Kematian yang merajalela dapat dilihat nyata setiap hari. Halaman makam makin sesak. Namun, ketakpedulian terhadap protokol dasar mencegah penularan Covid-19 mengapa tetap bersarang.
Oleh
Limas Sutanto
·4 menit baca
Setelah menunggu setengah tahun lebih, kematian yang merajalela dapat dilihat nyata setiap hari. Halaman makam makin sesak. Namun, ketakpedulian terhadap protokol dasar mencegah penularan Covid-19 tetap bersarang. Suara nyaring para pakar ilmu kesehatan masyarakat tidak didengarkan. Ada yang sengaja membikinnya tak terdengar. Mengapa warga seperti bunuh diri?
”Teman saya selalu berhasil meraih pencapaian dalam kehidupan, tetapi saya tidak. Sakit sekali ditinggalkan dia. Saya marah luar biasa. Ditinggalkan jauh sekali, tak terkejar; apa pun yang saya lakukan, sia-sia. Saya tidak layak hidup. Sudah berkali-kali saya melakukannya, tetapi orang-orang yang tidak mengerti saya, selalu membatalkan kematian saya” Ia pernah minum ”obat tidur” berpuluh-puluh. Pernah pula berada di tepian lantai tertinggi salah satu gedung tempat dia kuliah, akan terjun. Dan lain-lain. Namun, ada saja ”halangan” yang mengurungkan dia untuk berhasil bunuh diri.
Mungkin ia melukiskan ”liyan yang penting baginya”, dengan menyebut ”saya”. Freud tahun 1917, dalam Mourning and melancholia, menuliskan itu. Ambivalensi, sikap dan rasa mendua, terhadap orang lain yang penting, mengandung cinta dan benci. Liyan itu, penting, tetapi tak dapat diajak terhubung.
Mengapa warga seperti bunuh diri?
Ketakmungkinan menghancurkan liyan memantul dalam bunuh diri. Bisa saja ia malu dan iri, dan mengalami amuk narsisistik, narcissistic rage, seperti tertuang dalam catatan Kohut pada 1971, dalam The analysis of the self. Jika didengarkan, kata-katanya, itu, mengandung pengalaman marah besar. Mengapa diri ini fragile?
Marah luar biasa itu buat menghapus penghayatan self yang rapuh, rentan karena kurang mengalami diteguhkan oleh orang lain yang baginya penting, yang dalam psikoanalisis Kohutian disebut mirroring selfobject.
Bunuh diri seperti perekat dua sisi paradoks diri tentang liyan yang penting—cinta dan benci—yang tak terjangkau oleh keterhubungan afektif yang efektif. Ini cukup penting: Jika tidak hanya cinta dapat dinyatakan dalam keterhubungan bermakna dengan liyan yang signifikan, tetapi juga benci, perekat cinta-benci tidak diperlukan lagi.
Benci itu protes terhadap ketakterhubungan, yang hanya perlu boleh dinyatakan dan direspons. Terapis mendampingi orang yang membenci untuk mengalami koneksi berarti, object relations, ketersambungan untuk menyatakan diri dan ditanggapi.
Keperluan mengalami keterhubungan emosional yang berarti dengan orang lain yang secara subyektif penting adalah kebutuhan fundamental untuk penerjadian awal, pertumbuhkembangan, dan perawatan pribadi, psyche, yang sehat—yang tenteram, tetapi tangguh menghadapi realitas yang apa adanya, kreatif, membuahkan kebaikan dan manfaat yang bagus bagi orang-orang lain dan lingkungan.
Klein pada 1935 dan 1946 menuangkan gagasan tentang bagaimana anak membekukan pengalaman dirinya yang kurang dapat keterhubungan itu, dalam penghayatan ”bagian yang buruk”, bad object, dalam dirinya. Upaya menghilangkan obyek buruk dan menyelamatkan ”bagian yang baik”, good object, bisa berupa merusak tubuh, menghancurkannya lewat bunuh diri.
Lewin (1950) dan Maltsberger (1997) melihat eksekusi terhadap diri sendiri adalah perwujudan ”diri besar yang patologis”, archaic, pathological grandiose self. Namun, mengapa perlu merasakan diri besar? Keperluan itu sesungguhnya adalah keadaan psikis pribadi yang kosong, yang keperluan mendasarnya, kebutuhan mengalami keterhubungan bermakna dengan liyan yang penting, tidak dapat dialami.
Keadaan kosong ini meniadakan diri yang tenteram dan berarti, penghayatan penderitaan dan kegelisahan terbesar, yang ”diatasi” dengan menjadikan diri besar, grandiose, kalau perlu yang serbabisa dan berkuasa, omnipotent, dan agresif, yang berkuasa untuk menyerang diri sendiri.
Setidaknya corak-corak dari perspektif ”menyelamatkan diri yang besar” seperti menyelimuti fenomena bunuh diri yang kultural, seperti harakiri; atau yang massal, yang dilaksanakan dengan mengikuti pengarahan sang pemimpin yang menyimbolisasikan diri yang besar.
Tetapi, mengapa perlu merasakan diri besar?
Disfungsi
Melompat ke hari kini, dalam tulisannya yang dimuat di jurnal Foreign Affairs edisi Juli/Agustus 2020, Francis Fukuyama dari Freeman Spogli Institute for International Studies at Stanford University memerinci bahwa negara yang berhasil mengendalikan pandemi Covid-19 hanyalah yang memiliki pemerintah yang dipercaya oleh rakyatnya, yang didengarkan dan diikuti oleh warganya, di samping punya aparatur negara yang kompeten dan kepemimpinan yang efektif, impresif dalam mengurangi penderitaan yang merebak di tengah pandemi.
Terutama faktor kepercayaan sosial dan pemerintah yang didengarkan dan diikuti oleh rakyatnya, perlu dilihat secara mendasar sebagai hal yang terkait erat dengan keterhubungan yang berarti antara rakyat dan pemerintah, yang kemudian mengejawantah dalam keterhubungan berarti antarwarga. Kepercayaan, dan kepatuhan terhadap pihak yang dipercaya, hanyalah terjadi dalam keterhubungan yang bermakna.
Sikap rakyat yang tidak peduli pada protokol kesehatan dan sains dapat dilihat sebagai penyerangan dan destruksi terhadap hidup diri dan liyan. Individu-individu tidak lagi terhubung dengan erat sebagai sebuah persatuan afektif, tetapi sendiri-sendiri menjadikan dirinya omnipoten dan agresif karena memerlukan rasa besar di tengah kekosongan makna.
Protes terhadap ketakterhubungan adalah kritik terhadap seluruh masyarakat yang oleh Fukuyama disebut mengalami disfungsi. Hari Mencegah Bunuh Diri dapat didengarkan sebagai peringatan agar kebutuhan fundamental mengalami keterhubungan bermakna antara pemerintah dan rakyat, antarsesama warga, kembali disadari dan diwujudnyatakan.