Dalam situasi seperti ini dapat dipahami jika ketergantungan semua kalangan semakin tinggi kepada kebijakan negara. Situasi ini tentu menjadikan beban pemerintah akan semakin berat jika pandemi tidak segera berakhir.
Oleh
Bambang Setiawan
·5 menit baca
Enam bulan sejak pandemi Covid-19 atau tiga bulan setelah era normal baru diberlakukan, terjadi pergeseran-pergeseran dalam komposisi kelompok penyikapan yang berimplikasi pada aspek politik, ekonomi, dan sosial.
Tatanan kehidupan normal baru yang mulai diberlakukan pada awal Juni 2020 menimbulkan relaksasi di sejumlah bidang. Di bidang politik, ketegangan antara masyarakat dan pemerintah selama masa pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) telah mengendur.
Kalangan optimistis, yang segera ingin keluar dari kungkungan isolasi sosial dan ekonomi, pun mulai leluasa bergerak. Kendurnya ikatan dan berkurangnya sikap represif aparat di area-area publik berimplikasi pada terkikisnya pandangan minor terhadap pemerintah sehingga pada periode enam bulan setelah pandemi terjadi perubahan apresiasi terhadap pemerintah. Jika pada tiga bulan lalu kalangan optimistis, yang dominan berasal dari kalangan sosial ekonomi bawah, hanya 41,5 persen yang memberikan penilaian positif, sekarang berubah menjadi 56 persen.
Di kalangan masyarakat ekonomi bawah, respons positif itu juga sangat mungkin terbangun dari aspek-aspek lain. Makin sistematisnya pengorganisasian bantuan sosial untuk kelompok masyarakat tidak mampu yang terdampak Covid-19 merupakan elemen penting yang dapat mengubah penilaian terhadap pemerintah. Selain itu, serapan pengetahuan terkait kesehatan dan rasio kesembuhan mereka yang terjangkit turut memberi harapan baru, terlebih informasi kehadiran vaksin korona makin menjanjikan kepastian peluang hidup ke depan.
Meskipun demikian, membaiknya apresiasi terhadap pemerintah juga dapat dibaca sebagai dependensi yang cukup tinggi kepada pemerintah. Cukup lamanya masa pandemi Covid-19 berimplikasi pada kian lemahnya kemandirian masyarakat dan menguatnya ketergantungan kepada peran negara. Hal ini terlihat dari kian merosotnya daya dukung ekonomi yang mereka rasakan selama enam bulan terakhir, di balik apresiasi positif kepada pemerintah.
Meskipun keramaian bisnis mulai bergulir sejak diberlakukannya era normal baru, kemerosotan ekonomi belum dapat ditahan. Kondisi ini dialami oleh semua segmen sosial, terlebih pada kalangan ambigu. Pada kalangan yang mulai melangkah, tetapi masih dipenuhi keraguan terhadap tatanan baru ini, penurunan kondisi ekonomi justru mengalami peningkatan jumlah yang signifikan. Tiga bulan setelah pandemi, 59,9 persen dari kalangan ini merasakan kondisi ekonomi mereka memburuk dan setelah enam bulan menjadi 82,5 persen.
Kelompok ambigu ini adalah kelompok yang tidak sepenuhnya pesimis, tetapi juga tidak sepenuhnya optimis. Sebagian hanya bermodalkan antusiasme tanpa kemampuan, sebagian hanya mengandalkan kemampuan meskipun tidak bersemangat. Kelompok ambigu, yang pada umumnya merupakan pekerja lepas dan karyawan toko, jumlahnya mengalami peningkatan yang signifikan.
Membesarnya kelompok ini ditengarai sebagai penanda tergerusnya kemampuan mereka untuk bertahan dari tuntutan ekonomi. Berada dalam pilihan yang sulit, antara kebutuhan ekonomi dan ketakutan akan pandemi, kelompok ambigu menjadi kelompok coba-coba yang mulai bergerak ke luar meskipun imbal balik finansial belum tentu mencukupi seluruh kebutuhan subsisten.
Jika kelas menengah berpendidikan bawah yang menjadi ciri kelompok ambigu terpaksa harus berani mengambil risiko dengan mulai melangkah, tidak demikian dengan kelas atas. Kelompok sosial ekonomi atas merupakan kalangan yang setelah enam bulan masa pandemi Covid-19 bersikap paling pesimistis menghadapi berjalannya kehidupan normal baru.
