Pandemi menghantam musisi, tak terkecuali Adityo Wibowo. Saat paceklik konser, uluran tangan sahabat-sahabatnya silih berganti disodorkan kepada drumer Gugun Blues Shelter dan Tohpati Bertiga yang akrab disapa Bowie itu.
Oleh
KOMPAS/DWI BAYU RADIUS
·3 menit baca
Jalan hidup Adityo Wibowo (36) hampir setahun terakhir cukup berliku-liku. Lengan drumer itu patah saat konser di Jakarta pada Oktober 2019. Pandemi kemudian melanda hingga musisi tersebut sempat megap-megap. Ia beruntung, perhatian sahabat-sahabatnya begitu besar.
Adityo yang akrab disapa Bowie Drumer itu harus menjual tiga drumnya. Padahal, drum-drum itu historis dengan rekam jejak hampir 10 tahun. ”Seperangkat drum, misalnya, diberikan sahabat saya yang mewanti-wanti supaya enggak dijual,” katanya di Jakarta, Selasa (25/8/2020).
Drumer Tohpati Bertiga itu butuh suntikan dana untuk pembedahan tangannya. Lantaran terdesak, ia dengan berat hati menelepon sahabatnya untuk meminta izin melepas drum itu. Permintaan itu diluluskan. Bowie sempat memiliki satu set drum saja.
”Drum itu juga pemberian sahabat yang meninggal tak lama setelah pandemi, Maret lalu. Sebenarnya dipinjamkan karena enggak dipakai. Sudah hampir dimuseumkan,” guraunya. Ia membersihkan, memperbaiki drum itu sehingga bisa dipakai lagi, dan merawatnya.
Bowie juga memainkan perangkat musik itu untuk rekaman dan konser. Sejak dioperasi untuk memulihkan tangannya pada Juli lalu, kemampuan Bowie memainkan drum berangsur pulih. Ia meyakini, berkah itu merupakan balasan kebaikan yang dilakukannya.
”Enggak ada ruginya bantu orang. Pas saya susah, dibantu. Saya juga sering begitu. Alhamdulillah. Memang luar biasa,” katanya. Tak hanya dirinya, Bowie memandang perjuangan musisi umumnya memang sangat berat saat ini. Ia mengaku hidup jorjoran sebelum kesulitan menyadarkannya.
”Kalau refleksi diri sendiri, saya biasa hidup terlalu glamor. Lupa harus memikirkan masa depan,” ucap ayah tiga anak itu. Ia bersyukur kini bisa memperoleh penghasilan lumayan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, termasuk membayar cicilan mobilnya.
Bowie tak mengandalkan penghasilan dari bermusik semata. Ia menjalankan bisnis topi sebagai sandaran hidup. Produk itu, Hithat Premium, masih sangat diminati. ”Enggak termasuk murah, tapi banyak dibeli karena pasarnya Eropa dan Amerika Serikat. Bisa jadi penopang saya yang utama,” katanya.
Ia juga berjualan siomay, makanan yang diakrabi rakyat yang dipengaruhi oleh penduduk keturunan Tionghoa. ”Kalau kebanyakan alirannya dimsum, buatan saya siomay kampung. Biasanya dijajakan pakai sepeda yang ada kompor, bahkan dimasak dengan arang. Saya bikinkan dapur,” ujarnya.
Bowie juga tengah merintis pendistribusian dampening drum system bermerek Snareweight dari San Francisco, Amerika Serikat. ”Bakal besar banget. Saya akan jadi dealer di Indonesia. Bos besar di San Francisco suka profil saya,” katanya.
Bowie diminta menjadi duta merek Snareweight. Jika berjalan lancar, produk itu mulai dijual di Indonesia dua bulan mendatang. ”Tiba-tiba saya dihubungi lewat Instagram. Saya semula mau beli produknya. Bos itu ternyata suka topi saya. Jadi, nyambung,” katanya sambil tertawa.
Bowie yang juga drumer Gugun Blues Shelter tersebut mengatakan, kondisi saat ini mengetuk hatinya untuk prihatin. Ia lantas berhemat. ”Pengeluaran ditekan. Biasanya ke restoran tiga kali setiap minggu, sekarang sebulan sekali. Belanja di mal kalau perlu saja,” ujarnya.
Liburan rata-rata dua kali per bulan juga ditunda dulu. Bowie yang kerap membeli instrumen musik sebelum pandemi kini harus menahan keinginannya. Di masa pagebluk, banyak musisi menggelar pertunjukan secara daring, tetapi ia enggan mengikutinya.
Bowie tak cocok dengan konser tersebut karena ingin bertemu langsung penontonnya. Ia merasa menyalahi kodrat jika hanya bertatap muka dengan penggemar lewat layar. ”Enggak efektif. Saya dapat data konser daring. Awal pandemi ramai banget, tapi khalayak mulai jenuh. Paling parah pada Juli lalu,” katanya.