Pengalaman Tak Terduga Menuju Dusun Mondoliko yang Terancam Tenggelam
Saya mengendarai sepeda motor secara perlahan di jalan sempit yang lebih mirip titian itu. Terdengar Bu Nursadah sibuk membaca doa. Maklum, sedikit saja hilang keseimbangan, kami bisa jatuh dan terluka.
Bicara tentang erosi air laut atau abrasi di pesisir utara Jawa Tengah nyaris selalu terkait dengan Kabupaten Demak, khususnya Kecamatan Sayung. Garis pantai di sana terus mundur ke arah daratan yang menyebabkan beberapa dusun tenggelam. Ini terjadi akibat turunnya muka tanah dan naiknya permukaan laut.
Sejak bertugas meliput wilayah Semarang dan sekitarnya pada November 2016, sudah beberapa kali saya mengangkat isu abrasi di Sayung, Demak. Pada awal 2017, misalnya, saya meliput ke rumah seorang warga bernama Rokani di Dusun atau Dukuh Rejosari Senik, Bedono.
Untuk mencapai rumah itu, saya mesti menyewa perahu.
Semua warga di dusun itu sebenarnya sudah direlokasi, kecuali Rokani beserta istri dan ketiga anaknya, yang lebih memilih bertahan di rumah mereka yang terkepung air laut. Untuk mencapai rumah itu, saya mesti menyewa perahu.
Saya juga pernah beberapa kali meliput berbagai upaya, baik oleh pemerintah maupun lembaga non-profit, dalam menahan laju abrasi di Sayung. Kegiatan yang paling sering dilakukan adalah penanaman mangrove. Meski begitu, hingga kini warga belum juga lepas dari ancaman rob, terutama setiap periode pasang.
Di Demak, ada tiga desa yang paling terdampak abrasi, yakni Sriwulan, Bedono, dan Timbulsloko, jika disebutkan secara berurutan dari barat ke timur. Pada Maret 2020, saya pergi ke Desa Bedono untuk mengetahui perkembangan di sana.
Hari Selasa (10/3/2020), sekitar pukul 11.00, saya tiba di Kantor Desa Bedono dan berbincang dengan Pak Aslor, carik atau sekretaris desa setempat. Saya ingin menggali dulu perubahan kondisi secara umum yang terjadi di Bedono.
Di tengah perbincangan, saya bertanya, ”Dari dukuh-dukuh yang tersisa di Bedono, dukuh mana yang aksesibilitasnya paling parah atau memprihatinkan?” Pak Aslor menjawab, ”Dukuh Mondoliko. Saya kasihan dengan warga di sana.”
Baca juga: Liputan Referendum Timor Timur: Menatap Saudaraku Semakin Jauh Melangkah
Entah mengapa pertanyaan itu meluncur dari mulut saya. Memang, selama ini saya kurang bisa memetakan Bedono karena desa tersebut ”terpecah-pecah” akibat putusnya akses ke desa itu akibat abrasi. Dua dusun di sana telah tenggelam dan warganya direlokasi. Dari lima dukuh lainnya yang tersisa, saya paling sering ke Dukuh Morosari dan Dukuh Bedono sehingga belum ada bayangan seperti apa kondisi Dukuh Mondoliko yang disebutkan Pak Aslor.
Merasa penasaran, dari kantor Desa Bedono, saya lalu memacu sepeda motor menuju Dukuh Mondoliko, yang jaraknya sekitar 8 km dari perbatasan Kota Semarang-Demak.
Sesuai gambaran yang diberikan Pak Aslor, satu-satunya jalan menuju Mondoliko adalah melalui Desa Sidogemah. Saya kemudian mencari kantor Desa Sidogemah sebagai patokan untuk selanjutnya tinggal bertanya kepada warga.
Seorang pria paruh baya yang saya tanyai di Sidogemah, kemudian memberi petunjuk arah menuju Dukuh Mondoliko. Sambil melihat sepeda motor yang saya naiki, dia ganti bertanya, ”Tapi bisa enggak ya nanti lewatnya? Soalnya jalan di sana miring-miring.”
Pertanyaan yang lebih mirip kesangsian ini membuat saya sedikit curiga. Bapak itu kembali memberi sedikit gambaran, tetapi tetap saja sulit bagi saya untuk membayangkan karena belum pernah melihatnya langsung. Saya akhirnya pamit melanjutkan perjalanan setelah menyampaikan terima kasih dan berjanji akan berhati-hati ketika bertemu jalan miring yang misterius itu.
Baca juga: Satu Kata yang Bikin Dua Kelompok Kolintang Geger
Setelah beberapa kali bertanya kepada warga lain, akhirnya saya sampai di jalan cor beton yang lahan di kanan kirinya dipenuhi mangrove. Saya sempat mengira salah jalan karena suasananya seperti sedang menuju laut atau taman mangrove, bukan ke arah dukuh atau permukiman warga.
