Pesan di Balik Ambiguitas Publik
Golongan ekonomi atas dalam masyarakat yang sebelumnya tergolong ambigu dalam menyikapi perubahan kini malah makin pesimistis. Pada survei terbaru, terlihat terbangun sikap pesimistis yang semakin besar.
Meningkatnya kelompok masyarakat yang cenderung ambigu dalam menyikapi pola kehidupan normal baru mengisyaratkan bahwa enam bulan penanganan pandemi Covid-19 masih serba problematik di negeri ini.
Perubahan semakin meningkatnya sikap mental masyarakat yang cenderung ambigu di antara dua kutub, yakni sikap yang serba optimistis dan pesimistis, menjadi salah satu fokus temuan dari dua survei Kompas yang dilakukan pada Juni dan Agustus 2020.
Ambiguitas sikap tergambar dari kecenderungan kelompok masyarakat yang di satu sisi menyatakan ”siap” dalam beradaptasi dengan kehidupan normal baru. Namun, pada kesempatan yang sama, mereka malah merasa ”tidak antusias” dan memilih bersikap pasif dalam menghadapinya.
Pada sisi yang sebaliknya, terdapat kelompok masyarakat yang cenderung reaktif, merasa ”antusias” untuk beradaptasi. Hanya, kalangan ini justru terlihat ”tidak siap” dalam meniti normal baru kehidupan.
Baca juga: Normal Baru, Ketidaknyamanan Baru
Menariknya, berdasarkan hasil survei, kedua kelompok masyarakat yang sarat dengan sisi ambiguitas ini menjadi semakin signifikan besaran peningkatannya dibandingkan dengan perubahan kelompok masyarakat lainnya. Survei terbaru menunjukkan, hampir seperempat bagian masyarakat atau tepatnya 24,6 persen. Padahal, pada survei sebelumnya masih 14,8 persen.
Peningkatan yang signifikan semacam itu melahirkan pertanyaan dari mana asal muasalnya? Faktor apa yang memperbesar perubahan tersebut?
Dengan membandingkan proporsi agregat yang ditunjukkan dari kedua survei, tampak jelas jika sepanjang enam bulan terakhir telah terjadi perubahan keseimbangan sikap mental baru pada masyarakat.
Baca juga: Memahami Situasi Krisis Bencana Covid-19
Saat tiga bulan menjalani era pandemi (Juni 2020), sebenarnya sikap masyarakat cenderung terpilah menjadi dua kelompok besar, yaitu mereka yang tergolong ”pesimistis” dan sebaliknya yang ”optimistis”. Saat itu hasil survei menunjukkan, baik mereka yang tergolong pesimistis yang ditunjukkan dengan ketidakantusiasan dan ketidaksiapan mereka dalam beradaptasi maupun kalangan optimistis yang merasa antusias dan siap beradaptasi, proporsinya relatif sama besar.
Namun, pada survei kali ini (Agustus 2020), justru terjadi penurunan proporsi kalangan yang pesimistis. Sementara pada kelompok yang merasa optimistis proporsinya cenderung tetap. Dengan demikian, polarisasi meluruh, sejalan dengan peningkatan kalangan yang mendua dalam bersikap.
Apabila membandingkan kedua survei, dapat dijelaskan bahwa arus perubahan yang semakin meningkatkan proporsi kalangan ambigu tidak lain lantaran semakin menurunnya kelompok masyarakat yang bersikap pesimistis terhadap adaptasi kehidupan baru era pandemi. Dalam hal ini, mereka yang merasa kurang antusias dan tidak siap menghadapi kehidupan baru kini mulai menyusut, beralih menjadi kelompok yang cenderung mendua dalam bersikap, baik dari sisi antusiasme maupun derajat kesiapan menghadapi kehidupan baru era pandemi.
Basis ekonomi
Perubahan sikap mental masyarakat akan semakin nyata terjadi jika ditelusuri lebih jauh berdasarkan latar belakang identitas mereka. Pada survei sebelumnya, polarisasi yang terbentuk dalam sikap mental masyarakat tampak lebih banyak dipengaruhi oleh latar belakang kondisi sosial dan ekonomi responden. Dalam survei pada Juni, misalnya, ditunjukkan ada kecenderungan semakin tinggi derajat sosial ekonomi responden, maka akan semakin bersikap pesimistis.
