Pemeriksaan Covid-19 Kini Makin Cepat
Pemeriksaan Covid-19 di Indonesia belum sesuai target. Di sisi lain, teknologi pemeriksaan terus berkembang. Kini, tersedia teknologi yang memungkinkan pemeriksaan adanya virus dan bakteri sekaligus dalam waktu singkat.
Kematian akibat Covid-19 antara lain karena gejala klinis yang tidak khas sehingga sering kali tidak disadari. Pada beberapa kasus, perburukan penyakit berjalan dengan cepat. Akibatnya, penanganan bisa dikatakan terlambat.
Karena itu, selain penderita perlu waspada terhadap gejala yang dirasakan, perlu ada pemeriksaan Covid-19 yang lebih cepat dan bisa diandalkan. Saat ini telah tersedia teknologi yang memungkinkan pemeriksaan virus penyebab Covid-19 dan keberadaan virus lain serta bakteri dalam sekali periksa dan hasilnya bisa didapat dalam waktu singkat.
Para ahli patologi klinik membahas hal ini dalam seminar daring tentang Deteksi Covid-19 Melalui Rapid Multiplex PCR, Sabtu (12/9/2020).
Baca juga: Laboratorium Bergerak Percepat Capaian Tes Covid-19
Tonny Loho, dokter spesialis patologi klinik serta pengajar pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Kristen Krida Wacana mengatakan, gejala klinis Covid-19 sulit dibedakan dengan infeksi pernapasan atau infeksi saluran pencernaan lain. Gejala itu, antara lain, berupa batuk kering, lemah, demam, diare, dan sakit perut. Penderita sering tidak menyadari. Tahu-tahu mengalami sesak napas ketika penyakit sudah lanjut dan paru telah terganggu.
Saat pasien dengan dugaan Covid-19 tiba di rumah sakit, dokter perlu segera menegakkan diagnosis. Untuk itu diperlukan pemeriksaan yang hasilnya cepat dan tepat.
Pemeriksaan laboratorium bisa dilakukan dengan deteksi virus, yakni lewat isolasi virus. Metode pemeriksaan ini mahal, tetapi bisa mendeteksi secara tepat jenis virus serta apakah virus masih bereplikasi dan menular atau tidak.
Cara lain adalah deteksi antigen virus serta deteksi asam nukleat virus yang bisa dilakukan dengan isothermal amplification ataupun dengan reaksi rantai polimerase (polymerase chain reaction/PCR). Tes PCR bisa single primer yang hanya mendeteksi SARS-CoV-2 atau multiprimer (multiplex) yang mampu mendeteksi SARS-CoV-2 serta keberadaan virus dan bakteri lain.
Pemeriksan Covid-19 yang lain adalah lewat deteksi respons imun terhadap virus. Dalam hal ini mendeteksi keberadaan immunoglobulin (Ig)M dan IgG melalui beberapa metode, seperti enzyme linked immunosorbent assay (ELISA), chemiluminescent immuno assay (CLIA), dan lateral flow immunoassay (LFIA) atau dikenal sebagai rapid test.
Untuk mendapat hasil yang cepat dan mampu mendeteksi virus penyebab Covid-19 ataupun virus dan bakteri lain, Tonny menyarankan syndromic testing, yakni satu pemeriksaan yang sekaligus menarget berbagai patogen (kuman penyebab penyakit) dengan gejala dan tanda yang mirip. Hal itu bisa dilakukan dengan pemeriksaan menggunakan multi primer (multiplex) dalam satu cartridge.
Tes PCR ini mampu mendeteksi keberadaan virus dan bakteri dalam waktu sekitar 1 jam. Selain diagnosis bisa ditegakkan secara cepat, dokter juga bisa mengetahui perlu tidaknya pemberian antibiotik kepada pasien serta kesesuaian antibiotik dengan bakteri yang ada. Jika hanya ada virus, pasien tidak perlu diberikan antibiotik.
Tes serologi
Jika tes PCR negatif, tetapi pasien menunjukkan gejala Covid-19 bisa dilakukan tes serologi. Menurut Guru Besar Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/RSUD dr Soetomo Surabaya Aryati, tes serologi penting untuk mendiagnosis pasien terduga Covid-19 yang hasil tes PCR-nya negatif serta untuk mengidentifikasi orang yang terinfeksi tetapi tanpa gejala.
