Pengalaman dan peluang besar menjadi juara justru menjadi beban bagi Dominic Thiem. Ketika akhirnya berhasil menjadi juara AS Terbuka, status spesialis "runner up" pun terlepas. Thiem kini adalah juara Grand Slam.
Oleh
YULIA SAPTHIANI
·5 menit baca
Gelar juara tunggal putra Amerika Serikat Terbuka 2020 membuat Dominic Thiem tak akan lagi disebut sebagai spesialis runner up turnamen Grand Slam. Gelar pemutus predikat itu didapat berkat kuatnya kepercayaan diri Thiem, meski harus menjalani laga panjang setelah kehilangan dua set awal dalam final.
Trofi juara dari turnamen lapangan keras di Flushing Meadows, New York, itu didapatnya setelah mengalahkan Alexander Zverev, Minggu (13/9/2020), 2-6, 4-6, 6-4, 6-4, 7-6 (8-6), dalam pertandingan selama 4 jam 2 menit. Thiem pun menjadi petenis Austria kedua dalam daftar juara Grand Slam, setelah Thomas Muster yang menjurai Perancis Terbuka 1995.
Dalam era Terbuka, ketika turnamen tenis menggabungkan petenis amatir dan profesional sejak 1968, baru Thiem yang bisa menjadi juara AS Terbuka setelah kehilangan dua set awal. Hal itu pernah terjadi 71 tahun lalu, saat masih berstatus Kejuaraan Nasional di AS. Dalam pertemuan dua petenis AS pada final 1949, Panco Gonzalez mengalahkan Ted Schroeder, 16-18, 2-6, 6-1, 6-2, 6-4.
Sebelum menjadi kampiun AS Terbuka, Thiem mendapat tiga kesempatan lain tampil pada final Perancis Terbuka 2018 dan 2019, serta Australia Terbuka 2020. Namun, di lapangan tanah liat Roland Garros, Paris, Thiem selalu dihadang Rafael Nadal, sedangkan Novak Djokovic mengalahkannya di Melbourne Park, Australia.
Berhadapan dengan Zverev, yang baru kali ini lolos ke final panggung kompetisi terbesar di tenis, pengalaman tiga final sebelumnya seharusnya menjadi bekal bagi Thiem. Namun, nyatanya, hal itu tak berpengaruh.
Kesempatan dan keinginan besar untuk juara, apalagi ketika tak ada trio "Big Three": Roger Federer, Rafael Nadal, dan Novak Djokovic, yang menjadi penguasa gelar Grand Slam 16 tahun terakhir, berubah menjadi beban bagi Thiem. Adapun Federer tak ikut bersaing di Flushing Meadows karena cedera lutut kanan yang membuatnya menjalani operasi. Nadal absen karena khawatir dengan situasi pandemi Covid-19 di AS, hingga memilih bersiap untuk turnamen tanah liat di Eropa, mulai pekan ini.
Djokovic sebenarnya menjadi favorit juara sejak tiba di “gelembung” New York. Tetapi, tunggal putra nomor satu dunia itu didiskualifikasi pada babak keempat saat berhadapan dengan Pablo Carreno Busta. Pada set pertama, bola yang dipukulnya ke belakang mengenai leher salah satu penjaga garis. Meski dilakukan tanpa sengaja, sanksi diskualifikasi diberlakukan karena tindakan tersebut membahayakan orang lain.
Tekanan mental
Dengan semua situasi yang membuatnya menjadi favorit juara itu, rasa tegang membuat otot tubuh dan pergerakan Thiem kaku saat laga final. Menjelang tie break set kelima, Thiem bahkan meminta perawatan tim medis untuk merelaksasi kram di kakinya.
Belakangan, Thiem mengakui bahwa itu terjadi akibat tekanan mental yang besar. “Kaki saya sangat kaku, seperti yang terjadi pada awal pertandingan,” katanya. Situasi itu membuatnya tampil sangat buruk hingga banyak membuat kesalahan. Setelah kehilangan set pertama, Thiem tertinggal 1-5 pada set berikutnya.
“Benak saya dipenuhi banyak pertanyaan. Bagaimana jika kehilangan gim atau set ini? Apakah kesempatan seperti ini akan datang lagi atau tidak? Pada akhirnya, kondisi tersebut membuat saya tidak bisa bermain dengan baik,” ujar Thiem.
