dan rentan miskin, baik yang dari awal ada di kelompok miskin maupun akibat terdampak pandemi Covid-10. Artinya, cukup fokus pada satu skema bantuan sosial atau program subsidi yang benar-benar tepat sasaran untuk dua kelompok tersebut. Skema program yang banyak justru membuat kegaduhan di level eksekusi dan kesulitan memantau efektivitas program.
Intervensi kedua adalah program pemulihan ekonomi untuk UMKM yang berkontribusi 99 persen terhadap perekonomian. Program bantuan likuiditas mulai dari restrukturisasi, relaksasi, dan bantuan permodalan baru, hingga relaksasi fiskal diharapkan para pelaku usaha. Namun, hal paling penting, berbagai program bail out tersebut harus mampu menggerakkan kembali aktivitas ekonomi, bukan justru menjadi moral hazard mengatasnamakan pandemi hanya demi memanfaatkan berbagai fasilitas dari pemerintah.
Sebagai ilustrasi, pertumbuhan kredit bank umum hingga Juni 2020 mencapai titik terendah, yakni tumbuh 1,49 persen. Di sisi lain, dana pihak ketiga (DPK) masih tumbuh 7,95 persen. Ternyata, masyarakat lebih gemar menabung daripada ekspansi kredit. Artinya, jika hanya mengandalkan intervensi pelonggaran dan guyuran likuiditas, belum tentu efektif di tengah permintaan yang lesu.
Optimisme semu
Pada triwulan I-2020, Indonesia masih tumbuh positif 2,97 persen dan kontraksi 5,32 persen pada triwulan II-2020 lebih rendah di antara negara-negara di ASEAN. Namun, tidak serta-merta kondisi Indonesia lebih baik dari negara-negara yang kini telah memasuki jurang resesi. Pasalnya, selain belum berhasil mengendalikan Covid-19, motor penggerak utama pertumbuhan ekonomi Indonesia justru memiliki kerentanan yang tinggi dan memiliki korelasi langsung dengan Covid-19.
Apalagi, kontraksi ekonomi pada triwulan II-2020 telah menyebabkan angka pengangguran dan kemiskinan bertambah. Investasi juga terkontraksi sangat dalam, yaitu minus 8,61 persen. Padahal, dua variabel tersebut menjadi sumber utama pertumbuhan ekonomi. Indonesia tidak bisa langsung mengekor pada kinerja China yang langsung mampu bergeliat cepat. Kecuali, Indonesia mampu mengambil peluang pergeseran investasi dari China sebagaimana Vietnam. Kondisi neraca perdagangan Indonesia yang surplus dalam tiga bulan terakhir lebih disebabkan berkah logam mulia yang semakin berkilau, bukan karena peningkatan produktivitas dan daya saing komoditas ekspor.
Oleh karena itu, mencantumkan target pertumbuhan ekonomi 4,5-5,5 persen pada 2021 di tengah kesadaran akan krisis pemerintah yang lemah semakin menunjukkan ketidakmampuan melihat dan memitigasi masalah perekonomian. Jangan sampai halusinasi target pertumbuhan tersebut justru semakin memicu ketidakpercayaan pasar terhadap perekonomian Indonesia.