Merger dan Akuisisi Bakal Marak di Tengah Pandemi
Kabar merger dan akuisisi menggemparkan dunia teknologi digital pekan ini. Oracle membeli bisnis TikTok di AS, sementara Nvidia mengakuisisi ARM dari Softbank.
Awal pekan ini, jagat bisnis teknologi digital dihebohkan oleh sejumlah kabar dan gosip tentang merger dan akuisisi. Oracle sukses membeli saham TikTok. Nvidia membeli saham perusahaan semikonduktor ARM dari SoftBank. Gojek dan Grab dikabarkan bakal merger.
Aksi-aksi korporasi itu cukup mengejutkan banyak kalangan di tengah pandemi. Apa sebenarnya yang tengah terjadi dengan berbagai perusahaan teknologi itu?
Setelah berbagai gosip bermunculan tentang perusahaan yang bakal membeli saham TikTok untuk bisnis mereka di Amerika Serikat, Oracle, perusahaan perangkat lunak dan manajemen database, memenangkan pembelian saham TikTok. Calon pembeli lain yang sempat disebut santer akan membeli saham TikTok, yaitu Microsoft dan Walmart, terpaksa harus gigit jari. Meski demikian, Oracle belum aman karena masih harus mendapat persetujuan dari otoritas Amerika Serikat dan China. Kalau saja izin tidak didapat, pembelian perusahaan teknologi itu bisa batal.
Pembelian saham ini sepertinya bukan soal bisnis semata. Presiden Amerika Serikat Donald Trump sejak awal mengkhawatirkan operasi TikTok dan juga aplikasi lainnya asal China di Amerika Serikat terkait dengan keamanan data warganya. Ia sampai meminta agar sebelum 15 September 2020 antara TikTok dan perusahaan Amerika Serikat sudah mencapai kesepakatan jual beli.
Trump sepertinya ingin agar perusahaan teknologi global tetap dikuasai Amerika Serikat. Keberhasilan perusahaan Amerika Serikat membeli saham TikTok tentu juga menambah ”tenaga” bagi Trump menjelang pemilihan presiden pada 3 November nanti.
Pembelian itu sendiri ditanggapi beragam di kalangan pengamat. Perkawinan Oracle dan Tiktok menjadi menarik karena Oracle dikesankan sebagai perusahaan serius yang lingkupnya pebisnis, sementara TikTok terkesan berorientasi pada anak muda. Meski beberapa orang mengingatkan, Oracle dekat dengan komunitas intelijen sehingga perusahaan ini dinilai belum tentu sebagai teman yang baik buat TikTok. Oracle menguasai manajemen basis data berbagai industri mulai dari perbankan, manufaktur, hingga perdagangan.
Kabar yang tidak kalah mengejutkan adalah saat perusahaan prosesor grafis Nvidia membeli perusahaan semikonduktor yang dikuasai Softbank bernama ARM seharga 40 miliar dollar AS. ARM dikenal sebagai pemasok semikonduktor untuk berbagai perusahaan teknologi raksasa dan produknya dipakai di nyaris semua ponsel di seluruh dunia.
Baca juga: Lanskap Silicon Valley Mulai Berubah
Empat tahun lalu, Softbank membeli perusahaan yang berbasis di Inggris itu dengan harga 32 miliar dollar AS. Pembelian ARM disebut dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari sebagian pembayaran tunai, saham Nvidia, hingga pembayaran senilai 5 miliar dollar bila kinerja ARM sesuai target. Pembelian perusahaan ini masih menunggu persetujuan dari Pemerintah China, Inggris, dan Uni Eropa.
Dari dalam negeri, isu merger antara Gojek dan Grab kembali muncul setelah isu ini mencuat pada Maret lalu. Bos Softbank kembali disebut berada di balik usulan merger ini. Meski demikian, Softbank hingga kemarin belum mengeluarkan pernyataan terkait dengan isu ini.
Medan pertempuran kedua usaha rintisan ini berada di Indonesia karena di negeri ini pasar keduanya untuk pengantaran orang, pengantaran makanan, dan jasa keuangan sangat besar. Merger disebutkan sebagai salah satu cara untuk meningkatkan kinerja keuangan kedua korporasi ini.
Situasi tak menguntungkan
Pangkal dari merger dan akuisisi di atas adalah karena situasi saat ini tidak menguntungkan yang sedang dialami oleh korporasi-korporasi itu. Secara umum, merger dan akuisisi itu disebabkan oleh dua hal, yaitu pertikaian antara China dan Amerika Serikat, terkhusus untuk pembelian TikTok, dan kondisi keuangan yang kurang baik akibat pandemi untuk dua kasus lainnya. Tekanan-tekanan yang muncul menyulitkan mereka untuk memperbesar pasar dan juga harus bersiasat dengan keadaan.
