”The Age of Surveillance Capitalism” dan Belenggu Manusia dalam Pengawasan Digital
Shoshana Zuboff mengungkapkan kegelisahannya mengenai masa depan manusia di era digital yang membawa gejala kapitalisme pengawasan atau ”surveillance capitalism”.
Perkembangan teknologi dengan prinsip internet of things telah memudahkan hidup manusia. Tanpa disadari, kebiasaan menggunakan teknologi ini dikonversi menjadi data yang penting bagi perusahaan digital. Berhadapan dengan ini, kapitalisme model baru menunjukkan tajinya.
Di era digital saat ini, dengan mudah manusia bisa memanfaatkan beragam aplikasi untuk membantu beraktivitas. Mulai dari menunjukan rute perjalanan ke lokasi yang belum pernah dikunjungi, memesan barang atau jasa melalui aplikasi digital, agenda pertemuan yang dipasang di kalender gawai, dan masih banyak aktivitas lainnya yang dimudahkan berkat internet. Sering kali, gawai dan internet dirasakan sebagai instrumen yang membantu dan berada dalam kuasa penuh si pengguna.
Kerap, muncul iklan-iklan barang dan jasa di media sosial terkait kebutuhan atau kegemaran si pengguna. Ada pengguna yang tidak peduli mengenai ini, tetapiada pula yang sudah sadar dan secara spontan menyebutkan begitulah prinsip algoritma yang berlaku dalam mesin pencarian internet saat ini. Pertanyaannya, apakah ini sebatas algoritma internet saja demi memudahkan pengguna?
Dalam hal ini, pengguna sering kali luput menyadari bahwa ketika menggunakan aplikasi melalui telepon pintar atau gawai lainnya, pengguna memberikan izin bagi aplikasi tersebut untuk mengakses data pribadi pengguna. Misalnya galeri foto, video, hingga seluruh kontak yang disimpan dalam gawai pengguna. Contoh lainnya dapat terlihat jelas dari aplikasi peta digital di gawai pengguna, yang jika diperhatikan, memuat rekaman perjalan pengguna ke lokasi-lokasi seperti rumah, kantor, restoran, atau tempat lainnya.
Padahal, semua itu masuk dalam ranah privasi pengguna yang secara tidak sadar dibagikan ke pihak pembuat aplikasi. Jika disadari lebih dalam lagi, makin kecil ruang kehidupan pribadi pengguna ketika semuanya serba dibagikan di dunia maya karena ada pihak ketiga yang memantau aktivitas pengguna. Masalahnya, semua aktivitas dan kebiasaan ini menjadi aset penting bagi pihak ketiga untuk berbagai kepentingan, seperti ekonomi, sosial, dan bahkan politik.
Kapitalisme pengawasan
Pola pengguna gawai dan internet seperti yang tertulis di atas telah dirangkum dan dimaknai lebih dalam oleh Shoshana Zuboff dalam bukunya yang berjudul The Age of Surveillance Capitalism: The Fight for a Human Future at the New Frontier of Power (2019).
Melalui buku setebal 704 halaman ini, profesor lulusan Harvard Business School ini mengungkapkan kegelisahannya mengenai masa depan manusia di tengah perkembangan teknologi informasi. Masalahnya, teknologi informasi ini dikuasai oleh sejumlah korporasi seperti Google dan Facebook.
Zuboff menyebutkan bahwa saat ini manusia berhadapan dengan era kapitalisme pengawasan (surveillance capitalism). Ringkasnya, kapitalisme pengawasan memanfaatkan kebiasaan pengguna internet yang kemudian dikonversi menjadi data (melalui sistem komputasi) dan digunakan untuk berbagai kepentingan.
Misalnya contoh yang disebutkan sebelumnya, ketika pengguna mengetikkan kata ”sepeda” di mesin pencarian, maka iklan-iklan yang berkaitan dengan sepeda akan muncul di lini masa media sosial pengguna.
Sekilas, sistem komputasi ini membantu, tetapi dapat pula mengganggu ranah pribadi pengguna. Masih dengan contoh ”sepeda” tadi, si pengguna sebenarnya tidak hanya ingin tahu model-model sepeda yang sedang tren. Lalu, karena gencarnya iklan sepeda yang ia lihat di media sosial, maka ia membeli sepeda meski tidak relevan dengan kebutuhannya saat ini. Konsumerisme yang tersulut ini dapat menjadi salah satu dampak negatif dari kapitalisme pengawasan.
Istilah ”kapitalisme pengawasan” dipilih Zuboff karena manusia menjadi sebatas komoditas ekonomi belaka. Zuboff mengembangkan ide dari Karl Marx mengenai kapitalisme sebagai faktor yang mengakibatkan manusia teralienasi (terasing dari dirinya) karena pekerjaan yang dilakukan. Sementara dalam kapitalisme pengawasan, manusia terasing bukan karena pekerjaannya, melainkan karena ranah pribadinya (melalui data digital) telah dikuasai pihak ketiga (Bab 1).
