Berburu Joko Tjandra, Berujung Tes ”Swab” PCR
”Ada empat wartawan Mabes positif Covid dari hasil swab test kemarin.” Pesan itu membuat perasaan tiba-tiba tak keruan. Saya pun harus menjalani tes swab PCR setelah dua hari sebelumnya liputan penangkapan Joko Tjandra.
”Ada empat wartawan Mabes positif Covid dari hasil swab test kemarin.”
Pesan terusan itu masuk ke telepon seluler saya pada siang bolong, Minggu (2/8/2020). Isinya, mengabarkan ada empat wartawan yang biasa meliput di Markas Besar Polri dinyatakan positif Covid-19.
Perasaan pun langsung tak keruan. Dua hari sebelum itu, saya baru meliput Joko Soegiarto Tjandra di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta. Sebagian besar peliput adalah wartawan yang nge-pos di Mabes Polri. Joko Tjandra adalah buronan perkara pengalihan hak tagih utang atau cessie Bank Bali yang berhasil ditangkap Polri dan Polis Diraja Malaysia di Kuala Lumpur, Malaysia, dan langsung diterbangkan ke Jakarta.
Membaca pesan itu, rasa bingung, gelisah, resah, cemas, dan takut campur aduk jadi satu. Bingung karena saya tak tahu harus bagaimana membalas pesan yang dikirimkan Kepala Desk Politik dan Hukum Harian Kompas Antony Lee itu. Gelisah dan resah, pikiran langsung berkecamuk teringat penyakit Covid-19 yang tengah mewabah. Cemas dan takut karena sehari sebelumnya saya baru menjenguk orangtua.
Jika, amit-amit, saya positif, tentu saya harus mengingat-ingat kembali teman-teman yang berkomunikasi dengan saya selama dua hari belakangan. Ini agar penularan virus bisa dilacak.
Mas Antony Lee lalu meminta saya segera tes usap reaksi rantai polimerase (PCR) sambil terus menguatkan saya. Tentu saya bisa saja mengetik kata ”siap”, tetapi nyatanya perasaan campur aduk tadi sulit ditutupi.
Baca juga: Ketika Hasil ”Rapid Test” Saya Dinyatakan Reaktif Covid-19
Sejatinya, saya tidak pernah bertemu tatap muka dengan empat wartawan yang disebutkan positif Covid-19 itu. Basis liputan saya memang bukan di Mabes Polri seperti mereka.
Namun, saya hafal betul, mayoritas wartawan yang sama-sama liputan di Bandara Halim sehari-hari meliput di Mabes Polri dan kemungkinan besar berinteraksi dengan keempat wartawan yang positif Covid-19 itu. Wajar jika kemudian saya merasa waswas.
Berdesak-desakan
Liputan di tengah pandemi menjadi pelajaran sekaligus peringatan bagi saya. Bagaimana tidak, saat liputan pemboyongan Joko Tjandra dari Kuala Lumpur ke Bandara Halim, rasa-rasanya protokol kesehatan itu hanya sebatas slogan. Seakan-akan semua lupa bahwa virus berbahaya masih mengintai.
Situasi di Bandara Halim saat itu memang sangat padat. Protokol kesehatan seolah tak berarti bagi semua yang ada di sana, termasuk wartawan dan polisi. Kami merasa cukup hanya memakai masker. Padahal, ada satu lagi protokol kesehatan yang harus dipatuhi demi mencegah transmisi virus, yaitu menjaga jarak. Barangkali situasi juga yang mau tak mau mendorong kami pada sikap abai.
Baca juga: Liputan Referendum Timor Timur: Menatap Saudaraku Jauh Melangkah
Sungguh, tak ada berita seharga nyawa. Pesan itu selalu saya ingat. Tetapi, siapa wartawan yang mau kehilangan kesempatan ini? Penangkapan buronan 11 tahun yang kini bahkan menyeret sejumlah nama pejabat Polri dan seorang jaksa, Pinangki Sirna Malasari, sebagai tersangka. Ini tentu akan jadi pengalaman liputan yang belum tentu terulang.
Peristiwa serupa pernah terjadi sembilan tahun lalu ketika Nazaruddin ditangkap di Kolombia dan dibawa pulang ke Jakarta. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkannya sebagai tersangka kasus korupsi suap Wisma Atlet di Palembang, Sumatera Selatan, dan pembangunan kompleks olahraga di Hambalang, Bogor. Namun, saat itu situasinya berbeda. Tidak ada pandemi seperti sekarang.
