Popularitas Joe Biden Menjelang Debat Perdana
Di tengah pandemi Covid-19 yang belum berkesudahan di Amerika Serikat, popularitas Joe Biden unggul atas Donald Trump dalam sejumlah jajak pendapat.
Dua pekan menjelang debat perdana, popularitas kandidat presiden Amerika Serikat dari Partai Demokrat, Joe Biden, mengungguli Donald Trump. Wabah Covid-19 yang terus merebak di AS menjadi salah satu sasaran isu kampanye.
Tidak sulit untuk membayangkan sosok Joe Biden. Kandidat presiden dari Partai Demokrat dalam pemilihan presiden AS pada 3 November 2020 nanti merupakan politisi senior yang sudah pernah dua kali menjabat Wakil Presiden AS. Di Indonesia, sosok Joe Biden memiliki kemiripan dengan figur Jusuf Kalla.
Usia Joe Biden saat ini adalah 77 tahun. Tidak jauh beda dengan mantan Wakil Presiden RI dua periode, Jusuf Kalla, yang berusia 78 tahun. Joe Biden, yang resmi dicalonkan oleh Demokrat pada Konvensi Nasional Demokrat, 20 Agustus 2020 lalu, juga merupakan wakil presiden dua periode. Ia menjadi wapres pada era Presiden Barack Obama.
Sebelum menjadi wakil presiden, Joe Biden adalah senator dari Negara Bagian Delaware. Biden, yang lahir pada 20 November 1942 di Pennsylvania, menjadi senator selama lebih kurang 36 tahun. Karena sarat pengalaman di Komite Hubungan Luar Negeri, Biden dijuluki ”menteri luar negeri” dari Senat.
Tidak heran, saat berpidato setelah ditetapkan sebagai calon presiden, Biden menunjukkan kegelisahannya terhadap sorotan AS di mata dunia dan bertekad memperkuat kembali wibawa luar negeri AS. Di masa depan, Biden ingin AS memimpin penanganan perubahan iklim global. Selain kampanye energi bersih, Biden juga menyoroti dua masalah besar yang memengaruhi citra AS, yaitu kekerasan rasial dan penanganan wabah Covid-19 di AS.
Biden menyatakan, menghapus noda rasialisme merupakan tantangan yang dihadapi AS saat ini. Isu kekerasan rasial di AS yang menyita perhatian dunia adalah kematian pemuda kulit hitam, George Floyd, pada Mei 2020. Floyd ditangkap polisi dan lehernya ditindih lutut seorang anggota Kepolisian Minneapolis.
Kasus terakhir adalah penembakan terhadap Jacob Blake. Polisi di Kenosha menembak pria kulit hitam di Wisconsin, Minggu, 23 Agustus 2020. Penembakan itu kembali memicu unjuk rasa memprotes rasialisme di AS.
Di luar kasus Floyd dan Blake, data statistik yang dikumpulkan Washington Post mencatat sedikitnya 5.624 kasus penembakan oleh polisi di AS sepanjang 1 Januari 2015 hingga 10 September 2020. Dari kasus tersebut, penembakan yang dialami warga kulit hitam dua kali lebih banyak dibandingkan warga kulit putih.
Kekerasan rasial ini bagi Biden mengingkari nilai-nilai hak asasi dan martabat antarwarga. Prasyarat untuk terwujudnya kehidupan yang lebih aman, damai, dan sejahtera membutuhkan kesetaraan hak-hak dasar. Karena itu, Biden juga menjanjikan untuk menghapus rasialisme dari karakter bangsa AS.
Isu Covid-19
Isu lain yang diangkat Biden adalah penanganan Covid-19 di AS. Ia menggambarkan penanganan wabah korona di AS dengan istilah worst performance (kinerja terburuk).
Biden menunjukkan sejumlah fakta, mulai dari peningkatan kasus, posisi AS dalam pandemi, hingga dampak korona terhadap penghidupan warga AS. Saat Biden berpidato pada 20 Agustus 2020 terdapat 5.740.840 juta orang AS terinfeksi Covid-19. Sebanyak 177.966 orang di antaranya meninggal.