Kelompok, yang pada umumnya memiliki usaha dan mempekerjakan karyawan ini kian diliputi ketidakpastian. Mereka, yang biasanya sangat bergantung pada stabilitas dan langkah-langkah yang dapat diprediksi tersebut, seolah kehilangan pegangan yang pasti. Kalangan pengusaha yang pada tiga bulan lalu masih bersikap optimistis terhadap kehidupan normal baru kini memasuki ruang yang lebih pesimistis atau ambigu.
Dalam situasi seperti ini dapat dipahami jika ketergantungan semua kalangan ke depan akan semakin tinggi kepada kebijakan negara. Situasi ini tentu menjadikan beban pemerintah akan semakin berat jika pandemi tidak segera berakhir. Ke bawah, pemerintah harus menggelontorkan bantuan, sedangkan ke atas, pemerintah terpaksa memberikan lebih banyak stimulus ekonomi. Hal itu terlebih melihat tren meluasnya wabah setelah diberlakukannya normal baru, pemulihan ekonomi dengan kebijakan itu menjadi dilematis. Ekonomi bergerak, tetapi wabah virus korona semakin masif.
Dalam situasi seperti ini dapat dipahami jika ketergantungan semua kalangan ke depan akan semakin tinggi kepada kebijakan negara.
Meskipun cukup berat, dengan kepercayaan politik yang cukup kuat saat ini sebetulnya pemerintah memiliki modal yang cukup besar untuk menggerakkan solidaritas sosial yang lebih masif. Terlebih, solidaritas sosial ini sudah muncul dengan cukup kuat, terutama pada kelas sosial bawah dan menengah. Selain saling membantu antartetangga, telah muncul gerakan-gerakan sosial yang bertujuan untuk pencegahan dan mengatasi dampak pandemi.
Aneka inovasi bermunculan, baik di level pemerintahan daerah, perguruan tinggi, maupun masyarakat. Berbicara di seputaran Yogyakarta saja dapat disebutkan bermacam inovasi terkait pandemi, seperti Kagama Cantelan, Sejangkauan Tangan, Solidaritas Pangan Jogja, Gogrok Covid-19, Panggungharjo Tanggap Covid-19, dan SONJO (Sambatan Jogja). Belum lagi di daerah-daerah lain.
Perubahan aktivitas
Jika pada tiga bulan masa pandemi terdapat kecenderungan yang cukup kuat soal pemilahan sikap terkait gaya hidup dan perilaku ekonomi, pada periode enam bulan mulai terlihat adanya pergeseran. Kelompok pesimistis yang semula lebih suka mengurung diri di rumah kini sudah mulai membuka diri terhadap kehidupan luar, beraktivitas yang cenderung makin mirip dengan kelompok optimistis yang sudah lebih dulu terbuka.
Meskipun demikian, tetap tampak penekanan-penekanan terhadap prioritas tindakan pada tiap segmen sosial. Walaupun tidak berbeda signifikan, ada kecenderungan kelompok pesimistis masih menahan diri untuk berbelanja ke pasar ataupun bekerja di luar rumah. Mereka yang tidak mau ke mana-mana juga masih cukup menonjol di kalangan ini. Pemrioritasan terhadap kegiatan sosial tertentu juga tampak menonjol pada kelompok ini yang menganggap penting kehadiran dalam seremoni kematian dan pernikahan.
Sementara kelompok optimistis yang pada umumnya dicirikan oleh karakter demografis berpendidikan rendah dan kelas bawah memperlihatkan kecenderungan yang cukup menonjol untuk melakukan aktivitas kerja di lokasi bekerja dan berbelanja ke pasar. Mereka juga lebih aktif di acara keagamaan, kumpul-kumpul dengan kerabat atau teman dekat, dan kegiatan warga atau lingkungan.
Adapun kelompok ambigu memperlihatkan karakter yang dalam beberapa hal mirip kelompok optimistis dan pada beberapa sisi mendekati kelompok pesimistis. Yang tampak cukup menonjol, kelompok ini menahan diri untuk pergi ke mal dan lebih berani memeriksakan kesehatan ke rumah sakit atau klinik. (Litbang Kompas)