Dapat dikatakan, Zuboff menguasai keterkaitan antara kapitalisme dan teknologi sejak karya-karya awalnya. Pada 1988, Zuboff menuliskan buku berjudul In the Age of the Smart Machine” yang berisikan analisis serta prediksi mengenai pengaruh teknologi komputer, secara khusus di ranah sosial dan ekonomi. Dalam buku ini, Zuboff sudah melihat adanya peran teknologi yang akan melumat sistem produksi tradisional beserta tenaga kerja di dalamnya.
Di buku The Age of Surveillance Capitalism, Zuboff lebih menaruh perhatian pada dampak ekonomi dari penerapan kapitalisme pengawasan. Pertama-tama, Zuboff mengulas perusahaan-perusahaan digital raksasa yang tumbuh subur di Amerika Serikat. Seiring dengan bertumbuhnya pendapatan perusahaan-perusahaan digital ini, para pemilik usaha, seperti Mark Zuckerberg dan Larry Page, membuat sistem kapitalisme pengawasan di dalamnya.
Zuboff menyorot lima perusahaan teknologi, yakni Amazon, Apple, Facebook, Microsoft, dan terutama Google. Secara implisit, Zuboff menuding Google sebagai pelopor kapitalisme pengawasan dengan fitur mesin pencarian hingga sistem Android yang kini tersemat pada sebagian besar ponsel pintar di dunia. Riwayat pencarian pengguna, pesan suara, jejak rute peta perjalanan, atau kontak di surel dikonversi ke dalam data yang kemudian menjadi komoditas bagi perusahaan digital lainnya.
Dalam analisisnya, Zuboff membuat empat tahap yang disebut ”siklus disposisi” (disposition cycle). Keempat tahap ini terdiri dari serangan (incursion), pembiasaan (habituation), adaptasi (adaptation), dan pengalihan (redirection). Masing-masing berjalan secara bertahap dan terus berputar seperti sebuah siklus. Dengan kata lain, Zuboff menegaskan bahwa pengguna aplikasi digital terjebak dalam siklus ini (Bab V).
Sampai titik ini, Zuboff kembali mengingatkan bahwa setiap pengguna internet akan mendapat pengawasan selama menggunakan media tersebut. Pengawasan ini dilakukan bukan karena pengguna internet berpotensi melakukan hal berbahaya atau merugikan, melainkan karena pengguna dibutuhkan sebagai pemasok data dan obyek promosi bagi perusahaan-perusahaan digital.
Alasan ekonomi
Layaknya paham kapitalisme lainnya, kapitalisme pengawasan tidak lain bertujuan untuk memperoleh keuntungan secara ekonomi dengan memanfaatkan data pengguna. Zuboff menyebut hamparan data pengguna ini sebagai sebuah ”tambang baru” dan petambangnya ialah perusahaan teknologi. Data pengguna layaknya emas yang diperebutkan agar perusahaan dapat menawarkan produk mereka secara tepat dan efisien.
Bagi perusahaan, sistem kapitalisme pengawasan ini justru menghemat dari segi biaya. Pengawasan justru dilakukan dengan peralatan yang hampir dimiliki oleh tiap orang, yakni telepon pintar dan internet. Dengan model ini, perusahaan cukup berinvestasi besar pada sistem komputasi mereka dan membiarkan para pengguna yang memberikan asupan bagi komoditas perusahaan.
Tren permainan digital Pokemon Go pada 2016-2017 menjadi fenomena yang dijadikan Zuboff sebagai pembuktian efektifnya kapitalisme pengawasan bagi perusahaan digital dan konvensional. Niantic, selaku perusahaan permainan yang membuat Pokemon Go, dapat mengakses rute perjalanan pemain secara rinci, tempat yang dikunjungi, fitur kamera, dan sebagainya.
Dengan begitu, dari data yang terkumpul, Niantic dapat memetakan serta memprediksikan kebiasaan pemain terkait tempat bermainnya, durasi bermain, bahkan kapan saja pemain tersebut bermain Pokemon Go.
Data yang berhasil diolah Niantic ini kemudian menjadi komoditas yang dapat ditawarkan ke perusahaan lainnya. Misalnya, gerai McDonald’s di Jepang pada pertengahan 2016 bekerja sama dengan Niantic sebagai sponsor Pokemon Go dan pihak Niantic kemudian menetapkan lokasi gerai-gerai McDonald’s sebagai lokasi permainan Pokemon Go. Sebagai imbalannya, penjualan McDonald’s di Jepang saat itu pun meningkat tajam.