Dari laman Worldometers, hingga 14 September 2020, kasus korona di AS bertambah menjadi 6.748.413 kasus dengan korban jiwa mencapai 198.963 orang. Dengan tambahan 1 juta kasus tersebut, AS tetap merupakan negara dengan kasus positif korona terbanyak di dunia.
Sebenarnya, jika dirunut ke belakang, sejak 26 Maret 2020, kasus korona di AS sudah menjadi yang terbanyak di dunia. Saat itu terdapat 101.657 kasus positif di AS dengan 1.581 orang meninggal. Artinya, sudah hampir enam bulan, wabah Covid-19 di AS belum tertangani dengan maksimal.
Selain dari jumlah kasus, Biden juga menyebutkan belum optimalnya kinerja penanganan Covid-19 yang berdampak pada perekonomian masyarakat. Wabah korona membuat satu dari enam usaha kecil tutup, lebih dari 50 juta orang menganggur, dan 10 juta orang terancam kehilangan jaminan kesehatan.
Tidak lupa, Biden juga menyinggung upaya pelemahan terhadap Undang-Undang Perawatan Terjangkau atau Affordable Care Act. Kebijakan yang juga dikenal sebagai Obamacare warisan pemerintahan Obama-Biden tersebut merupakan fasilitas asuransi kesehatan yang disediakan pemerintah untuk warga yang tidak bekerja dan tidak dilindungi asuransi kesehatan.
Dalam kondisi pandemi, jaminan kesehatan tersebut dapat meringankan beban warga yang membutuhkan akses layanan kesehatan. Melalui regulasi Affordable Care Act, pemerintah meluncurkan Medicaid, bantuan kesehatan bagi warga miskin yang disediakan negara-negara bagian lewat program jaminan sosial.
Karena itu, pelemahan Affordable Care Act dikhawatirkan Biden akan mengambil jaminan kesehatan lebih dari 20 juta orang, termasuk sekitar 15 juta orang yang mendapat layanan Medicaid.
Masih masifnya penularan virus korona di AS membutuhkan penanganan secara darurat. Lebih lanjut, kandidat presiden dari Partai Demokrat ini mengeluarkan program memerangi Covid-19 dan sekaligus mempersiapkan ancaman kesehatan global di masa depan. Biden menawarkan dua program utama, yaitu respons kesehatan dan perekonomian.
Pertama, dari sisi kesehatan. Biden menawarkan empat tindakan stretegis, yaitu uji massal Covid-19 secara gratis, penghapusan biaya perawatan dan pengobatan Covid-19, pengembangan vaksin, serta distribusi dan pengoperasian layanan logistik, tenaga medis, dan fasilitas kesehatan lain.
Melihat program darurat yang ditawarkan, tindakan yang ditawarkan Biden fokus pada penanganan penularan virus, mulai dari pencarian kasus, perawatan pasien, hingga pelacakan kontak erat untuk memutus rantai penularan.
Sesudah aspek kesehatan, respons darurat ekonomi diluncurkan untuk mencegah dampak Covid-19 di sektor perekonomian. Tindakan strategis dilakukan dengan memberikan bantuan tunai untuk warga yang terkena dampak wabah serta memberikan bantuan kepada pekerja, keluarga, dan usaha kecil yang terimbas dampak krisis ekonomi Covid-19.
Melihat bobot sasaran programnya, semua tindakan darurat yang dirancang Biden diarahkan untuk menjaga daya beli masyarakat saat pandemi. Selain memperkuat daya tahan warga, respons darurat ini juga bertujuan menahan efek krisis yang lebih dalam bagi perekonomian negara.
Akibat pandemi, pertumbuhan ekonomi AS pada triwulan II-2020 mengalami kontraksi 32,9 persen secara tahunan. Sesudah respons darurat, rencana aksi kemudian menyasar serangkaian kebijakan ekonomi yang progresif untuk mengatasi guncangan ekonomi makro.
