Polemik Pengaturan Siaran di Media Sosial
Siaran langsung melalui media sosial sedang disorot. Pemerintah memiliki pekerjaan rumah untuk mengatur atau tidak mengatur soal hak siar melalui kanal media sosial ini.
Konten media sosial kian hadir dengan format beragam, mulai teks, foto, audio, ataupun video. Bahkan, fenomena video sharing telah menjadi tren baru di media sosial.
Video sharing, baik berupa live maupun rekaman, kian difasilitasi, tidak hanya oleh Youtube, tetapi juga Twitch, Instagram, Facebook, dan lainnya. Sayangnya, kehadiran video sharing dipersoalkan oleh penyelenggara siaran. Polemik pun muncul seiring wacana perlunya video sharing diatur dalam regulasi.
Kehadiran video sharing atau berbagi video, baik siaran live atau langsung maupun rekaman, di media sosial belakangan dipersoalkan karena menimbulkan ketidakadilan bagi penyelenggara siaran yang berbasis frekuensi radio yang terikat pada Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran.
Penggunaan media sosial yang digunakan sebagai alternatif mendapatkan konten, ekspresi diri atau karya, dan interaksi sosial yang lebih dekat harus diperlakukan sama seperti layaknya penyelenggara siaran berbasis frekuensi radio.
Padahal, Undang-Undang Penyiaran tidak mengatur soal siaran melalui internet pada platform media sosial. Pembuatan aturan baru dinilai tidak relevan karena setiap platform media sosial sebenarnya telah memiliki pedoman masing-masing bagi penggunanya.
Tidak dapat dimungkiri bahwa kehadiran media sosial telah banyak membawa perubahan bagi kebudayaan masyarakat. Media sosial telah menciptakan suatu kebudayaan baru, yakni kebudayaan berbagi konten yang dilakukan oleh pengguna media sosial.
Media sosial bergantung pada internet, memfasilitasi penyimpanan dan pembagian konten video, memfasilitasi pengguna (user), dan inovasi dalam media sosial terbuka dengan jumlah konten tidak terbatas.
Platform media sosial sebenarnya telah memiliki pedoman masing-masing bagi penggunanya.
Konten merupakan komoditas dasar yang diproduksi, didistribusikan, dan dikonsumsi oleh pengguna media sosial. Hal ini membuat konten menjadi aspek penting karena melalui konten yang ada kita dapat melihat bagaimana kebudayaan yang berkembang di dalam media sosial.
Konten media sosial dapat terdiri atas format yang beragam, seperti teks, foto, audio, ataupun video. Beberapa tahun ini, video sharing telah menjadi tren baru di media sosial.
Tren video sharing bermula dari Youtube, media sosial yang hadir untuk memfasilitasi penggunanya berbagi konten dalam format video. Selanjutnya, tren video sharing ini berlanjut dan berkembang, bahkan menghadirkan penyiaran over the top atau siaran berbasis sistem internet (OTT).
Belakangan, PT Visi Citra Mitra Mulia ( iNews TV) dan PT Rajawali Citra Televisi Indonesia ( RCTI) menggugat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Keduanya mengajukan uji materi soal UU Penyiaran dan menilai Pasal 1 Angka 2 UU Penyiaran menyebabkan perlakuan berbeda antara penyelenggara penyiaran konvensional yang menggunakan frekuensi radio dan penyelenggara penyiaran over the top atau siaran berbasis sistem internet (OTT), seperti Youtube dan Netflix.
Pemohon merasa terjadi diskriminasi dalam melakukan kegiatan penyiaran, seperti pemohon harus lebih dulu berbadan hukum Indonesia, hingga memperoleh izin siaran dan harus tunduk pada Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Penyiaran (P3SPS). Jika terjadi pelanggaran, penyelenggara terancam mendapatkan sanksi yang diberikan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
Sementara penyelenggara siaran berbasis internet (OTT), seperti Facebook, Instagram, dan Youtube, tidak perlu memenuhi persyaratan sesuai UU Penyiaran. Namun, jika gugatan dari PT Visi Citra Mitra Mulia (iNews TV) dan PT Rajawali Citra Televisi Indonesia ( RCTI) dikabulkan, masyarakat, baik perorangan maupun badan usaha, terancam tidak leluasa menggunakan media sosial, seperti Youtube, Instagram, dan Facebook, untuk melakukan siaran langsung (live).
Kepentingan
Setidaknya ada empat aktor saling berkompetisi memenangi kepentingan dalam pengaturan siaran langsung ataupun rekaman berbasis internet di media sosial, yakni regulator (seperti Komisi Penyiaran Indonesia dan DPR), institusi pemilik media (pemilik media televisi), pemengaruh (influencer) atau pendengung (buzzer), dan publik.