Pertikaian antara Amerika Serikat dan China telah lama menyentuh pada kehadiran perusahaan teknologi asal keduanya di sejumlah negara. TikTok mendapat banyak penggemar di kalangan muda dalam waktu singkat. Banyak pihak kaget. Kemudian perusahaan asal China ini banyak dilarang di sejumlah negara karena berbagai alasan. Gerak-gerik TikTok sangat tidak leluasa di banyak negara. Amerika Serikat termasuk yang kebakaran jenggot ketika TikTok membesar di negara itu.
Baca juga: Uji Ketahanan Korporasi Teknologi di Tengah Pandemi
Selama ini, perusahaan-perusahaan teknologi asal Amerika Serikat, seperti Google dan Facebook, menguasai pasar global. Kehadiran TikTok menjadi tantangan besar bagi kehadiran perusahaan-perusahaan teknologi Amerika Serikat. Situasi ini menyulitkan TikTok. Mereka harus mencari cara agar aplikasi ini mendapat pasar yang lebih luas. Akan tetapi, ada saja ganjalan, seperti konflik dengan India yang mengakibatkan negara ini melarang sejumlah aplikasi asal China, termasuk TikTok.
Isu keamanan data kemudian diembuskan oleh beberapa negara meski isu ini usang karena hampir semua perusahaan teknologi memanen data dari para penggunanya. Para pengguna juga menyadari bahwa masalah privasi sudah tak lagi bisa dihindari ketika mereka berselancar di dunia maya. Mereka lebih menikmati layanan dari aplikasi dibandingkan khawatir mengenai privasi dan pengambilan data pribadi oleh perusahaan teknologi.
Sementara itu, Softbank menjual ARM karena keuangan Softbank dikabarkan kurang baik akibat pandemi. Laman CNN melaporkan Softbank membutuhkan dana tunai meski tidak disebut kebutuhannya. Perusahaan ini tertimpa masalah sejak akhir tahun lalu karena usaha rintisannya, yaitu WeWork, batal melantai di bursa karena sejumlah investor ragu dengan bisnis usaha rintisan itu.
Usaha rintisan lain, yaitu Uber, yang sudah melantai ternyata kinerjanya tidak membaik. Penggalangan dana investasi Vision Fund pada tahun ini juga tak berjalan mulus. Pada Maret lalu, mereka telah mengumumkan akan menjual aset senilai 41 miliar dollar AS. Bila tidak ada aral melintang, penjualan ARM akan selesai pada 18 bulan ke depan.
Merger Gojek dan Grab dikabarkan juga karena persoalan keuangan. Operasi mereka menjadi terbatas di tengah berbagai pembatasan sosial selama pandemi sehingga menurunkan pendapatan mereka. Valuasi keduanya, menurut laman The Financial Times, terdiskon cukup besar. Sejumlah pemodal awal mulai ingin menjual sahamnya.
Tren ini sebenarnya terjadi di hampir semua usaha rintisan berbasis transportasi di sejumlah negara. Pandemi ini sangat memukul usaha rintisan jenis ini karena tren kenaikan pendapatan mereka langsung berbalik arah.
Langkah merger tersebut bila berhasil dikabarkan bakal mengurangi tekanan biaya dan memunculkan sinergi keduanya sehingga akan menaikkan kembali valuasi mereka dalam waktu dekat. Meski demikian, sejumlah kalangan menentang rencana merger itu.
Dari internal mereka takut akan kehilangan peran di masing-masing perusahaan itu, sementara dari pemerintah di masing-masing negara kemungkinan akan menghalang-halangi rencana ini karena akan memunculkan pemotongan jumlah karyawan sehingga dikhawatirkan menaikkan angka pengangguran. Isu monopoli juga akan dimunculkan oleh lembaga pengawas persaingan usaha.
Melihat kedua akar masalah itu, maka kasus yang sejenis pasti dialami juga oleh perusahaan-perusahaan lain. Mereka juga menghadapi masalah terkait dengan dampak hubungan China-Amerika Serikat dan juga dampak pandemi di dunia bisnis.
Sangat memusingkan bila satu perusahaan terdampak oleh kedua masalah itu. Mereka akan makin sulit bergerak. Pilihan merger dan akuisisi kemungkinkan akan makin banyak dipilih sejumlah perusahaan untuk menyelamatkan kapal di tengah badai ketidakpastian ekonomi.
Situasi ini mengingatkan kita pada krisis moneter 1998 dan juga krisis finansial 2008. Sangat disayangkan ahli merger dan akuisisi di dalam negeri masih kurang banyak sehingga untuk proses itu beberapa perusahaan bergantung pada konsultan.