Malam itu, saat kedatangan Joko Tjandra di Bandara Halim, sebenarnya saya sedang mendapat jatah libur. Namun, karena sejak awal mengikuti kasusnya, saya merasa ada tanggung jawab besar untuk mengikuti isu ini. Sejak awal Joko Tjandra terendus masuk ke Indonesia pada 8 Juni 2020, saya rutin mengawal kasusnya. Tentu saja, pada saat-saat yang penting ini saya tidak mau ketinggalan.
Ketika editor lalu meminta saya berangkat ke Bandara Halim, tanpa ragu-ragu langsung saya iyakan. Tak lama, pesan dari editor dan teman-teman satu desk berdatangan. Semua meminta saya ekstra hati-hati dan tetap mematuhi protokol kesehatan.
Baca juga: Satu Kata yang Bikin Dua Kelompok Kolintang Geger
”Wooii. Inget Covid mengintai. Pakai masker dan faceshield. Jangan ngupil dan ucek-ucek mata, korek-korek kuping. Inget jangan desek-desekan,” pesan senior saya yang pos liputan di Istana Kepresidenan.
Ternyata memang tidak mudah mematuhi pesannya, terutama soal jangan berdesak-desakan. Situasinya, setengah jam sebelum pesawat yang membawa Joko Tjandra mendarat di Bandara Halim, telah berkumpul lebih dari 50 wartawan di halaman luar ruang tunggu VVIP Bandara Halim.
Tidak semua diperbolehkan melewati gerbang kecil, yang lebarnya hanya muat satu orang dewasa. Gerbang yang menjadi satu-satunya akses menuju landasan pacu pesawat itu dijaga petugas kepolisian bersenjata lengkap. Salah seorang anggota Polri kemudian mendata identitas wartawan dan asal medianya. Wartawan televisi kemudian didahulukan masuk.
Sisanya, sekitar 30 orang dari media cetak dan media online mencoba ikut masuk. Namun, tetap tidak diperkenankan. Akibatnya, suasana semakin riuh setelah muncul tanda-tanda pesawat akan segera mendarat. Wartawan foto yang tidak diperbolehkan masuk melayangkan protes kepada petugas kepolisian yang dianggap tidak adil. Sayangnya, protes mereka tidak digubris hingga akhirnya pesawat benar-benar mendarat.
Baca juga: Pengalaman Tak Terduga Menuju Dusun Mondoliko yang Terancam Tenggelam
Akibatnya, semua berdesak-desakan karena tidak ingin ketinggalan mengabadikan momen ”kepulangan” Joko Tjandra yang muncul sudah dalam balutan rompi oranye khas tahanan.
Kerumunan semakin tak terelakkan ketika Joko Tjandra digiring ke mobil tahanan untuk dibawa ke Gedung Bareskrim Polri, Jakarta. Sungguh, saat itu protokol kesehatan benar-benar diabaikan demi sebuah berita. Padahal, mungkin saja virus SARS-Cov-2 saat itu sedang ”tertawa-tawa” mengincar kami.
Pengalaman pertama
Seusai liputan tersebut, enam wartawan harian Kompas menjalani tes usap (swab) PCR di salah satu rumah sakit di Jakarta, Selasa (4/8/2020). Itu kali pertama saya menjalani tes dengan protokol kesehatan yang demikian ketat. Perawat dan dokter, semua mengenakan alat pelindung diri lengkap.
Untuk kali pertama juga saya merasakan benda panjang, seperti cotton bud, hanya saja ukurannya lebih besar, masuk ke tenggorokan dan salah satu lubang hidung saya. Tidak terasa sakit ketika menyentuh tenggorokan.
Baca juga: Mengikuti Perburuan Teroris di Palu dan Poso
Namun, tidak begitu saat masuk ke lubang hidung. Rasanya seperti kemasukan air saat berenang. Dokter hanya coba menenangkan, ”Ditahan saja.” ”Tak semudah itu, Dok,” batin saya sambil meringis.
Tes swab PCR selesai. Dokter menginformasikan hasil tes akan dikirimkan setidaknya tiga hari lagi. Saya mengangguk paham dan segera pulang.
Belum genap tiga hari, tepatnya Kamis (6/8/2020) pukul 08.48, Mas Antony Lee mengirimkan pesan kepada saya. ”Selamat ya, hasilnya negatif.” Hasil yang sama diterima lima wartawan Kompas lainnya.
Singkat, tetapi hati ini rasanya lega betul saat membaca pesan tersebut. Saat itu juga saya langsung teringat kedua orangtua. Segera saya teruskan informasi itu kepada mereka. ”Puji Tuhan. Oke, tetap sehat. Semangaaat,” balas mereka. Terima kasih Tuhan, kesehatan memang menjadi hal yang sangat berharga di saat-saat seperti ini.