Sepanjang penelusuran atas argumen-argumen yang disusun Zuboff dalam buku ini, ia tidak menunjukkan ketertarikannya terhadap bidang lain selain ekonomi. Dalam Bab IX, Zuboff sempat membahas mengenai skandal yang dilakukan oleh Facebook dan Cambridge Analytica terkait kampanye Donald Trump, tetapi pandangannya terhadap peristiwa ini justru positif. Zuboff secara eksplisit mendukung impian utopia Skinner bahwa masyarakat dapat diarahkan (hak politisnya sebagai warga negara) bila semua kebiasaan individu di dalamnya dapat dipantau dan diprediksikan oleh pemerintah.
Dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa Zuboff memandang kapitalisme pengawasan membawa dampak negatif dari segi ekonomi bagi pengguna. Bersamaan dengan itu, ia cenderung mendukung bila sistem ini diberlakukan di masyarakat terkait hal-hal politis, alasannya demi mencapai kehidupan masyarakat yang ideal. Tentu saja, argumentasi Zuboff ini masih terbuka dan menarik untuk didiskusikan lebih lanjut.
Kritik
Terlepas dari argumentasinya yang berkutat di sektor ekonomi, Zuboff justru terjatuh ke lubang yang sama seperti para pemikir antikapitalisme lainnya. Para pemikir antikapitalisme, seperti Karl Marx, Friedrich Engels, atau Emma Goldman, cenderung memandang manusia sebagai makhluk pekerja yang tertindas oleh kaum elite. Idealisme utopis yang dibawa oleh para pemikir ini adalah adanya kesamaan strata sosial dalam hidup bermasyarakat.
Sayangnya, pemikiran ini lemah karena cenderung memandang manusia sebagai manusia pekerja (homo faber) saja. Manusia sebagai makhluk yang memiliki akal budi, martabat, dan kedaulatan atas dirinya tidak menjadi cakupan pembahasan dalam konsep pemikiran kaum antikapitalis. Tampaknya begitu pula yang terjadi pada Zuboff.
Saat ini manusia berhadapan dengan era kapitalisme pengawasan.
Begitu pula pemikiran Skinner, khususnya dalam Walden Two (1948), yang banyak disadur oleh Zuboff ketika membahas masyarakat yang ideal. Secara ringkas, Skinner mendambakan adanya masyarakat berisikan individu-individu yang bersikap baik dan diperoleh dari proses pendidikan. Kondisi masyarakat yang serba baik ini sengaja dibentuk sejak dini demi mencapai kehidupan yang ideal dalam tatanan hidup bersama.
Idealisme ini cukup mendapat kritikan karena selain utopis, manusia dipandang sebagai makhluk yang serba bisa diatur seturut keinginan ”si pengatur”. Skinner pun tidak menjelaskan dengan gamblang siapa tokoh ”si pengatur” tersebut. Dengan konsep ini, lagi-lagi faktor kebebasan manusia dalam menentukan hidupnya tidak masuk perhitungan Skinner.
Lagi pula, pemikiran para kaum positivisme mengenai masyarakat yang dapat diprediksi sudah jarang digunakan. Sebab, ada sisi sosial yang tidak diperhatikan, seperti adanya budaya dan ideologi di masyarakat. Kedua hal tersebut tentu beragam, bahkan di suatu masyarakat dapat ditemukan lebih dari satu jenis budaya yang dianut.
Maka, titik lemah argumentasi Zuboff terletak pada faktor kehendak bebas manusia. Di masa kapitalisme pengawasan seperti saat ini, penilaian Zuboff memang tepat untuk melihat cara kerja perusahaan digital dalam memanfaatkan data pengguna. Meski begitu, pilihan akhir untuk membeli produk barang atau jasa, menggunakan aplikasi digital, dan sebagainya tetap berada pada diri si pengguna.
Zuboff belum memperhitungkan kehendak manusia dan hakikat manusia yang bebas seperti yang diutarakan Juan Stuart Mill, filsuf Inggris (1806-1873). Sejatinya, manusia memiliki kehendak bebas, baik bebas untuk memilih sesuatu ataupun bebas dari segala sesuatu. Ide kehendak bebas pada manusia inilah yang menjadi cikal bakal adanya hak asasi manusia dan kebebasan individu yang dijamin oleh undang-undang negara.
Kendati masih ada kekurangan dan terbuka pada perbincangan ilmiah selanjutnya, buku terbitan Public Affairs (New York, Amerika Serikat) ini begitu menarik untuk dibaca. Memang diperlukan daya tahan untuk dapat menghabiskan sekitar 700 halaman, tetapi banyak inspirasi yang dapat ditemukan dan digali terutama berkaitan dengan sistem kapitalisme pengawasan. Perlu dicatat, belum banyak karya literatur yang membahas kapitalisme pengawasan untuk saat ini. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: ”When Violence Works” dan Usaha Mengurai Konflik Kekerasan di Indonesia