Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 59 Tahun 2020 mengatur tentang berbagai teknis keselamatan pesepeda di jalan. Dengan regulasi baru ini, pesepeda di Indonesia harus lebih taat dengan persyaratan yang ada.
Oleh
ADITYA DIVERANTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Perhubungan menerbitkan regulasi terkait dengan keselamatan di tengah meningkatnya minat publik untuk bersepeda. Aturan itu mengulas berbagai aspek keselamatan bersepeda di jalan, baik sebagai alat transportasi maupun sarana olahraga.
Regulasi tertuang dalam Peraturan Menteri (PM) Perhubungan Nomor 59 Tahun 2020 tentang Keselamatan Pesepeda di Jalan. Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Budi Setiyadi menuturkan, regulasi mengatur tiga aspek inti, yakni persyaratan teknis sepeda, kepatuhan adab saat bersepeda, serta soal penyediaan fasilitas pendukung sepeda.
”Tiga aspek itu menjadi dasar dalam keselamatan bersepeda sehingga arah yang kita harapkan adalah sepeda itu bisa digunakan sehari-hari untuk kepentingan publik. Jadi, masyarakat bisa bersepeda ke sekolah, kantor, pasar, atau tempat mana pun dengan aman,” ujar Budi saat dihubungi pada Jumat.
Secara spesifik, Pasal 2 peraturan ini merinci kelengkapan sepeda, mulai dari sepatbor, bel, sistem rem, lampu, alat pemantul cahaya warna merah dan warna putih/kuning, serta pedal. Saat bersepeda di jalan, pengguna harus memastikan semua kelengkapan terpasang dengan baik. Alat pemantul cahaya warna merah dan putih, misalnya, harus terpasang pada dua sisi jari-jari roda sepeda, pedal, dan di bawah sepatbor.
Begitu pula dengan helm. Budi menjelaskan, helm disyaratkan bagi pesepeda yang bertujuan untuk olahraga, seperti jenis road bike dan semacamnya. Apabila bersepeda untuk keperluan transportasi jarak pendek, syarat untuk pakai helm tidak terlalu mendesak.
Berbagai kelengkapan tadi sangat diperlukan, terutama saat bersepeda pada malam hari. Pasal 6 dari peraturan ini juga mensyaratkan agar pesepeda menyalakan lampu serta mengenakan pakaian yang memantulkan cahaya saat bersepeda malam.
Pesepeda diwajibkan mematuhi berbagai rambu di jalan. Selain itu, pesepeda juga diminta memberi isyarat dengan tangan saat berbelok, berhenti, atau berbalik arah. Isyarat yang dimaksud meliputi rentangan tangan ke kiri atau kanan saat berbelok, mengangkat satu tangan di samping atas kepala untuk berhenti, serta melambaikan tangan dari belakang ke depan untuk memberi jalan bagi pesepeda lain.
Regulasi juga menegaskan adanya berbagai fasilitas pendukung, termasuk parkir sepeda yang wajib tersedia di fasilitas umum, sekolah, gedung perkantoran, dan pusat belanja. Parkir sepeda harus tersedia sedikitnya 10 persen dari kapasitas parkir keseluruhan.
Keberadaan fasilitas itu, menurut Budi, penting untuk mendukung perubahan kebiasaan masyarakat. ”Harapan saya pula, masyarakat bisa beralih dari penggunaan sepeda motor sehingga turut mendukung transportasi yang lebih ramah lingkungan,” ujar Budi.
Pegiat komunitas sepeda Bike to Work (B2W), Julius Kusdwianartanto, menekankan urgensi kejelasan regulasi bagi pesepeda. Kurang jelasnya regulasi membuat kalangan pesepeda pemula kerap mengabaikan marka dan ketentuan lainnya di jalan. Padahal, pengabaian aturan justru membahayakan para pesepeda itu sendiri.
”Pesepeda tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Mungkin karena sosialisasi aturan yang belum cukup terdengar, akhirnya masih terus terjadi pelanggaran. Artinya, sosialisasi regulasi saat ini harus lebih gencar,” tutur Julius.
Dalam praktik berlalu lintas, sejumlah pesepeda di Jakarta masih kerap mengabaikan regulasi untuk sepeda. Suhadi (39), misalnya, tidak melintas di jalur sepeda saat ditemui pada Agustus silam. Dia menganggap jalur yang ada terlalu sempit untuk jenis sepeda road bike miliknya.
Menurut dia, performa sepeda jenis road bike lebih baik ketika berada di lintasan yang lurus dan tidak terhalang pesepeda lain. ”Seni mengendarai road bike, ya, berkendara di lintasan lurus seperti jalur Sudirman-Thamrin,” tuturnya.
Sanksi
Budi menjelaskan, sanksi dari pelanggaran regulasi akan disesuaikan dengan peraturan daerah setempat. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 59 Tahun 2020 menekankan sejumlah larangan, yakni tidak boleh membiarkan sepeda ditarik kendaraan bermotor dengan kecepatan yang membahayakan. Kedua, dilarang mengangkut penumpang apabila tidak ada kursi di belakang sepeda.
Ketiga, dilarang mengoperasikan ponsel saat bersepeda, kecuali dilengkapi dengan peranti dengar. Dilarang pula menggunakan payung saat bersepeda serta berkendara dengan berjajar lebih dari dua sepeda.
Secara terpisah, Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Sambodo Purnomo Yogo menjelaskan, ada larangan berbunyi serupa bagi kendaraan tidak bermotor yang diatur dalam Pasal 122 Undang Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Apabila melanggar ketentuan Pasal 122, Pasal 299 dalam undang-undang tersebut, pelanggar dapat terkena pidana kurungan paling lama 15 hari atau denda paling banyak Rp 100.000.
Budi menekankan agar para pesepeda saling menumbuhkan kesadaran berlalu lintas. ”Kita semua harus sadar, jalan bukan milik kita sendiri. Ada orang lain yang juga menggunakan fasilitas bersama kita sehingga penting untuk menghormati hak para pengguna jalan lainnya,” ujarnya.