Pakar Hukum: Kewenangan Penyadapan Kejaksaan Terkait Ketertiban Umum Berpotensi Langgar HAM
›
Pakar Hukum: Kewenangan...
Iklan
Pakar Hukum: Kewenangan Penyadapan Kejaksaan Terkait Ketertiban Umum Berpotensi Langgar HAM
Pemberian kewenangan penyadapan terkait ketertiban umum kepada kejaksaan di RUU Kejaksaan dinilai tidak hanya rentan disalahgunakan, tetapi juga berpotensi melanggar HAM. Penyadapan hanya boleh untuk penyidikan pidana.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kewenangan penyadapan yang diberikan kepada kejaksaan harus dilakukan dalam koridor penegakan hukum pidana. Di luar koridor itu, penyadapan tidak hanya rentan disalahgunakan, tetapi juga berpotensi melanggar hak asasi manusia.
Dalam draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Kejaksaan yang diusulkan Komisi III DPR, penyadapan diatur di ranah ketertiban umum, bukan di ranah pidana. Pengaturan ini ditolak banyak pihak karena selama ini penyadapan dilakukan sangat terbatas dan hanya untuk menegakkan hukum pidana.
Kejaksaan saat ini juga sudah memiliki kewenangan penyadapan, terutama untuk mengungkap pidana korupsi. Namun, penyadapan itu hanya pada saat penyidikan dan telah mendapatkan izin dari pengadilan.
Pengajar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, di Jakarta, Jumat (18/9/2020), mengatakan, kewenangan penyadapan kejaksaan yang ada telah memadai. Kewenangan penyadapan yang didahului izin dari pengadilan adalah pengaturan yang memungkinkan penyadapan dilakukan dalam koridor hukum yang benar. Izin dari pengadilan menjadi jaminan kejelasan untuk apa penyadapan dilakukan dan pada konteks apa penyadapan itu dilakukan.
”Sebab, penyadapan ini, kan, perbuatan yang melanggar hukum dan hak asasi manusia karena melanggar hak privasi seseorang. Namun, untuk kepentingan penegakan hukum, hal itu dibolehkan. Karena itulah, harus ada izin pengadilan untuk memastikan penyadapan itu untuk konteks hukum pidana dan bukan untuk hal yang lain,” tutur Fickar.
Jika penyadapan dilakukan di dalam koridor ketertiban umum, menurut Fickar, itu sama sekali tidak terkait dengan peran kejaksaan sebagai penegak hukum. Peran dan tugas jaksa ialah memastikan apakah suatu perkara dapat dibawa ke pengadilan atau tidak. Bukan mengawasi ketertiban umum, apalagi melakukan penyadapan untuk keperluan itu.
”Kalau alasannya ialah ketertiban umum, kan, ada polisi yang melakukan tugas itu. Lalu, jika untuk konteks keamanan negara, penyadapan juga menjadi kewenangan BIN (Badan Intelijen Negara). Sama sekali bukan tugas jaksa, apalagi sampai menempatkan penyadapan dalam menjaga ketertiban umum. Di mana-mana, jaksa di seluruh dunia itu bertugas menangani pidana,” kata Fickar.
Dengan kewenangan penyadapan jaksa saat ini, kata dia, hal itu juga dibatasi hanya pada tahap penyidikan. Ini karena jaksa memiliki cukup waktu sekaligus kesempatan untuk menghentikan suatu perkara jika tidak memenuhi minimal dua alat bukti.
”Sebab, pada dasarnya, penyadapan itu, kan, alat untuk menemukan ada atau tidaknya tindak pidana, yakni dengan upaya memenuhi minimal dua alat bukti. Maka, penyadapan itu dilakukan di tahap penyidikan,” katanya.
Masukan untuk mengembalikan kewenangan penyadapan ke dalam ranah hukum pidana juga diungkapkan fraksi-fraksi di Badan Legislasi (Baleg) DPR. Anggota Baleg DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Arteria Dahlan, mengatakan, partainya tidak keberatan dengan substansi RUU Kejaksaan. Namun, ada beberapa catatan yang disampaikan fraksinya. Salah satunya ialah mengenai penyadapan.
”Perlu melakukan penyesuaian terkait norma penyadapaan, termasuk pemindahan dari bidang ketertiban umum ke bidang pidana dengan tunduk pada putusan Mahkamah Konstitusi,” kata Arteria.
Secara umum, fraksi terbesar di DPR itu tidak keberatan dengan revisi UU Kejaksaan. ”PDI-P pada prinsipnya mendukung penuh pemberian kewenangan dan kekuasaan kepada institusi kejaksaan sebatas pada penguatan sistem kelembagaan kejaksaan dan mendukung kejaksaan dalam menegakkan fungsi penegakan hukum yang semakin kompleks ini,” katanya.
Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) juga memberi catatan soal kewenangan penyadapan ini. Anggota Baleg dari Fraksi PPP, Illiza Sa’aduddin Djamal, mengatakan, kewenangan penyadapan oleh jaksa dapat dilakukan setelah mendapatkan izin dari pengadilan.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Gerindra, Habiburohman, mengatakan, semua masukan dari fraksi itu akan disampaikan kepada pimpinan Komisi III dan akan dirapatkan kembali untuk perbaikan substansi draf RUU. Selanjutnya, RUU Kejaksaan itu dapat diusulkan kepada pimpinan DPR untuk menjadi RUU inisiatif dari DPR.