Gundah Gulana Belajar di Rumah dan Buramnya Masa Depan
›
Gundah Gulana Belajar di Rumah...
Iklan
Gundah Gulana Belajar di Rumah dan Buramnya Masa Depan
Pandemi Covid-19 memunculkan berbagai macam ketidakpastian. Segala macam perencanaan ke depan, termasuk studi, menjadi semakin buram.
Oleh
Mediana
·3 menit baca
”Saya tidak tahu sampai kapan belajar di rumah berlangsung. Saya takut materi pembelajaran jarak jauh sekarang tidak terpakai. Apalagi, saya sekarang sudah duduk di kelas IX,” ujar Melanesya Kararbo, siswa asal Kota Sorong, Papua, saat menghadiri diskusi daring Ruang Peduli Kesehatan Mental (Peka), Sabtu (5/9/2020).
Menurut dia, sekolahnya telah mempunyai sistem manajemen pembelajaran atau LMS. Namun, beberapa guru tidak peduli dengan LMS.
Mereka umumnya lebih suka mengirim tugas melalui aplikasi pesan instan. Kelompok guru seperti ini cenderung tidak peduli pemahaman siswa.
Pemberian tugas terus-menerus tanpa evaluasi. Sebagai siswa, saya tidak mengerti materi dan guru tidak peduli.
”Pemberian tugas terus-menerus tanpa evaluasi. Sebagai siswa, saya tidak mengerti materi dan guru tidak peduli,” ucapnya.
Sempat terbesit di benak Melanesya keinginan kembali mengikuti belajar tatap muka di kelas ketika sekolah dibuka lagi. Akan tetapi, dia khawatir dengan perubahan sikap dari teman-teman mereka. ”Apakah kami bisa bercanda seperti dulu?” katanya.
Flora Dita (14) menceritakan, dirinya sering melewatkan makan siang karena harus mengerjakan tugas dari guru. Dia merasa, belajar dari rumah membuatnya seperti dikejar-kejar waktu, tugasnya makin bertumpuk-tumpuk.
Menurut dia, beberapa guru lebih suka memberikan tugas tanpa menerangkan. Ada pula guru yang hanya mengambil dan menjelaskan materi dari Youtube. Dia pun malu terus-menerus harus mengontak guru. Respons mereka cenderung lama.
”Saya masih bisa berinteraksi dengan teman lain. Kami berbagi cerita dan kekhawatiran. Salah satu kekhawatiran kami adalah, apakah kelak bisa masuk SMA impian,” kata Flora yang juga tinggal di Sorong, Papua.
Lain cerita dengan Alvita, mahasiswa semester III di salah satu perguruan tinggi negeri di Semarang. PJJ membuat dia harus 24 jam berada di rumah. Di satu sisi, dia merasa senang selalu bisa berkumpul dengan saudara dan orangtua. Namun, kebersamaan 24 jam tak lantas membuat dia bisa menyampaikan curahan perasaannya dengan bebas.
”Orangtua juga pasti memiliki keresahan yang lebih besar akan berbagai aspek, terutama menyangkut menurunnya pendapatan,” kata Alvita saat dihubungi, Kamis (17/9/2020), dari Jakarta.
Dia tidak ingin menambah beban pikiran orangtua walaupun dia menyadari bahwa PJJ sangat menguras perhatiannya. Tugas menumpuk setiap minggu tanpa henti dan sistem penilaian dari dosen tidak jelas.
Alvita tak bisa berkonsentrasi belajar di kamar karena dia sekamar dengan saudaranya yang juga menjalani PJJ.
Emosional
Rini, karyawan swasta dan ibu tiga anak di Depok, mengatakan resah, terutama menyangkut masa depan pendidikan ketiga anaknya. Anak pertama dan kedua sudah duduk di bangku sekolah dasar, sedangkan anak ketiga adalah siswa pendidikan anak usia dini.
Menurut dia, suasana hati (mood) anak-anak cenderung naik turun selama masa belajar dari rumah. Mereka susah diminta fokus mengikuti PJJ.
”Saya merasa pembelajaran yang diterima anak-anak tidak maksimal,” katanya.
Rini harus bekerja ke luar rumah. Ketiga anaknya dititipkan kepada orangtua. Selama bekerja, dia rutin cek kondisi belajar anak. Ketika pulang kerja, dia masih mengusahakan cek hasil belajar anak. Sementara pada saat bersamaan, dia harus memikirkan pekerjaannya. Tidak jarang dia merasa sangat letih.
Berdasarkan hasil jajak pendapat U-Report Indonesia selama 28 Agustus-4 September 2020, sebanyak 52 persen dari 365 responden mengatakan menyimpan ketakutan dan kecemasan selama PJJ dan ingin bertanya kepada ahli kesehatan mental. Sekitar 54 persen responden bercerita tentang perasaannya ketika pandemi Covid-19 melanda dan harus belajar dari rumah.
Sebanyak 59 persen dari total responden berusia 15-19 tahun, 14 persen berusia 0-14 tahun, 24 persen berusia 20-24 tahun, dan 2 persen berusia 25-30 tahun.
Arindah Arimoerti, psikolog dari Pijar Psikologi, mengatakan, stres dan kelelahan mental selama PJJ bisa dipicu anak berada di depan layar dalam durasi panjang. Ditambah lagi, kondisi rumah kurang kondusif untuk mendukung belajar.
”Di rumah saja tanpa variasi kegiatan selain belajar memengaruhi kesehatan mental,” ujarnya.
Dia menyarankan, meskipun belajar dari rumah, anak dan orangtua tetap harus sepakat memiliki variasi kegiatan. Variasi kegiatan perlu dijadwal. Lalu, asupan makanan bergizi tidak boleh dilewatkan.