”Panduan WHO, antibodi IgM dan IgG spesifik Covid-19 dapat digunakan sebagai kriteria diagnosis untuk Covid-19. Pada saat tes asam nukleat virus negatif, diperlukan dua kali tes untuk memastikan,” katanya.
Penelitian pada 23 pasien, demikian Aryati, menunjukkan IgG dan IgM terhadap nukleoprotein (antiNP) dan domain pengikat reseptor (antiRBD) meningkat pada hari ke-10 atau lebih.
IgM mulai muncul pada hari ke-3 sampai ke-7 hingga puncaknya pada hari ke-28 dan mulai turun pada hari ke-42. IgG mulai tampak pada hari ke-4 sampai ke-10 dan mencapai puncak di hari ke-49.
IgM dan IgG meningkat tinggi pada pasien dengan gejala klinis berat. Neutralizing antibody (Nab) atau antibodi pengeliminasi kuman mencapai puncak pada hari ke-10 sampai ke-15 setelah terinfeksi.
Lebih lanjut, Aryati memaparkan, respons imun terhadap infeksi virus ada dua fase. Fase pertama yaitu respons imun bawaan, di mana tubuh memproduksi interferon dan sitokin. Tubuh akan menjadi demam, nyeri otot, dan sebagainya sebagai gejala awal infeksi.
Fase kedua, respons imun adaptif, terjadi pada hari ke-6 sampai ke-8 dari saat virus masuk tubuh. Timbul respons imun spesifik terhadap virus terkait. Proses ini melibatkan dua tipe sel darah putih, yakni sel T (respons seluler) dan sel B (respons antibodi).
Tes serologi bertujuan untuk melihat keberadaan antibodi, protein yang spesifik merespons infeksi. Metode pemeriksaan, antara lain, dengan ELISA, CLIA, enzyme linked fluorescence assay (ELFA), dan immunochromatography (ICT)/lateral flow assay (LFA).
Sensitivitas uji terhadap IgM dan IgG anti-SARS-CoV-2 bervariasi bergantung pada metode, waktu pemeriksaan, dan target antigen.
”Meski demikian, sensitivitas uji terhadap IgM dan IgG anti-SARS-CoV-2 bervariasi tergantung metode, waktu pemeriksaan, serta target antigen,” ujar Aryati.
Hati-hati gunakan antibiotik
Julien Textoris, Guru Besar Imunologi pada Fakultas Kesehatan Marseille yang kini menjadi Vice President Global Medical Affairs bioMerieux, menyatakan, pasien Covid-19 di unit perawatan intensif (ICU) umumnya mengalami sepsis, yakni infeksi berat yang bisa menyebabkan kegagalan berbagai organ, seperti paru, jantung, hati, dan sistem pembekuan darah.
Perlu hasil cepat dari pemeriksaan pasien yang diduga Covid-19 untuk menegakkan diagnosis. Hal itu dilakukan dengan tes PCR dan CT-scan dada.
Kajian dan metaanalisis dari 28 penelitian menunjukkan, ada 3,5 persen pasien datang dengan koinfeksi, yakni infeksi simultan dari virus dengan virus lain atau bakteri. Sedangkan 15,5 persen lain mendapatkan infeksi sekunder saat perawatan.
Umumnya koinfeksi disebabkan oleh Staphylococcus aureus, Haemophilus influenzae, Streptococcus pneumoniae, Klebsiella pneumoniae, dan kuman lain. Meski infeksi bakteri pada pasien Covid-19 hanya sekitar 20 persen, peresepan antibiotik mencapai 71,3 persen.
Menurut Ida Parwati, Guru Besar Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/RS Hasan Sadikin Bandung, penggunaan antibiotik berlebih bisa memicu terjadinya antimicrobial resistance (AMR). Dalam hal ini, resistensi bakteri pada antibiotik.
Antibiotik spektrum luas banyak digunakan pada pasien Covid-19. Karena itu, implementasi prinsip penatalaksanaan pemberian antibiotik menjadi penting untuk menjaga dampak terapi agar tidak terjadi AMR.