Momen mematahkan servis Zverev untuk pertama kalinya, pada gim keempat set ketiga, menjadi titik balik bagi Thiem. Dia memanfaatkan celah ketika kekuatan servis Zverev, yang mencapai kecepatan maksimal 225 kilometer per jam, melemah.
Penantian Thiem pun terwujud ketika bola dari backhand Zverev jatuh di luar garis permainan tunggal. Spontan, dia berbaring telentang di lapangan. Petenis berusia 27 tahun itu lega bisa melepas beban beratnya untuk mencapai prestasi tertinggi di arena tenis profesional.
Dari tanah liat ke lapangan keras
Thiem, yang lahir pada 3 September 1993, berasal dari keluarga yang sangat mengenal tenis. Orang tuanya, Wolfgang (ayah) dan Karin (ibu), berprofesi sebagai pelatih tenis. Adik laki-lakinya yang enam tahun lebih muda, Moritz, juga menjadi petenis profesional.
Ketika Wolfgang menjadi pelatih di akademi tenis milik Guenter Bresnik, di Vienna, pada 1996, perkenalan Thiem yang baru berusia tiga tahun dengan Bresnik pun dimulai. Bresnik, kemudian menjadi pelatih Thiem saat berusia sembilan tahun, hingga digantikan Nicolas Massu pada Februari 2019.
Tiket semifinal dari Perancis Terbuka 2016 mulai membuat Thiem, yang juga menggemari sepak bola itu, dipandang sebagai penerus era “Big Three” dalam daftar juara Grand Slam. Meski tak kunjung juara di lapangan tanah liat itu, penampilannya terus berkembang.
Momen empat tahun lalu itulah yang mulai menumbuhkan kepercayaan diri Thiem bahwa dia bisa menjuarai Grand Slam. “Sejak saat itu, saya selalu memimpikannya dan saya pikir, itu adalah target yang realistis,” katanya.
Saya menyadari cara main saya bisa cocok di lapangan keras. Ditambah dengan kedatangan Nico, permainan saya di lapangan keras pun berkembang.
Dari rekam jejak perjalannya (dua semifinal dan dua final Perancis Terbuka sejak 2016), petenis bertipe baseliner agresif ini berpikir bahwa gelar pertama dari Grand Slam akan didapat dari lapangan tanah liat Roland Garros. Apalagi, dari 11 gelar turnamen ATP pada 2015-2018, delapan di antaranya didapat dari tanah liat.
Pikirannya terbuka setelah Thiem mendapat gelar pertama di ajang besar, ATP Masters 1000 Indian Wells 2019, yang justru berlangsung di lapangan keras. Gelar itu termasuk tiga gelar di lapangan keras dan dua gelar dari tanah liat pada musim 2019.
“Saya menyadari cara main saya bisa cocok di lapangan keras. Ditambah dengan kedatangan Nico (panggilan Thiem untuk pelatih Nicolass Massu), permainan saya di lapangan keras pun berkembang. Jadi, saya tidak terlalu terkejut ketika gelar pertama Grand Slam justu datang dari AS Terbuka, bukan Perancis,” tutur Thiem, semifinalis Australia Terbuka 2020, yang juga berlangsung di lapangan keras.
Keyakinannya diperkuat pendapat Massu. “Saya tahu dia bisa bermain dengan bagus di lapangan lain sebelum saya melatihnya. Hanya perlu hal-hal kecil yang ditambahkan pada permainannya,” ujar mantan petenis yang meraih medali emas tunggal dan ganda putra (bersama Fernando Gonzalez) pada Olimpiade Athena 2004 itu.
Kepercayaan diri yang dipupuk sejak Perancis Terbuka 2016 akhirnya memberi hasil setelah melalui perjalanan terjal, tak hanya dalam final AS Terbuka, melainkan selama empat tahun terakhir. “Ada satu hal yang membuat saya menang hari ini, yaitu kepercayaan diri yang lebih kuat daripada tubuh saya,” katanya. (AFP/AP)
Dominic Thiem
Lahir : Wiener Neustadt (Austria), 3 September 1993
Orang tua : Wolfgang dan Karin Thiem
Main profesional : 2011
Pelatih : Guenter Bresnik (2002-2019), Nicolas Massu (2019-saat ini)
Bermain dengan : tangan kanan (backhand satu tangan)