Yoshihide Suga, Kekuasaan Anak Petani
Kala muda, Yoshihide Suga tidak tertarik pada politik. Kini, ia meraih jabatan tertinggi yang diidamkan setiap politisi Jepang.
Sampai kuliah, Yoshihide Suga tidak mendekati politik dan lebih sibuk mencari uang untuk membiayai pendidikannya. Kini, mantan buruh pabrik dan petugas satpam itu meraih posisi tertinggi dalam politik Jepang: perdana menteri.
Kerja keras, tekun, dan pantang menyerah menjadi sebagian modal Suga meraih posisi yang nyaris mustahil didapat anak petani stroberi dari Provinsi Akita itu. Nyaris mustahil karena Suga tidak bergabung di faksi mana pun dalam Partai Demokrat Liberal (LDP) Jepang. Kedekatannya dengan Ketua LDP 2012-2020 Shinzo Abe dan sokongan Abe menjadi faktor utama ia bisa menjadi Ketua LDP sejak 14 September 2020 dan lalu menjadi PM Jepang.
Baca juga : Suga Tidak Ubah Kebijakan
Alasan lain adalah karena Suga bukan berasal dari keluarga politisi. Ini berbeda dengan Abe yang dua kakeknya menjadi PM dan ayahnya menjadi Menteri Luar Negeri Jepang. Dalam politik Jepang, latar keluarga amat penting dan jabatan politik kerap diwariskan dari ayah ke anak. Abe menjadi anggota parlemen sejak 1993 dari daerah pemilihan yang mengantar ayahnya, Shintaro, sebagai anggota parlemen.
Pesaing Suga dalam pemilihan ketua LDP, Fumio Kishida dan Shigeru Ishiba, juga dari dinasti politik. Ishiba adalah anak mantan Gubernur Tottori, sedangkan kakek dan ayah Kishida menjadi anggota parlemen. Bibi Kishida menikah dengan Hiroshi Miyazawa, mantan Gubernur Hiroshima yang juga pernah jadi anggota parlemen serta menteri kehakiman.
Kakak Hiroshi, Kiichi Miyazawa, menjadi anggota parlemen selama 50 tahun dan pernah menjadi PM serta aneka posisi menteri. Anak Hiroshi dan karena itu sepupu Kishida, Yoichi, kini jadi anggota parlemen dan pernah pula menduduki berbagai posisi menteri.
Baca juga : Parlemen Tetapkan Pengganti Abe Dua Pekan Lagi
Latar seperti itu membuat Kishida dikenal dengan panggilan ”pangeran”. Sebelum akhirnya memutuskan mendukung Suga, Abe disebut sejak lama mengharapkan Kishida jadi penerusnya. Sayangnya, Kishida tidak lincah menggalang dukungan.
Keluarga petani
Suga tidak mempunyai keluarga seperti Abe, Ishida, dan Kishida. Bahkan, ia harus membayar sendiri uang kuliahnya. Kondisi itu tidak lepas dari keputusannya pergi dari rumah selepas tamat SMA. Sejak kecil sampai SMA, Suga diajak bekerja di ladang keluarga dan diharapkan meneruskan usaha ayahnya itu kala Suga sudah dewasa.
Semasa SMA, ia dikenal sangat pendiam. ”Orang tidak tahu dia ada atau tidak,” kata teman SMA Suga, Hiroshi Kawai.
Selepas SMA, Suga memutuskan pergi dari Akita dan merantau ke Tokyo. Seperti dilaporkan Kyodonews, Suga menyebut keputusannya itu sebagai lari dari rumah. Karena itu, ia harus mencari sendiri biaya hidup selama di Tokyo dengan, antara lain, bekerja di pabrik kardus dan pasar ikan. Pada 1969, ia mulai belajar hukum di Universitas Hosei.
Baca juga : Anak Petani Jadi Calon Kuat PM Jepang
Universitas itu dipilih karena uang kuliahnya paling terjangkau dan masih bisa dibayar dari hasil kerjanya. Selama kuliah, Suga menghabiskan waktu dengan menjadi petugas satpam, pembantu di kantor koran, dan aneka pekerjaan lain. Ia juga bergabung dengan tim karate dan pernah jadi wakil ketua tim.
Karena sibuk bekerja, ia tidak seperti kebanyakan mahasiswa yang tertarik pada politik serta kerap berunjuk rasa. Saat teman-temannya sibuk memprotes perang Vietnam, Suga fokus mencari uang. Bahkan, sampai diwisuda menjadi sarjana hukum pada 1973, lalu bekerja di perusahaan listrik, Suga tetap tidak tertarik pada politik.
Karier politik
Pada usia 27 tahun, seperti dilaporkan Japan Times, Suga membuat keputusan yang menjadi awal perjalanannya menuju kursi PM Jepang. Ia bergabung dengan tim pemenangan, lalu menjadi sekretaris Hikosaburo Onagi. Kala Suga mulai mendekat, Onagi sudah menjadi anggota parlemen Jepang sejak 1969. Sebelum itu, Onagi jadi anggota Dewan Kota Yokohama.