”Perlu pemeriksaan cepat dan lengkap untuk mendapatkan informasi virus dan bakteri apa saja yang ada agar pasien bisa diobati sekaligus meminimalkan AMR,” ujar Ida.
Sementara itu, pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada yang juga peneliti di Universitas La Trobe, Australia, dan CEO National Hospital, Surabaya, Hans Wijaya memaparkan perlunya tes PCR rutin untuk tenaga kesehatan guna menjamin keamanan dan keselamatan tenaga medis serta pasien. Selain itu, penggunaan alat pelindung diri (APD) sesuai dengan standar.
Di masa pandemi Covid-19, National Hospital melakukan berbagai langkah inovasi, di antaranya mempermudah akses tes PCR dengan layanan ke rumah. Warga yang memerlukan tes bisa diambil usapan hidung atau tenggorokan di rumah. Selain yang hasilnya didapat dalam waktu sehari, ada pula pemeriksaan yang hasilnya bisa didapat dalam dua jam dan dikirim via e-mail.
Untuk memberikan rasa aman, pasien rawat jalan bisa berkonsultasi medis lewat telemedicine. Akses rekam medis bagi pasien juga dipermudah. Langkah tersebut membuat pendapatan rumah sakit meningkat.
Tantangan pemeriksaan
Meski telah tersedia teknologi yang memungkinkan pemeriksaan Covid-19 dengan PCR yang hasilnya bisa didapat dalam waktu sekitar 2 jam, biayanya masih dirasa mahal. Saat ini, tes PCR dengan multiprimer yang memberikan hasil lengkap dan sangat cepat hanya bisa didapat di rumah sakit atau laboratorium tertentu.
Bagi Kementerian Kesehatan, penyediaan pemeriksaan Covid-19 di seluruh Indonesia masih merupakan tantangan. Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan Abdul Kadir, dalam pidato utama seminar daring tersebut, menyatakan, saat ini baru ada 322 laboratorium pemeriksa Covid-19 milik pemerintah dan swasta di seluruh Indonesia.
Metode yang digunakan adalah RT PCR dan GeneXpert. Yang terakhir dikenal juga sebagai tes cepat molekuler (TCM), menggunakan mesin yang biasanya untuk memeriksa dahak pasien tuberkulosis. Mesin yang ada di sejumlah rumah sakit dan puskesmas tersebut dikonversi dengan cartridge khusus untuk memeriksa virus penyebab Covid-19.
Menurut Abdul Kadir, produsen cartridge tersebut hanya ada dua, yakni di Swiss dan Amerika Serikat. Karena banyak negara membutuhkan, Indonesia tidak bisa mendapatkan jumlah cartridge sesuai dengan kebutuhan. Dari kebutuhan 300.000 cartridge per bulan, hanya bisa mendapatkan 3.000 cartridge per bulan.
Abdul Kadir mengakui, jumlah laboratorium belum mencukupi untuk melaksanakan pemeriksaan bagi penduduk Indonesia. ”Masalahnya, laboratorium pemeriksa Covid-19 harus memenuhi persyaratan keselamatan dan keamanan, minimal biosafety level (BSL) 2. Hal itu karena virus yang diperiksa sangat menular dan berbahaya. Jangan sampai pemeriksaan laboratorium justru menimbulkan kluster penularan baru,” tuturnya.
Lebih lanjut ia memaparkan sejumlah tantangan dalam pemeriksaan Covid-19, seperti tidak sederhananya koordinasi daerah dan pusat serta adanya penundaan pemeriksaan pada daerah yang belum memiliki laboratorium sehingga harus mengirim spesimen ke daerah lain. Hal lain, belum memadainya sumber daya manusia teknisi laboratorium yang terampil. Terkait reagen atau primer, perlu ada kesesuaian dengan alat pemeriksaan, serta validitas reagen. Zat yang diperlukan untuk pemeriksaan itu bisa rusak jika proses pengiriman tidak baik, misalnya terpapar suhu tinggi.
Ke depan, demikian Abdul Kadir, hal yang dilakukan Kemenkes adalah menjaga dan meningkatkan kualitas laboratorium, termasuk biosafety dan biosecurity, memperkuat jaringan laboratorium. Selain itu, memperbaiki sistem manajemen data laboratorium nasional serta memperkuat kolaborasi penelitian dan pengembangan terkait Covid-19.