Potensi dukungan
Munculnya krisis multidimensi dari wabah korona yang masih merebak di AS turut menghangatkan suhu politik menjelang pilpres. Penanganan wabah Covid-19 merupakan ujian bagi pengelolaan negara di saat krisis.
Bagi pemerintahan petahana, membuktikan diri dapat mengatasi krisis pandemi merupakan modal besar untuk meraih dukungan masyarakat. Bagi kubu penantang, seperti Biden, celah penanganan krisis pandemi dapat menjadi amunisi kampanye yang dapat meningkatkan dukungan dari warga yang tidak puas dengan penanganan krisis korona.
Pandemi Covid-19 yang menempatkan AS sebagai negara dengan kasus korona terbanyak sudah berlangsung lebih kurang selama satu semester. Stagnasi penanganan wabah bukan tidak mungkin menambah popularitas Biden yang saat ini sedikit unggul di atas Trump.
Kajian yang dilakukan 270towin menunjukkan, hasil 22 jajak pendapat yang dilakukan pada September 2020 seluruhnya menunjukkan keunggulan Biden atas Trump. Popularitas Biden terlihat dari jajak pendapat yang dilakukan oleh lembaga Redfield & Wilton Strategies pada 7-8 September 2020.
Biden meraih dukungan 49 persen, sedangkan Trump mendapat 40 persen. Sisanya 11 persen memilih kandidat lain. Demikian pula jajak pendapat yang dilakukan Rasmussen Reports, Economist/YouGov, CNBC/Change Research, ataupun Global Strategy Group, semuanya menunjukkan keunggulan Biden.
Jika ditarik lebih jauh lagi periodenya, rekam jejak popularitas Joe Biden stabil unggul dari Donald Trump. Dari 290 jajak pendapat yang dikumpulkan sepanjang 22 Januari 2019-13 September 2020, Biden meraih dukungan rata-rata 49,4 persen, sedangkan suara yang mendukung Trump rata-rata 41,8 persen.
Biden menyoroti dua masalah besar yang memengaruhi citra AS, yaitu kekerasan rasial dan penanganan wabah Covid-19 di AS.
Popularitas Biden beriringan dengan aksi nyata yang ditawarkan kepada publik. Biden menunjukkan bukti bahwa pemerintahan Obama-Biden berhasil mengendalikan wabah ebola. Saat awal wabah merebak pada Maret 2014, pemerintahan Obama-Biden langsung mengirim tenaga medis dan militer untuk membantu penanganan awal wabah di Afrika Barat yang menjadi pusat pandemi.
Strategi tersebut terbukti mampu menahan meluasnya penularan wabah ke seluruh dunia. Untuk penanganan krisis Covid-19, secara rinci Joe Biden dan calon wakil presiden Kamala Harris sudah menyiapkan tujuh rencana aksi untuk menyelamatkan AS dari pandemi.
Di sisi lain, menyikapi kekerasan rasial, Biden juga telah mengunjungi keluarga George Floyd dan Jacob Blake sebagai bentuk komitmen moral menghapus perlakuan rasial di AS. Penunjukan Senator Kamala Harris yang berlatar belakang kulit hitam sebagai calon wakil presiden juga menguatkan komitmen tersebut.
Baca juga : Kaukus Iowa, Super Tuesday, dan Pemilihan Presiden di AS
Keunggulan popularitas Biden terhadap Trump menjadi modal awal menjelang debat perdana capres yang akan digelar pada 29 September 2020 nanti. Terlebih, Biden juga unggul di wilayah mengambang (swing states), seperti Wisconsin, Pennsylvania, Michigan, Florida, Arizona, New Hampshire, serta North Carolina.
Namun, di balik popularitas Biden dalam jajak pendapat, pesan penanganan Covid-19 menjadi isu penting dalam pemilihan umum. Keunggulan Biden memberikan peringatan penurunan dukungan kepada pemerintah yang kurang serius menangani wabah korona. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Pesan Kemenangan Donald Trump