Saya semakin yakin salah jalan karena di depan saya terlihat laut terbuka. Jalan cor memang tetap ada, tetapi kanan kirinya sudah air laut. Jalan cor ini kemudian berujung pada jembatan apung darurat yang terbuat dari susunan kayu dan bambu dengan drum plastik di bagian bawahnya. Rupanya jembatan ini adalah pengganti jembatan cor yang putus di sebelahnya.
Tampak dua orang memancing di ujung jembatan putus itu. Terdapat juga rumah apung yang ditinggali semacam pengelola tempat pemancingan sederhana. Saya kemudian bertanya kepada pengelola pemancingan itu, ternyata saya tidak salah jalan. Memang itu jalan satu-satunya menuju Mondoliko.
Setelah menyeberangi jembatan darurat, jalur kembali berupa jalan cor beton dengan lebar 1,5 meter-2 meter. Saya berhenti sejenak. Tanpa turun dari sepeda motor, saya kemudian memotret keadaan sekitar dengan pemandangan laut di kanan dan kiri jalan.
Baca juga: Ketika Hasil ”Rapid Test” Saya Dinyatakan Reaktif Covid-19
Setiap wartawan pasti pernah menemukan ”aha moment” yang membuatnya bersorak dalam hati, ”Ini baru berita!”. Kira-kira seperti itu perasaan saya saat itu. Mungkin saya memang bukan wartawan pertama yang melewati jalan itu, melainkan saya yakin banyak informasi yang masih bisa digali.
Jalan setapak dengan kanan kiri laut terbuka itu tidak saya temui ketika mendatangi Dukuh Morosari dan Dukuh Bedono. Jalan-jalan di kedua dukuh itu rata-rata lebih lebar.
Pada 2018, saya juga pernah meliput kondisi perempuan nelayan di Dukuh Tambakpolo, Desa Purworejo, Kecamatan Bonang, Demak. Akses menuju dukuh yang terletak di pesisir itu juga terbilang parah. Namun, akses menuju Dukuh Mondoliko ini benar-benar baru bagi saya.
Memboncengkan warga
Setelah memasukkan kamera ke dalam tas, saya kembali memacu sepeda motor. Sekitar 50 meter di depan, seorang ibu yang mengenakan caping tampak berjalan ke arah Dukuh Mondoliko. Ia tampak kerepotan menggendong dan menjinjing sejumlah barang bawaan yang ditempatkan dalam tas dan plastik.
Karena searah, saya menawari ibu tersebut membonceng yang langsung disambut anggukan. Di sepanjang jalan, kami berbincang dalam bahasa Jawa, meskipun sebenarnya saya sulit mengikuti karena tempo bicaranya yang cepat. Meski sudah tiga tahun lebih tinggal di Jateng, saya yang asli Jawa Barat terkadang masih kesulitan memahami bahasa Jawa yang dituturkan dengan cepat.
Baca juga: Mengikuti Perburuan Teroris di Palu dan Poso
Satu hal yang terkonfirmasi, tujuan kami sama-sama ke Dukuh Mondoliko. Ibu yang kemudian saya ketahui bernama Nursadah (72) ini hendak pulang ke rumahnya di dukuh tersebut. Ia lalu mengarahkan setiap kali menjumpai persimpangan jalan.
Kami kemudian tiba di jalan cor yang lebarnya tidak sampai 1 meter karena bagian kanan kirinya keropos akibat tergerus hantaman arus laut. Dengan nada setengah waswas, Bu Nursadah mengingatkan saya untuk berhati-hati saat hendak melewati jalan itu.
Tanpa berpikir panjang, barangkali karena merasa terlalu yakin, saya tetap mengendarai sepeda motor di jalan sempit itu tanpa meminta Bu Nursadah turun terlebih dulu.
Setelah mulai melintasinya, baru terasa, ternyata tak semudah yang diperkirakan. Saya perlu usaha lebih untuk menyeimbangkan sepeda motor karena sambil memboncengkan orang.
Baca juga: Pengalaman Menjadi Putera Jawa Keluyuran di Sumatera
Saya berkendara secara perlahan di jalan sempit yang lebih mirip titian itu. Terdengar Bu Nursadah sibuk membaca doa. Maklum, sedikit saja hilang keseimbangan, kami bisa jatuh dan terluka. Suasananya sudah seperti di arena sirkus. Jalan sepanjang 25 meter itu rasanya begitu panjang, tak usai-usai dilalui.
Dalam hati saya menyesal telah memaksa diri tetap berkendara, apalagi sambil memboncengkan seorang ibu lanjut usia. Untung tidak terjadi apa-apa. Syukurlah, setelah berkendara dengan penuh kehati-hatian dan berusaha seseimbang mungkin, selesai juga kami melewati ruas jalan ”neraka” itu. Kami kembali bertemu jalan lebar yang tidak lagi keropos di kiri kanannya.