Selama 11 tahun bekerja untuk Onagi, Suga belajar seluk-beluk politik, lalu membuat keputusan nekat lainnya: mencalonkan diri sebagai anggota Dewan Kota Yokohama. Ia mendatangi total 30.000 rumah pemilih dan juga berkampanye sendirian di stasiun dan terminal. Cara kampanye yang tidak lazim kala itu. Hasilnya, ia menjadi anggota Dewan Kota Yokohama sejak 1987 dan terus menduduki jabatan itu sampai 1996.
Baca juga : Dinasti Politik Bayangi Suksesi Jepang
Menjelang pemilu 1996, seperti dilaporkan Kyodonews, salah seorang bakal calon anggota legislatif LDP meninggal mendadak. Padahal, calon itu akan maju dari daerah pemilihan yang dimenangi keluarganya di beberapa pemilu. Suga memutuskan memanfaatkan kesempatan itu dan akhirnya terpilih sebagai anggota parlemen Jepang.
Beberapa tahun di parlemen ia mulai dekat dengan Abe. Kedekatan itu berujung pada penunjukan Suga sebagai menteri komunikasi di kabinet Abe 2006-2007. Kabinet Abe I harus berakhir karena Abe mendadak sakit parah. Meski Abe mundur dari kursi Ketua LDP dan PM Jepang, Suga mempertahankan kesetiaannya.
Setelah sakit perutnya sembuh, Abe dibujuk Suga untuk kembali merebut kursi Ketua LDP pada 2012. Abe sekali lagi jadi Ketua LDP dan PM Jepang. Di kabinet Abe II, Suga jadi sekretaris kabinet sekaligus juru bicara pemerintah yang menyampaikan konferensi pers sedikitnya dua kali sehari.
Sebagai anggota parlemen sekaligus anggota kabinet, Suga memulai harinya dengan bangun setiap pukul 05.00. Status sebagai juru bicara membuatnya harus tahu isu-isu terbaru dan karena ia membaca cepat aneka berita setiap bangun pagi. Tepat pukul 09.00, ia sudah di kantor PM dan mulai bekerja. Selain konferensi pers, ia kerap menghadiri lebih dari 20 rapat pada pukul 09.00 hingga menjelang pukul 19.00.
Baca juga : Dari Jubir hingga Mantan PM Ramaikan Bursa Kandidat Pengganti Abe
Sebagai juru bicara pemerintah dan sektretaris kabinet, Suga amat paham kebijakan Abe. Ia juga pendukung kebijakan Abe dan berjanji meneruskan semua itu ketika jadi PM.
”Alasan tunggal Suga menjadi calon adalah karena dia berjanji akan melanjutkan kebijakan Abe. Jadi, sebagai PM baru, dia tidak akan ditekan oleh warisan dan rekam jejak pemerintah lama. Setelah menjadi pembela kebijakan Abe, Suga tidak bisa melepaskan diri dari Abe dan mendorong perubahan tanpa kritik keras,” kata pengajar Ilmu Politik di Sophia University, Koichi Nakano.
Selepas pukul 19.00, di sela-sela makan malam atau kegiatan selepas makan malam, Suga masih menemui beberapa orang lain untuk berdiskusi tentang aneka hal. Pertemuan malam hari biasanya dimanfaatkan Suga untuk berdiskusi dengan para akademisi dan anggota masyarakat lainnya. Ia juga berkomunikasi dengan pihak di luar LDP, seperti Nippon Ishin, pemilik 27 kursi di parlemen dan menguasai Osaka. Selepas semua itu, baru ia pulang untuk istirahat, lalu bangun setiap pukul 05.00.
Baca juga : Bayang-bayang Perubahan Ishida-Kishida
Untuk kegiatan sepadat itu, ia mempunyai dua resep utama menjaga kebugaran. Setiap pagi, ia sit-up 100 kali dan berjalan selama 40 menit. Menu makan siangnya lebih kerap mi soba, yakni mi khas Jepang yang disajikan dalam keadaan dingin. Suga memilih menu itu karena bisa dihabiskan dengan cepat. Sementara pada malam hari, meski hadir di beberapa pertemuan, ia tetap tidak banyak makan.
Istrinya, Mariko, dan tiga anaknya nyaris tidak pernah terlihat di kehidupan umum. Status Suga sebagai PM akan membuat Mariko sulit tetap menghindari dari sorotan khalayak. Karena itu, Suga mengatakan bahwa salah satu urusan pelik sebelum memutuskan maju di pemilihan ketua LDP adalah meminta izin istrinya. (REUTERS/AFP)
Yoshihide Suga
Lahir: Yuzawa, 6 Desember 1948
Istri: Mariko
Pendidikan: Sarjana hukum dari Universitas Hosei
Jabatan:
1987-1996: Anggota Dewan Kota Yokohama
1996-sekarang: Anggota parlemen Jepang
2006-2007: Menteri komunikasi
2012-2020: Sekretaris kabinet
2020: Perdana menteri