Kelompok yang kurang antusias dan merasa tidak siap dalam menghadapi kondisi normal baru lebih banyak ditunjukkan oleh kelompok elite dalam masyarakat, yaitu mereka yang berpendidikan tinggi dengan derajat ekonomi menengah ke atas. Memang, kelompok yang sangat perhatian pada aspek ancaman kesehatan dan ditopang oleh kemampuan ekonomi yang relatif baik ini menganggap riil ancaman Covid-19. Itulah mengapa sepanjang sisi proteksi terhadap virus belum juga berhasil dilakukan, mereka tetap merasa pesimistis.
Sikap demikian cenderung bertolak belakang dengan kelompok sosial ekonomi menengah ke bawah. Saat itu pada kelompok berpendidikan menengah dan kondisi ekonomi menengah ke bawah yang jumlahnya terbanyak dalam masyarakat di negeri ini, justru merasa optimistis terhadap perubahan.
Sekalipun penanganan ancaman virus juga belum terkendalikan, tetap saja rasa antusias menjalani perubahan terekspresikan. Bagi kalangan ini, desakan material ekonomi yang telah menggerus pola kehidupan tiga bulan terakhir menyisihkan kekhawatiran mereka terhadap problem ancaman kesehatan.
Hanya, pada survei bulan Agustus, kondisinya menjadi berubah. Perubahan paling signifikan lebih banyak terjadi pada sisi ekonomi dibandingkan dengan sisi latar belakang identitas sosial mereka.
Pemilahan masyarakat berdasarkan tiga golongan, yaitu kelompok ekonomi atas, menengah, dan bawah, lebih menonjol ketimbang pemilahan aspek derajat pendidikan. Artinya, kali ini adaptasi terhadap perubahan dan pola penyiasatan yang dilakukan sepanjang enam bulan terakhir menjadi lebih banyak bertumpu pada basis kondisi ekonomi seseorang.
Baca juga: Normal Baru Menjadi Harapan Baru Warga
Penggambarannya, peningkatan kelompok ambigu yang terjadi secara signifikan dalam survei ini, misalnya, datang dari kontribusi kalangan ekonomi menengah ke bawah. Golongan menengah, dari sebelumnya hanya 17,3 persen yang ambigu, beralih menjadi 25,3 persen. Kalangan menengah yang sebelumnya lebih banyak pesimistis dengan kondisi, kini mulai luruh dan cenderung menjadi ambigu. Begitu pula golongan ekonomi bawah, dari sebelumnya 13,6 persen yang merasa ambigu, kini menjadi 24,6 persen.
Pada sisi sebaliknya, golongan ekonomi atas dalam masyarakat yang sebelumnya tergolong ambigu dalam menyikapi perubahan kini malah makin pesimistis. Pada survei terbaru, terlihat terbangun sikap pesimistis yang semakin besar. Jika sebelumnya hanya 36,8 persen, melonjak menjadi 50 persen.
Dari survei ini, perbedaan sikap dan perilaku dari representasi kelompok ekonomi masyarakat tampak semakin mencolok jika dibedakan jenis pekerjaannya. Bagi para pengusaha atau wirausaha yang masuk dalam golongan ekonomi atas, terlihat perubahan dalam kurun waktu enam bulan. Apabila sebelumnya masih tergolong tinggi yang bersikap optimistis, kali ini menurun. Kecenderungan menjadi semakin pesimistis justru meningkat.
Sikap semacam ini tidak terjadi pada kalangan pekerja yang masuk dalam golongan ekonomi menengah hingga ke bawah.
Semakin meningkatnya kalangan yang ambigu, sementara di sisi lain terjadi penyusutan kelompok masyarakat yang bersikap pesimistis, menyiratkan pesan semakin renggangnya batas toleransi terhadap kekhawatiran semakin masifnya sebaran Covid-19. Enam bulan masa pandemi berjalan, masih serba problematik.
Desakan pola pemenuhan kehidupan ekonomi yang semakin dominan kerap menenggelamkan sisi proteksi terhadap keselamatan. Aktivitas masyarakat yang sebelumnya berjarak menjadi terabaikan.
Bagi kalangan ekonomi menengah ke bawah tampaknya tidak banyak lagi pilihan yang tersedia selain memprioritaskan kepentingan yang paling mendesak. Sekalipun dalam setiap langkah mewujudkannya semakin memperbesar risiko ancaman kesehatan.