Menurut KPI, adanya aturan bukan untuk melemahkan, tetapi justru mendukung industri penyiaran dalam negeri. Teknologi berubah, aturannya harus diatur dan diawasi. Jadi, tidak menutup kemungkinan media sosial yang menyelenggarakan siaran berbasis internet (OTT) menjadi lembaga penyiaran jika telah disepakati secara undang-undang, sesuai gugatan yang diajukan.
Dengan demikian, isi konten OTT juga harus turut diawasi oleh lembaga khusus. Sebagaimana penyiaran lewat spektrum frekuensi radio harus diatur karena adanya kekhawatiran akan dampak konten negatif yang disiarkan lewat media sosial.
Selain itu, atas dasar persamaan hukum, media sosial dan televisi seharusnya diatur sama. KPI menyebut beberapa negara sedang mengatur layanan OTT. Salah satu hambatan di Indonesia adalah adanya peran pengawasan yang tumpang tindih antara Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dan KPI.
Sementara institusi pemilik media, seperti pemilik televisi swasta, memiliki kepentingan terkait izin siar. Mereka menilai siaran berbasis internet (OTT) dan membagikan siaran rekaman dengan basis internet sama dengan penyiaran. Dengan demikian, live streaming ataupun siaran rekaman dengan basis internet harus diatur layaknya penyiaran oleh institusi pemilik media.
Berbeda lagi dengan para influencer ataupun para buzzer yang memiliki kepentingan terkait kebebasan berekspresi, terutama berkaitan dengan karya. Ada kekhawatiran jika media sosial diatur seperti layaknya penyiaran, ruang-ruang karya mereka akan terancam.
Sementara publik memiliki kepentingan terkait penggunaan media sosial yang juga digunakan sebagai alternatif mendapatkan konten, salah satu tempat ekspresi diri atau karya, serta interaksi sosial. Terlebih, media digital dan media sosial kian bersifat individual yang dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan individu.
Masyarakat sangat menikmati keberadaan budaya baru yang terbentuk dari media baru seperti siaran berbasis internet lewat platform media sosial. Publik menilai, jika gugatan materi ini dikabulkan, akan mengerdilkan ruang demokrasi dan kebebasan berekspresi.
Pedoman platform
Regulasi sebenarnya bertujuan melindungi kebebasan berekspresi, melindungi publik dari konten berbahaya, serta meletakkan tanggung jawab konten pada pengguna dan perusahaan media sosial. Namun, regulasi selalu tertinggal dari perkembangan teknologi yang terus bergerak dengan sangat cepat.
Undang-Undang Penyiaran yang ada tidak relevan jika hendak diterapkan terhadap siaran langsung dan rekaman berbasis internet lewat media sosial mengingat UU penyiaran membatasi siaran hanya pada sprektrum frekuensi radio.
Namun, berbagai pihak menilai keberadaan undang-undang baru demi mengatur penyiaran berbasis internet kian tidak diperlukan. Kehadiran disrupsi digital akan sangat sulit jika hendak dibuat semua regulasinya. Terlebih, media sosial tidak ada kaitannya dengan frekuensi yang terbatas.
Penggunaan media sosial juga tidak bersifat eksklusif. Maka, pengaturan yang utama adalah regulasi dari masing-masing platform, seperti Youtube, Instagram, Facebook, dan Twitch, dalam mengatur komunitasnya. Optimalisasi penerapan pedoman yang diterapkan masing-masing platform media sosial menjadi penting untuk menjaga masuknya konten-konten yang merusak.
Selain itu, publik juga harus diedukasi untuk memiliki literasi yang cukup untuk dapat mempergunakan dan membuat konten sesuai dengan pedoman yang ditetapkan masing-masing platform.
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang ada dapat digunakan untuk mengatur perihal yang terukur, seperti hoaks, berita palsu, kekerasan, ujaran kebencian, dan permusuhan. Aturan lain yang perlu diterapkan dalam siaran berbasis internet adalah terkait aturan soal lembaga atau institusi, aturan pajak, dan aturan terkait bisnis, seperti periklanan.
Meski keberadaan media sosial dapat digunakan untuk melakukan siaran berbasis internet, media mainstream seperti televisi sebenarnya juga diuntungkan. Lewat keberadaan media sosial, maka media mainstream seperti televisi mendapatkan jangkauan lebih luas.
Subscriber media televisi di Youtube sangat tinggi. Artinya media sosial tidak hanya menjadi platform pengumpulan data awal untuk sarana informasi dan verifikasi data, tetapi juga telah digunakan untuk meraih sebanyak-banyaknya subscriber. Terbukti, media sosial bahkan digunakan untuk mem-branding media mainstream.
Pada akhirnya, keberadaan negara sebagai regulator penting untuk memastikan pedoman masing-masing platform media sosial, regulasi terkait yang mengatur hal-hal yang terukur diterapkan, dan berjalan bersamaan dengan pembangunan ekosistem yang baik untuk keberlangsungan dunia bisnis. (LITBANG KOMPAS)