Keterbukaan informasi dari pasien kanker bisa meningkatkan keberhasilan terapi. Salah satunya adalah pelaporan efek samping obat dari pasien untuk mengetahui risiko dan keamanan obat.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keterbatasan komunikasi antara pasien kanker dan dokter menyebabkan proses terapi menjadi terkendala. Padahal, perawatan pasien kanker harus rutin dilakukan dan membutuhkan waktu cukup lama.
Ketua Umum Yayasan Kanker Indonesia (YKI) Aru Wisaksono Sudoyo di Jakarta, Kamis (17/9/2020), mengatakan, komunikasi antara pasien dan dokter masih kurang di Indonesia. Sebagian besar masyarakat masih takut bertanya kepada dokter. Sementara masih ada juga dokter yang tidak suka terlalu banyak ditanya oleh pasien.
”Budaya keselamatan pasien harus makin ditumbuhkan dalam pelayanan kesehatan kita. Itu memerlukan komunikasi yang baik dari pasien dan dokter. Pasien perlu didorong untuk terlibat dalam proses perawatan yang dijalani,” ujarnya.
Salah satu keterlibatan pasien dalam perawatan bisa ditunjukkan dengan aktif menyampaikan kondisi kesehatannya. Apabila dalam perawatan terjadi efek samping, pasien harus segera menyampaikannya kepada dokter. Hal ini dibutuhkan agar bisa segera dilakukan penanganan lebih lanjut.
Ketua YKI Cabang Jawa Tengah Eko Adhi Pangarsa menambahkan, masalah kesehatan pasien kanker cukup kompleks, baik terkait kesehatan jasmani, sosial, maupun mental. Selain itu, proses pengobatan yang harus dijalani panjang. Pasien kanker perlu melewati beberapa fase perawatan, mulai dari terapi, rehabilitasi, sampai upaya paliatif. Proses ini bahkan memerlukan waktu bertahun-tahun.
Untuk itu, peran dokter dan pasien dibutuhkan dalam perawatan kanker. Dua hal yang paling penting untuk menunjang hal tersebut adalah peran dokter yang baik serta pasien yang cerdas. Dokter pun diharapkan bisa menjadi mitra bagi pasien.
”Ketidakpastian dalam perawatan pasien kanker cukup tinggi. Karena itu, peran dokter menjadi sangat penting. Dalam pelayanan bagi pasien kanker dibutuhkan dokter yang percaya diri, memiliki empati tinggi, serta teliti. Dokter pun harus bisa berterus terang dengan kondisi pasien, bahkan untuk menyampaikan kondisi yang buruk,” tutur Eko.
Sementara itu, pasien diharapkan bisa lebih cerdas. Hal ini bisa ditunjukkan dari pertanyaan yang tepat terkait kondisi kesehatannya, mengetahui dengan pasti rekam medis selama perawatan, serta jujur pada kondisi kesehatannya.
Ketua International Society of Pharmacovigilance (ISOP) Indonesia Jarir At Thobari menuturkan, salah satu kejujuran yang penting dari pasien adalah kejujuran terkait efek samping terapi yang dialami. Setiap orang bisa berisiko mengalami efek samping berbeda-beda meski menjalani terapi obat yang sama.
Oleh karena itu, pasien perlu secara aktif menyampaikan efek samping yang dirasakan saat mengonsumsi obat. Pasien harus segera menghubungi dokter rawatnya jika mengalami efek samping seperti demam tinggi dan menggigil, pendarahan dan memar tanpa sebab, reaksi alergi, sesak napas, serta diare.
Pelaporan efek samping obat ini dapat melindungi pasien dari bahaya yang tidak diinginkan. Dokter pun bisa memberikan pengobatan lain yang lebih tepat untuk diterima pasien.
Pelaporan efek samping obat ini dapat melindungi pasien dari bahaya yang tidak diinginkan.
Mengutip data di Inggris, Jarir menyampaikan, efek samping obat yang tidak segera ditangani mengakibatkan sekitar 250.000 orang harus menjalani rawat inap. Bahkan, data di Amerika Serikat menyebutkan, efek samping obat ini berimplikasi pada 7.000 kematian penduduk setiap tahun.
”Pelaporan efek samping obat dari pasien sangat penting untuk mengetahui risiko dan keamanan obat pascapemasaran pada populasi di Indonesia. Penyakit yang sama dengan obat yang sama bisa memberikan efek yang berbeda pada pasien, baik terhadap khasiat maupun efek sampingnya,” ujarnya.