Namun, rupanya rintangan tak berhenti sampai di situ. Di beberapa ruas jalan, saya masih harus melewati cor beton yang separuhnya rusak atau dalam kondisi miring. Akhirnya saya paham apa yang dimaksud ”jalan miring” oleh seorang bapak yang saya temui di Desa Sidogemah.
Sekitar 1,5 km kemudian, kami mulai mendekati Dukuh Mondoliko. Memasuki permukiman, mangrove kembali ada di kedua sisi jalan. Sekilas, saya merasakan seperti hendak masuk ke Taman Jurassic alias Jurassic Park.
Baca juga: Selalu Ada Berita Seharga Bersepeda
Dukuh Mondoliko begitu rimbun oleh pepohonan. Terdapat sungai atau kanal di antara dua sisi area pemukiman. Saya mengantar Bu Nursadah hingga ke dekat rumahnya. Sayang, foto Bu Nursadah yang sempat saya ambil dengan kamera ponsel, terhapus.
Saya kemudian mulai menggali informasi dari warga dan ketua RW. Tak lupa menggambil gambar. Hanya ada satu RW di dukuh itu yang dihuni sekitar 100 keluarga. Sebelumnya, jauh lebih banyak. Namun, satu per satu pindah, seperti diceritakan Ketua RW 002, Sukiyo (62).
Dulu, sebenarnya ada jalan yang menghubungkan antardesa di Sayung, termasuk dengan dukuh-dukuh di Desa Bedono, yang disebut jalan kabupaten. Namun, abrasi membuat banyak jalan tenggelam. Akses pun terputus. Jalan cor yang saya lalui tadi kini menjadi satu-satunya akses. Jalan cor itu dulu sebenarnya jalan sawah yang kemudian dilebarkan.
Setelah mendapat berbagai informasi serta gambar yang diperlukan, saya bersiap kembali ke Semarang. Saya jadi terburu-buru karena khawatir terlalu sore dan keburu gelap. Apalagi, saya masih harus melalui jalan cor beton sempit yang tadi saya lintasi.
Baca juga: Sisa Jalan Setapak Menuju Mondoliko
Sepulang dari Mondoliko, saya pun membuat tulisan tentang dukuh itu yang kemudian tayang di E-paper Kompas pada Sabtu (25/4/2020) dengan judul ”Sisa Jalan Setapak Menuju Mondoliko”.
Pada pertengahan Juni 2020, beredar foto dan video tentang akses menuju Mondoliko yang tenggelam akibat air pasang yang sedang tinggi-tingginya. Pada Jumat (19/6/2020), saya mencoba kembali ke dukuh itu. Namun, hanya bisa sampai jembatan darurat.
Rupanya, sebagian ruas jalan cor yang pada Maret 2020 saya lewati sudah tenggelam. Di dekat jembatan darurat, misalnya, air laut menggenangi jalan dengan ketinggian 10-15 meter. Enggan ambil risiko, saya memilih tak melanjutkan perjalanan. Terpeleset sedikit, motor bisa tercemplung karena kanan kiri sudah laut.
Saya pun menggali informasi dan mengambil gambar dari sekitar jembatan darurat saja. Tulisan saya tentang itu dimuat di Kompas.id pada Sabtu (20/6/2020) dengan judul ”Nyaris Terisolasi, Warga Mondoliko Menanti Relokasi”. Sementara foto saya termuat sebagai foto utama di halaman 1 harian Kompas.
Baca juga: Nyaris Terisolasi, Warga Mondoliko Menanti Relokasi
Bagi warga Mondoliko, banjir karena rob atau limpasan air laut sudah menjadi makanan sehari-hari. Terpeleset dari sepeda motor juga hal ”biasa”. Bahkan, sering kali mereka harus menanti berjam-jam hingga tengah malam untuk menanti air surut agar bisa melintas.
Dari hasil perbincangan dengan warga, sebagian besar mereka setuju direlokasi. Mereka sebenarnya pernah mendapatkan tawaran relokasi ke luar Jawa dari pemerintah, tetapi mereka tolak.
Hal serupa disampaikan Pemkab Demak bahwa warga pernah menerima tawaran relokasi tetapi menolaknya. Hanya saja, pemkab mengaku tidak mengetahui lokasi relokasi karena belum ditentukan.
Pengalaman melihat berbagai macam situasi seperti di Mondoliko membuat saya lebih bersyukur dengan kehidupan yang saya jalani. Saya sendiri selalu berharap yang terbaik bagi warga Mondoliko atau warga mana pun yang terpaksa tinggal di tengah ancaman bencana.